Hasil Pemilu Taiwan Dinilai Sebagai Penolakan Terhadap Rezim Komunis Tiongkok

Eva Pu – The Epochtimes

Kemenangan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen atas lawan utamanya, Han Kuo-yu dari Partai Kuomintang, yang mendukung hubungan persahabatan dengan Beijing, mengirimkan pesan yang jelas bahwa upaya intimidasi rezim Komunis Tiongkok belum berhasil, seperti diungkapkan para pakar. 

“Tidak diragukan” bahwa hasil pemilu Taiwan menandakan “penolakan terhadap Tiongkok,” dan “penolakan terhadap gagasan unifikasi,” kata Juni Teufel Dreyer, seorang profesor ilmu politik di Universitas Miami dan rekan senior Lembaga Penelitian Kebijakan Luar Negeri, seperti dikutip The Epoch Times. 

Tsai Ing-wen kembali memenangkan pemilihan umum yang diikuti oleh tiga calon presiden pada (11/1/2020), yang mencetak rekor 8,17 juta suara — atau sekitar 57 persen suara populer — penghitungan tertinggi sejak Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri itu memulai pemilihan presiden langsung pertamanya pada tahun 1996. Partai Progresif Demokratik Tsai Ing-wen juga mendominasi 61 dari 113 kursi legislatif.

Hasil pemilihan umum Taiwan merupakan perputaran dramatis bagi Tsai Ing-wen, yang tahun lalu berjuang dalam peringkat persetujuannya. Popularitas Tsai Ing-wen meningkat tajam setelah ia bersikap keras terhadap Beijing sambil mendukung para pengunjuk rasa pro-demokrasi di Hong Kong.

Meskipun Taiwan yang demokrasi mempertahankan kemerdekaan de-facto dari Tiongkok Daratan dengan memiliki kebijakan, sistem ekonomi, dan militernya sendiri, rezim Komunis Tiongkok menganggap Taiwan sebagai bagian wilayahnya. 

Komunis Tiongkok berusaha agar Taiwan bergabung dengan Tiongkok di bawah formula “satu negara, dua sistem,” kerangka kerja yang saat ini mengatur Hong Kong dan Makau.

“Pemilihan umum ini hanya menegaskan bahwa gagasan [‘satu negara, dua sistem’] tidak laku di Taiwan,” kata Richard Bush, Direktur Pusat Studi Kebijakan Asia Timur di Institut Brookings, kepada NTD, afiliasi The Epoch Times, yang menyaksikan  acara pemilihan umum Taiwan di Washington.

Harapan untuk Demokrasi

Derek Mitchell, Presiden Institut Demokratik National dan mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Myanmar, menyebutkan hasil pemilihan Taiwan itu adalah “referendum terhadap Tiongkok.”

Hal tersebut juga menunjukkan suara silent majority yang pandangannya hanya dapat diwujudkan melalui suara demokratis, menurut Derek Mitchell.

“Saat orang mengatakan: Di Tiongkok rakyat mendukung pemerintahnya,  semua rakyat mendukung…Partai Komunis Tiongkok. Jawabannya adalah — bagaimana anda tahu?” kata Derek Mitchell di acara yang sama.

“Kami melihat apa yang dikatakan silent majority saat mereka diizinkan untuk berbicara,” lanjut Derek Mitchell.

Dengan merujuk pada pemilihan umum distrik Hong Kong baru-baru ini, di mana para calon pro-demokrasi juga memenangkan kemenangan besar, Derek Mitchell mencatat bahwa ada pola peningkatan keterlibatan dari generasi muda.

“Itu adalah harapan demokrasi ke depan, bukan orang tua yang…memiliki pola pikir lama yang sama dengan cara lama yang sama, tetapi energi baru untuk demokrasi,” kata Derek Mitchell.

Jangan Jemawa

Rezim Komunis Tiongkok mungkin tidak terkejut dengan hasil pemilu yang dikutinya dengan cermat, tetapi “rezim komunis Tiongkok mungkin tidak mengira akan ada… margin yang begitu luas,” kata Bonnie Glaser, direktur China Power Project di Pusat Studi Strategis dan Internasional yang berbasis di Washington, mengatakan pada acara tersebut.

Meskipun memperoleh kemenangan besar, para ahli memperingatkan bahwa Taiwan tidak boleh berpuas diri.

“Ini belum selesai. Tidak ada yang berakhir. Taiwan masih harus mempertahankan keunggulannya dan mengakui bahwa kekuatan otoriter dan orang-orang yang tidak suka demokrasi sedang memainkan permainan panjang,” kata Derek Mitchell.

Bonnie Glaser mengatakan di tahun-tahun mendatang orang mungkin melihat “peningkatan tekanan diplomatik, militer dan ekonomi [oleh Beijing] terhadap Taiwan.”

“Ada sejumlah besar yang perlu dilakukan Taiwan untuk memperkuat pencegahan,” tambah Bonnie Glaser.

Batas Beijing

Dalam hal ekonomi Taiwan, Richard Bush mengatakan bahwa ia tidak mengharapkan Tiongkok Daratan menimbulkan ancaman serius bagi perusahaan Taiwan, karena Beijing melihat para pemimpin bisnis setempat sebagai “sumber daya politik” dan “para pemilih di Taiwan untuk mempromosikan tujuannya sendiri.”

Padahal, “ekonomi Taiwan lebih bergantung pada apa yang terjadi di ekonomi dunia, dan juga apa yang terjadi dalam kebijakan Amerika Serikat terhadap  berbagai masalah,” kata Richard Bush.

Mengingat ekonomi Tiongkok yang melambat, berlanjutnya unjuk rasa Hong Kong, dan ketegangan Amerika Serikat-Tiongkok, Bonnie Glaser mengatakan tetap tidak mungkin akan segera terjadi serangan militer di Taiwan.

“Intinya adalah bahwa tidak cukup alasan dari sisi keuntungan militer, atau…bahkan keunggulan yang tegas bukan alasan yang cukup bagi Beijing untuk mengambil risiko seperti itu,” kata Bonnie Glaser.

“Xi Jinping memiliki banyak masalah yang harus diatasinya,” tambahnya. (Vv/asr)


FOTO : Pada hari Senin (13/1), Heritage Foundation dan Global Taiwan Institute mengadakan seminar tentang “Menilai Hasil Pemilu Taiwan”. (The Epoch Times)