Di Balik Kekerasan Brutal Terhadap Demonstran di Hong Kong, Carrie Lam Adalah Penguasa “Wayang”

Olivia Li – The Epochtimes

Pada 12 Juni polisi Hong Kong mulai menyerang demonstran dengan tongkat, peluru karet, dan beanbags. Banyak yang bertanya-tanya mengapa pemerintah Hong Kong begitu terburu-buru untuk mendorong RUU Ekstradisi hingga akhirnya menggunakan kekerasan untuk menekan pengunjuk rasa? semua pihak bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya di Hong Kong?

Simon Lau, seorang profesional media senior dan mantan konsultan Unit Kebijakan Pusat Hong Kong, menerima wawancara dengan Epoch Times Hong Kong dan memberikan analisis mendalam.

Lau, yang akrab dengan kebijakan peraturan pemerintah, menunjukkan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi Hong Kong jauh lebih jelas sekarang daripada selama Gerakan Pendudukan lima tahun lalu.

Taktik kekuatan senjata terkait langsung dengan perubahan dalam cara Komunis Tiongkok memerintah dan mengendalikan Hong Kong. Hong Kong Sekarang Langsung Di Bawah Pemerintahan Komunis Tiongkok.

Menurut Lau, mulai pada masa kolonial Inggris hingga era Tung Chee-hwa, Hong Kong selalu memiliki seperangkat mekanisme penasihat yang efektif dan komprehensif, yang disebut sebagai “sistem dominan eksekutif.”

Namun, setelah Carrie Lam menjabat sebagai Kepala eksekutif Hong Kong, sistem digantikan oleh kepala diktator eksekutif. Misalnya, di masa lalu, ketika RUU hukum perlu diamandemen, RUU tersebut melewati beberapa prosedur termasuk tinjauan oleh Komite Hukum Hong Kong, Asosiasi Pengacara Hong Kong, dan Lembaga Hukum Hong Kong sebelum dapat diperkenalkan. Tetapi saat ini, itu tidak terjadi sama sekali.

Pemerintah Hong Kong secara langsung mengumumkan RUU kepada publik. Meskipun Hong Kong tidak memiliki demokrasi nyata di masa lalu, ada serangkaian prosedur untuk audit dan konsultasi internal.

Sikap Pemerintah Hong Kong saat ini menyampaikan pesan kepada publik bahwa mekanisme sebelumnya telah sepenuhnya berubah. Saat ini publik tidak tahu sama sekali dari mana kebijakan pemerintah berasal.

Menurut Lau, diyakini rezim komunis Tiongkok sebenarnya secara langsung memerintah Hong Kong, dan Carrie Lam adalah seorang eksekutor yang harus mematuhi setiap kata dari pemerintahan pusat Komunis Tiongkok. Kantor Penghubung Beijing di Hong Kong juga mengontrol prosedur parlementer. Perintah untuk menekan para demonstran dengan kekerasan harus berasal dari kantor yang sama.

“Selain RUU ekstradisi, proyek Metropolis Lantau Timur adalah contoh lain. Kami tidak tahu dari mana asalnya. Setelah pengumuman pemerintah, bahkan direktur Biro Pengembangan tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan wartawan, seperti pengaturan keuangan atau rincian perencanaan kota. Jelas, kebijakan tersebut tidak berasal dari Hong Kong berdasarkan kehendak masyarakat setempat, tetapi dipaksakan secara paksa dari pemerintah pusat Beijing,” kata Lau.

Penyebabnya Adalah Krisis Politik Komunis Tiongkok

Meskipun Carrie Lam selalu mengklaim bahwa usulan amandemen undang-undang ekstradisi itu diprakarsai oleh warga Hong Kong dan membantah dia mengikuti instruksi dari Komunis Tiongkok, Lau mengatakan jelas bahwa Lam mengikuti perintah yang tidak dapat dibantah bahwa berasal dari  Komunis Tiongkok.

Fakta ini juga melibatkan hubungan Komunis Tiongkok-Taiwan serta hubungan Tiongkok dengan komunitas internasional. Tanpa otorisasi dari pemerintah pusat Komunis tiongkok, maka sama sekali tidak memiliki wewenang untuk melakukannya.

Lau percaya bahwa dorongan Komunis Tiongkok untuk RUU ekstradisi berasal dari ketakutannya akan krisis keuangan yang membayanginya. Pasalnya, banyak pejabat yang korup melarikan diri dari Tiongkok dengan sejumlah besar uang, Beijing bertujuan untuk memblokir celah ini dengan undang-undang baru. Dari perspektif yang lebih besar, Komunis Tiongkok ingin mengambil kebebasan Hong Kong untuk memudahkan Komunis tiongkok memulai pertempuran dengan negara-negara demokrasi Barat.

