Bab IX – Perangkap Ekonomi Komunis – Bagian II (Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita)

The Epoch Times menerbitkan serial khusus terjemahan dari buku baru berbahasa Tionghoa berjudul Bagaimana Roh Jahat Komunisme Menguasai Dunia Kita

oleh tim editorial Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis.

Daftar ISI (Lanjutan)

4. Kepemilikan Publik dan Ekonomi yang Direncanakan: Sistem Perbudakan
a. Kepemilikan Publik: Penindasan Totaliter
b. Perencanaan Ekonomi: Ditakdirkan untuk Gagal

5. Teori Karl Marx Mengenai Eksploitasi: Pembalikan Kebohongan yang Baik dan Jahat

6. Kebencian dan Kecemburuan: Asal Usul Egalitarianisme Mutlak
a. Promosi Egalitarianisme Ekonomi: Batu Loncatan menuju Komunisme
b. Komunisme Memanfaatkan Serikat Buruh untuk Melemahkan Masyarakat Bebas

7. ‘Cita-cita’ Komunis: Menggoda Manusia Menuju Kehancurannya Sendiri

Kesimpulan: Kemakmuran dan Kedamaian Hanya Dapat Diperoleh Melalui Moralitas

Daftar Pustaka

oleh Tim Editorial “Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis”

4. Kepemilikan Publik dan Ekonomi yang Direncanakan: Sistem Perbudakan

Surga menciptakan manusia, memberkahi manusia dengan kebijaksanaan dan kekuatan, dan memutuskan bahwa hidup manusia akan menjadi satu kesatuan di mana manusia akan menuai imbalan atas jerih payahnya — dan dengan demikian dapat memperoleh cukup banyak imbalan untuk mengamankan hidupnya. Seperti yang dikatakan oleh Deklarasi Kemerdekaan, “Kami menganggap kebenaran ini sebagai bukti-diri, bahwa semua manusia diciptakan setara, bahwa mereka dianugerahi oleh Penciptanya dengan Hak-Hak tertentu yang tidak dapat dicabut, bahwa di antaranya adalah Kehidupan, Kebebasan dan pengejaran Kebahagiaan.”[1]

Secara alami, hak-hak ini termasuk kekuatan untuk memiliki dan mengalokasikan properti dan aset.

Sebaliknya, Karl Marx menyatakan dalam Manifesto Komunis, “Dalam hal ini, teori Komunis dapat diringkas dalam satu kalimat: Penghapusan kepemilikan pribadi.” [2] Ini adalah referensi untuk kepemilikan publik, di mana ekonomi yang direncanakan adalah aspek wajib. Inti sistem ini melanggar prinsip Surga, berjalan bertentangan dengan sifat manusia, dan merupakan bentuk perbudakan.

a. Kepemilikan Publik: Penindasan Totaliter

Pelopor anti-komunis Amerika Fred Schwartz menceritakan lelucon berikut ini dalam bukunya You Can Trust the Communists … to Be Communists yang artinya Anda Masih Dapat Mempercayai Kaum Komunis…Untuk Menjadi Kaum Komunis, mengenai seorang pewawancara yang terlebih dahulu mengunjungi pabrik mobil Soviet dan kemudian mengunjungi pabrik mobil Amerika: [3]

“‘Siapa yang memiliki pabrik ini?’

‘Kami,’ jawab mereka.

‘Siapa yang memiliki tanah tempat pabrik ini dibangun?’

‘Kami.’

‘Siapa yang memiliki produk dari pabrik ketika dibuat?’

‘Kami.’

Di sudut taman besar di luar sana, ada tiga mobil tua yang hancur. Pewawancara bertanya, ‘Siapa yang memiliki mobil-mobil di luar sana?’

Mereka menjawab, ‘Kami memilikinya, tetapi salah satu mobil tersebut digunakan oleh manajer pabrik, satunya lagi digunakan oleh komisaris politik, dan satunya lagi digunakan oleh polisi rahasia.’

Pewawacara yang sama datang ke sebuah pabrik di Amerika, dan berkata kepada para buruh, ‘Siapa yang memiliki pabrik ini?’

‘Henry Ford,’ jawab mereka.

‘Siapa yang memiliki tanah tempat pabrik dibangun?’

‘Henry Ford.’

‘Siapa yang memiliki produk dari pabrik ketika dibuat.’

‘Henry Ford.’

