Kilas Balik 2019 : Perjuangan Terakhir Hong Kong untuk Kebebasan

Annie Wu – The Epochtimes

Ketika aksi protes tidak digelar di jalan-jalan Hong Kong, warga terlihat lalu lalang ke tempat tujuan mereka. Pedagang menjajakan jualannya dan angkutan umum hilir mudik mengantarkan penumpang. 

Meski demikian, pada setiap sudut kota masih menyisakan coretan, poster, dan stiker — yang tertinggal di trotoar, dinding, skybridge, tiang lampu, dan etalase. 

Melansir dari The Epochtimes, tulisan-tulisan itu mendeklarasikan pesan perlawanan, kerinduan akan kebebasan, dan kemarahan terhadap kebrutalan polisi dan beringasnya pemerintah yang menggunakan kekuasaannya. 

Selama lebih dari enam bulan, warga Hongkong telah menghadapi sebuah tantangan terbesar bagi  Komunis Tiongkok. 

Perlawanan atas rancangan Undang-Undang Ekstradisi yang kini sudah ditarik, menunjukkan warga Hong Kong was-was atas perambahan rezim Komunis Tiongkok yang semakin mendalam terhadap otonomi Hong Kong.  Jutaan warga turun ke jalan-jalan menyerukan agar rancangan undang-undang tersebut dibatalkan.

“RUU ini hanyalah titik pemicu. Tetapi di balik ini, ada masalah mendasar, yang lebih mendalam: kekhawatiran warga Hongkong terhadap rezim Tiongkok,” kata Zack Ho, seorang ketua kelompok aktivis mahasiswa berusia 18 tahun bernama Inspidemia Hong Kong.

Komunis Tiongkok awalnya berjanji terhadap otonomi dan kebebasan Hong Kong. Selanjutnya, tak akan ada perubahan selama 50 tahun setelah penyerahan dari Inggris ke pemerintahan Tiongkok pada tahun 1997 silam.

Tetapi RUU itu – yang akan memungkinkan rezim Komunis Tiongkok menjatuhkan ekstradisi terhadap orang-orang untuk diadili – membangkitkan kemarahan dan ketakutan warga Hongkong tentang masa depan yang tidak pasti.  Dikarenakan “pemerintah Hong Kong telah membuat kota ini lebih ‘merah’ dan terintegrasi dengan daratan Tiongkok seiring waktu.

Selama berbulan-bulan, pemerintah Hong Kong menolak menyerah. Sementara itu, polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan proyektil lainnya untuk memadamkan aksi protes.

Tak Akan Memutuskan Hubungan

Sebagai rangka menunjukkan sikap frustrasi terhadap kegagalan pemerintah Hong Kong  untuk mendengarkan aspirasi warganya, pada tanggal 1 Juli 2019 – peringatan 22 tahun penyerahan Hong Kong – pengunjuk rasa menerobos pintu masuk gedung legislatif dan menyerbu masuk, membuat grafiti di dinding dan menguasai gedung legislatif. 

Ketika polisi memperingatkan  akan membersihkan tempat itu, para pengunjuk rasa yang mengepung gedung itu memutuskan untuk mencoba menyelamatkan orang-orang yang ada di dalam — karena khawatir mereka bakalan akan ditangkap. 

Para demonstran di dalam menolak untuk pergi, dan mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah untuk memenuhi tuntutan mereka.

“Sejak hari itu, kami mengikrarkan tak akan memutuskan pertalian antara perdamaian dan keberanian,” kata Ventus Lau, seorang aktivis pro-demokrasi yang telah didakwa sehubungan dengan aksi protes 1 Juli 2019. Yang terakhir adalah referensi bagi mereka yang bersedia menggunakan taktik lebih agresif selama berkonfrontasi dengan polisi.

“Bahkan jika Anda tidak setuju dengan strategi, kami akan tetap berada di sisi yang sama,” tambahnya.

Ivan Lam, Ketua Partai Pro-Demokrasi Demosisto, percaya bahwa solidaritas adalah faktor kunci awetnya gerakan pro Demokrasi Hong Kong 2019.

Selama Gerakan Payung 2014, ketika Lam, sesama anggota Demosisto Joshua Wong, dan aktivis muda lainnya memimpin protes pro-demokrasi yang berusaha menekan pemerintah agar memberikan hak pilih universal dalam pemilihan Hong Kong, “selalu ada perdebatan antara berbagai taktik dan strategi,” katanya.

“Itu salah satu alasan mengapa kita gagal setiap saat di masa lalu,” tambahnya. 

Aksi protes payung 2014 kemudian berakhir tanpa mempengaruhi sistem pemilihan Hong Kong. Sebuah hak pilih universal yang dijanjikan dalam mini-konstitusi Hong Kong. Yang mana telah dirancang oleh Tiongkok dan Inggris menjelang penyerahan Hong Kong. 

Saat ini, pejabat tinggi Hong Kong tetap dipilih oleh komite yang sebagian besar terdiri dari para elit pro-Komunis Tiongkok. Dalam gerakan warga Hong Kong, tanpa ada pemimpin dan pengunjuk rasa telah mengadopsi filosofi “jadilah seperti Air” untuk mengikuti arus, dan mengubah taktik bila perlu.