Selama ini, Hong Kong selalu menikmati hubungan dekat dengan Barat, termasuk sistem politik, supremasi hukum, dan posisi Hong Kong sebagai pusat internasional. Tapi itulah yang tidak disukai oleh rezim komunis Tiongkok. Terkait hal ini, komunis Tiongkok tidak benar-benar ingin menghancurkan Hong Kong, ia ingin memutuskan hubungan antara Hong Kong dan komunitas internasional dan merampas Hong Kong dari kebebasan persnya.

Saat ini polisi Hong Kong Kemungkinan Langsung Di Bawah Komando Komunis Tiongkok. Lau mencurigai bahwa pihak berwenang memutuskan sebelum demonstrasi digelar, kekuatan berlebihan akan digunakan untuk menekan para demonstran bila perlu.

Dia menunjukkan bahwa polisi mulai memukuli pemrotes dengan pentungan pada malam hari tanggal 9 Juni ketika lebih dari satu juta orang menggelar pawai di jalan untuk memprotes RUU ekstradisi.

Menurut SOP polisi di Hong Kong, mereka harus menggunakan semprotan merica dan gas air mata sebelum mereka dapat menyerang demonstran dengan tongkat. Meskipun kepala polisi Stephen Lo mengklaim bahwa polisi melemparkan galah ke kerumunan massa pertama, tidak ada yang melihat ini saat video yang diambil selama pawai digelar.

Tayangan TV hanya menunjukkan bahwa polisi menembak para demonstran yang tidak bersenjata di kepala dengan peluru karet dari jarak dekat, dan terus memukuli para pemrotes dengan tongkat.

Seringkali, sekitar sepuluh polisi memukuli seorang pemrotes tidak bersenjata yang sudah mundur. Polisi mengambil tindakan paling kejam dalam waktu sesingkat itu. Itulah mengapa diyakini bahwa Komunis Tiongkok telah memberikan perintah yang tidak dapat disangkal bahwa demonstrasi harus dihentikan sejak awal. Artinya, polisi harus menggunakan kekerasan terburuk yang mungkin terjadi untuk mencegah Gerakan  lainnya.

Lau menambahkan bahwa banyak kediktatoran secara rutin menggunakan metode ini — kekerasan hebat selama penindasan dalam jangka waktu yang sangat singkat dan kemudian menuduh demonstrasi sebagai dalang kerusuhan. Ini kemudian memungkinkan polisi untuk menggunakan kekerasan untuk membubarkan para demonstran.

Banyak demonstran dan saksi mata curiga bahwa polisi bersenjata Tiongkok atau tentara dikerahkan ke Hong Kong untuk menekan para demonstran karena polisi Hong Kong jarang bertindak dengan kejam. Oleh karena itu, komandan polisi saat ini bukanlah seorang perwira polisi Hong Kong.

Lau menilai ini dikarenakan kepolisian di Hong Kong sangat berpengalaman dalam menangani gerakan massa, mustahil seorang petugas kepolisian Hong Kong melanggar pedoman internal, atau bahkan konvensi internasional, dan menembak para demonstran di kepala. Bahkan jika menggunakan peluru karet, menembak kepala dapat menyebabkan kematian.

Lau menyerukan kalangan pebisnis Hong Kong diserukan  menggunakan suara mereka untuk menentang undang-undang ekstradisi itu.

“Kini Kaum muda Hong Kong mempertaruhkan hidup mereka untuk menolak RUU ini. Saat ini masalah terakhir adalah menggunakan suara pebisnis dengan bulat untuk menyelesaikan konflik ini dan memveto RUU baru ini. Kalau tidak, di masa depan, untuk setiap konflik politik, rakyat Hong Kong harus menghadapi situasi yang sama dengan sesama orang Tionghoa di daratan yakni penangkapan, lebih banyak darah, dan bahkan kematian, karena pemerintah Tiongkok akan selalu menggunakan mesin negara untuk menekan suara yang berbeda,” ujarnya. (asr)

FOTO : Polisi Hong Kong menembakkan gas air mata ke para pengunjuk rasa di Admiralty Center di Hong Kong, pada 12 Juni 2019. (Li Yi / The Epoch Times)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=J5mA82Ql6oQ