Di luar pabrik ada taman luas yang dipenuhi dengan segala jenis dan beragam mobil modern Amerika. Pewawancara bertanya, ‘Siapa yang memiliki semua mobil di luar sana?’

Mereka menjawab, ‘Oh, kami.’

Kisah ini dengan jelas menampilkan konsekuensi dan perbedaan antara sistem kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Di bawah sistem kepemilikan publik, sumber daya dan keuntungan dari tenaga kerja dinasionalisasi. Sudah tidak ada lagi mekanisme yang memotivasi antusiasme, perjuangan, dan inovasi individu, seperti dengan rasa tanggung jawab yang disampaikan oleh hak milik pribadi.

Menurut namanya, kepemilikan publik berarti bahwa kekayaan suatu negara dimiliki bersama oleh semua warganegara, tetapi dalam praktiknya, kepemilikan publik berarti bahwa kelas yang diistimewakan memonopoli sumber daya dan mementingkan dirinya sendiri terlebih dahulu.

Faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi adalah manusia. Kepemilikan publik mencekik vitalitas dan motivasi rakyat untuk menjadi produktif, sehingga merusak moral, meningkatkan ketidakefisiensian, dan menyebabkan pemborosan.

Dari pertanian kolektif Soviet hingga komune rakyat di Tiongkok — termasuk kolektivisasi yang gagal di Kamboja dan Korea Utara — sistem kepemilikan publik membawa kelaparan ke mana pun ia pergi. Misalnya, kelaparan yang diakibatkan oleh ulah manusia di Tiongkok menewaskan puluhan juta orang.

Kepemilikan pribadi sesuai dengan prinsip bahwa manusia bekerja demi mendapatkan makanannya. Sebaliknya, kepemilikan publik melanggar prinsip ini.

Baik kejahatan maupun kebaikan ada dalam diri manusia. Kepemilikan pribadi memungkinkan manusia untuk mengembangkan sifat ramahnya, mendorong tenaga untuk bekerja dan berhemat. Namun, kepemilikan publik mendorong kejahatan dalam sifat manusia, mendorong kecemburuan dan kemalasan.

Friedrich Hayek menulis bahwa pertumbuhan peradaban bergantung pada tradisi sosial yang menjadikan kepemilikan pribadi sebagai pusatnya. Tradisi-tradisi semacam itu menelurkan sistem kapitalis modern dan pertumbuhan ekonomi yang menyertainya. Ini adalah perintah organik yang dihasilkan sendiri yang tidak memerlukan tindakan pemerintah. Namun gerakan komunis dan sosialis berusaha untuk mengendalikan tatanan yang muncul secara spontan ini – yang oleh Friedrich Hayek disebut sebagai “kesombongan fatal” komunis. [4]

Jika kepemilikan dan kebebasan pribadi tidak dapat dipisahkan, maka hal serupa berlaku untuk kepemilikan publik, seperti halnya kediktatoran dan penindasan. Sistem kepemilikan publik menasionalisasi sumber daya, menurunkan produktivitas ekonomi, dan mengubah rakyat menjadi pelayan dan budak negara.

Semua rakyat harus mematuhi perintah partai pusat, dan setiap ide dan suara rakyat yang tidak konsisten dengan rezim dapat ditebus melalui hukuman ekonomi. Rakyat kemudian tidak berdaya melawan intervensi negara.

Dengan demikian, penghapusan kepemilikan pribadi dan pembentukan kepemilikan publik tak terhindarkan mengarah pada hasil totaliter. Kolektivisme adalah penindasan manusia oleh negara totaliter. Kebebasan telah dirampas — termasuk kebebasan untuk bersikap baik — dan semua orang dipaksa untuk mengikuti perintah moral rezim komunis.

Beberapa orang mengatakan bahwa kekuasaan tidak boleh diprivatisasi dan kekayaan tidak boleh dikoleksi, atau bencana menunggu umat manusia. Itu memang benar.

b. Perencanaan Ekonomi: Ditakdirkan untuk Gagal

Di bawah ekonomi terencana, produksi seluruh masyarakat, alokasi sumber daya, dan distribusi produk didasarkan pada rencana yang ditetapkan oleh negara. Ini sama sekali berbeda dari perencanaan organik perusahaan dan individu.

Ekonomi terencana memiliki cacat alami yang jelas. Pertama, diperlukan pengumpulan sejumlah besar data untuk membuat pengaturan yang wajar untuk produksi. Untuk suatu negara, terutama negara modern dengan populasi besar, jumlah informasi yang relevan adalah sangat besar. Misalnya, biro penetapan harga komoditas Uni Soviet harus menetapkan harga untuk 24 juta jenis barang yang berbeda. [5] Perhitungan seperti itu adalah tidak mungkin.