Tak serupa seperti gerakan tahun 2014, ketika pengunjuk rasa terus-menerus menduduki pusat kota sampai pihak berwenang membersihkan lokasi, “tidak ada satupun tindakan yang mewakili gerakan, tetapi kami menggunakan tindakan berbeda untuk mempertahankannya,” kata Lam. 

Ia mencatat bahwa warga Hongkong baru-baru ini memulai upaya untuk membangun serikat buruh pro-demokrasi baru dalam persiapan mogok yang direncanakan.

“Gerakan tidak akan padam seperti api, tetapi akan terus berlanjut,” tambahnya.

Perjuangan Masa Mendatang

Setelah terjadinya 6.000 penangkapan sejak bulan Juni lalu, beberapa minggu terakhir para pengunjuk rasa cenderung terlibat konfrontasi jalanan, sementara polisi mengerahkan kekuatan mereka. Ketegangan mereda setelah para kandidat pro-demokrasi berhasil memperoleh kemenangan besar dalam pemilihan dewan distrik.

Sekarang telah memasuki bulan keenam, pengunjuk rasa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan penting: sekarang ke mana arah gerakan? Bisakah  dipertahankan atau akan memudar seperti Gerakan Payung 2014?

“Sekarang, ini adalah titik balik krusial, mungkin aksi protes akan mereda, mungkin sekarang saatnya untuk bersiap-siap  pertarungan jangka panjang, dari berbagai aspek masyarakat,” kata Mockingjay, seorang mahasiswa University of Hong Kong.

Seperti banyak pengunjuk rasa lainnya, ia memilih menggunakan nama samaran karena dikhawatirkan pembalasan dari pihak berwenang. Banyak yang menyerukan aksi protes untuk memasuki kehidupan sehari-hari, dengan memilih untuk melindungi restoran dan toko yang mendukung aksi protes pro Demokrasi. 

Seperti yang disampaikan demonstran dengan insial Lau, ia percaya  lebih banyak strategi radikal yang diperlukan bersamaan dengan pawai dan demonstrasi yang damai.

“Jika Anda mengadakan aksi unjuk rasa setiap hari, pemerintah ini tidak akan peduli dengan Anda,” Ia mengatakannya sebagaimana dibuktikan dalam aksi beberapa bulan terakhir ini. 

“Kami membutuhkan hal-hal yang dapat mengancam pemerintahan ini untuk memenangkan perang ini,” tambahnya. 

Adapun langkah konkret mendatang, tidak ada yang memiliki jawaban yang pasti. Sebagian besar hanya berbicara tentang keinginan yang tak tergoyahkan, bertahan hingga semua tuntutan dipenuhi.

“Seperti pertandingan sepak bola, kami hanya harus menjaga pertandingan terus berjalan,” kata Lau.

Tuntutan terutama adalah hak pilih universal, dikarenakan rezim Komunis Tiongkok telah menyatakan,  tidak akan mengizinkan pemilihan pejabat tinggi Hong Kong tanpa restu dari Beijing. 

Tetapi “tanpa perubahan mendasar dalam sistem pemilihan umum, pemerintah Hong Kong tidak perlu mendengarkan tuntutan rakyat dan selalu harus mematuhi pemerintah Tiongkok,” kata Mockingjay.

Tanpa demokrasi sejati, “Masalah Hong Kong seperti bom waktu yang berdetak dan Anda tidak tahu kapan itu akan meledak,” kata Lau.

Selama acara diskusi baru-baru ini yang diadakan oleh mahasiswa University of Hong Kong, yang bertujuan untuk membantu mahasiswa internasional  memahami protes yang sedang berlangsung, para mahasiswa yang melakukan protes memulai debat tentang masa depan rumah mereka, kekurangan dari aktivis pro-demokrasi di masa lalu, dan bagaimana gerakan harus berkembang.

Ada satu perubahan yang tidak dapat disangkal sejak protes dimulai yakni warga Hongkong sekarang lebih sadar akan politik daripada sebelumnya. 

Mockingjay mengatakan, teman-temannya yang dulu memposting di media sosial tentang bersosialisasi dan makanan, sekarang terus mengomentari aksi protes.

H, seorang mahasiswa teknik tahun keempat, mengatakan warga Hongkong terbiasa menghindari berbicara tentang politik. Akan tetapi akibat gerakan ini, “Anda tidak mencari politik, tetapi politik menemukan Anda.” 

“Kami masih percaya bahwa Hong Kong adalah tempat dengan kebebasan. Kami tidak akan pernah melupakan ini,” tambahnya. 

Kakek H telah melarikan diri ke Hong Kong dari daratan Tiongkok, ketika ia melihat Hong Kong sebagai tempat yang aman dari kontrol komunis.

“Saya tidak ingin melihat Hong Kong dikembalikan dengan mudah ke Partai Komunis Tiongkok,” pungkasnya. (asr)