Kompleksitas dan variabilitas masyarakat dan rakyat tidak dapat diselesaikan melalui ekonomi terencana terpadu. [6] Bahkan dengan penggunaan data besar modern dan kecerdasan buatan, pemikiran manusia tidak mungkin dimasukkan sebagai variabel, sehingga sistem akan selalu tidak lengkap.

Ahli ekonomi Ludwig von Mises membahas hubungan antara sosialisme dan pasar dalam artikelnya “Perhitungan Ekonomi dalam Persemakmuran Sosialis.” [7] Ia mencatat bahwa tanpa pasar nyata, masyarakat sosialis tidak akan dapat membuat perhitungan ekonomi yang masuk akal. Dengan demikian, distribusi sumber daya tidak dapat dirasionalisasi, dan ekonomi yang direncanakan akan gagal.

Kedua, perencanaan ekonomi membutuhkan kendali negara atas sumber daya, yang pada akhirnya membutuhkan kekuatan absolut, kuota, dan perintah. Terlebih lagi, ekonomi kekuasaan pertama-tama terikat pada politik, bukan pada kebutuhan rakyat yang sebenarnya.

Ketika persyaratan dunia nyata gagal sesuai dengan perencanaan negara, maka kekuatan negara menginjak-injak tren ekonomi alami, sehingga menyebabkan kesalahan menempatkan modal yang besar dan semua masalah yang menyertainya. Ekonomi terencana menggunakan kekuatan dan kebijaksanaan pemerintah yang terbatas untuk berperan sebagai Tuhan. Ini pasti akan gagal.

Perencanaan ekonomi dan politik tekanan tinggi tidak dapat dipisahkan. Karena rencana nasional pasti cacat, ketika ada masalah, rencana itu akan ditentang baik di dalam maupun di luar pemerintah. Mereka yang berkuasa kemudian merasa bahwa otoritas mereka ditantang dan akan melawan balik dengan tekanan politik dan pembersihan.

Mao Zedong, misalnya, mengabaikan hukum ekonomi dan memaksa melalui Lompatan Jauh Ke Depan, mengakibatkan bencana kelaparan selama tiga tahun yang menyebabkan puluhan juta kematian. Hal ini menyebabkan tantangan lebih lanjut bagi Mao Zedong, yang merupakan alasan utama ia kemudian meluncurkan Revolusi Kebudayaan.

Efek bencana dari ekonomi terencana dan kepemilikan kolektif telah sepenuhnya ditunjukkan dalam kondisi saat ini dari perusahaan milik negara Tiongkok. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar BUMN Tiongkok telah menghentikan atau memperlambat produksi, menderita kerugian setiap tahun, atau menjadi bangkrut.

BUMN Tiongkok bergantung pada subsidi pemerintah dan kredit bank bergulir untuk mempertahankan operasi. Pada dasarnya, BUMN Tiongkok menjadi parasit ekonomi nasional, dan yang secara luas dikenal sebagai “perusahaan zombie.” [8]

Di antara 150.000 perusahaan milik negara di Tiongkok , dengan pengecualian monopoli negara di sektor minyak bumi dan telekomunikasi yang menguntungkan, BUMN Tiongkok lainnya melaporkan laba minimal dan menderita kerugian yang parah, sehingga menghancurkan modal.

Pada akhir 2015, total aset mereka menyumbang 176 persen dari Produk Domestik Bruto, utang mereka menyumbang 127 persen, dan pendapatan mereka hanya menyumbang 3,4 persen. Beberapa ahli ekonomi percaya bahwa perusahaan zombie pada dasarnya membajak ekonomi Tiongkok. [9]

Sementara itu, perencanaan ekonomi merampas kebebasan rakyat dan memaksa negara untuk merawat rakyat. Inti dari proyek ini adalah mengubah rakyat menjadi budak dan mesin.

Semua aspek kehidupan rakyat berada di bawah kendali negara, sehingga rakyat bagai hidup di penjara yang tidak kasat mata, berupaya untuk menghapuskan kehendak bebas, dan mengubah parameter kehidupan manusia yang ditetapkan oleh Tuhan. Ini adalah manifestasi lainnya dari pemberontakan komunis melawan Tuhan dan hukum kodrat.