Cerita Kepanikan Melanda di Kota-kota Tiongkok Saat ‘Teror’ Virus Mematikan Meluas

Eva Pu – The Epochtimes

Seorang dokter dengan nama Wei mengatakan kepanikan itu tidak meluas sampai pada tanggal 21 Januari 2020, dua hari sebelum kota kelahirannya dikarantina.

Setiap pagi, sekitar belasan lebih pasien berduyun-duyun  ke klinik kawasan tempat ia bekerja, semuanya menunjukkan gejala demam atau flu.

Dokter itu mengungkapkan kondisinya sudah seperti ini selama satu setengah bulan terakhir.

Virus pneumonia, yang disebabkan oleh virus yang dikenal sebagai 2019-nCov atau Novel Coronavirus menginfeksi pasien pertamanya di kota Wuhan di Tiongkok tengah pada 12 Desember 2019 lalu.

Sejak itu menyebar kepada lebih dari 800 orang di seluruh daratan Tiongkok.Walaupun data yang disampaikan pemerintah itu diragukan kebenarannya. 

Banyak penduduk Wuhan tidak tersentuh oleh penyakit itu hingga akhirya pihak berwenang pada 22 Januari 2020 mengeluarkan pemberitahuan untuk mengkarantina kota dan menutup semua transportasi umum. 

Tindakan pengisolasian tersebut segera diperluas ke tujuh kota lain di Provinsi Hubei, di mana Wuhan adalah ibu kotanya.

Tidak Ada Panduan yang Jelas

Jauh hari sebelum pemkot mengambil tindakan, Wei mengatakan dia sudah mendengar desas-desus di antara teman-temannya tentang virus itu pada November 2019 lalu. Akan tetapi dia tidak berani berbicara karena takut akan pembalasan dari pihak berwenang.

Menurut Wei, ketika wabah terjadi pada bulan Desember 2019, otoritas Wuhan tidak memberikan pedoman yang jelas dan peralatan yang tepat untuk klinik kecil seperti miliknya. 

Dia mengatakan, mereka kekurangan masker wajah, dan tidak memiliki pakaian hazmat atau baju tempur pelindung khusus melawan penyakit.  

Di tempat kerja Wei, mereka tidak mengkarantina pasien yang menunjukkan gejala seperti pneumonia. Bekerja dalam kondisi seperti itu, ia mencurigai beberapa staf mungkin telah tertular virus dari pasien. 

Saat ini, lima dari sekitar 50 petugas kesehatan memiliki gejala penyakit tetapi belum di-test.

Kliniknya juga tidak memiliki wewenang untuk melakukan banyak hal di luar pemeriksaan awal. Jika pasien tampak demam, ia akan mengukur suhu tubuhnya dan melakukan tes darah. 

Mereka yang memiliki gejala virus pneumonia akan dirujuk ke salah satu dari 61 pusat medis yang disetujui untuk perawatan di Wuhan. Mereka kemudian harus mengantre bersama ratusan pasien lainnya.

“Kami mengetahui sifat klinis pasien tetapi karena pihak berwenang menyembunyikan data, kami tidak mengetahui seberapa jauh [virus] telah menyebar. Itu hanya akan semakin meluas,” katanya.

Wei sendiri juga memiliki gejala seperti: infeksi paru-paru, sakit tenggorokan, dan nyeri pada dadanya. Tapi dia tidak punya rencana untuk pergi ke rumah sakit, di mana dia mengatakan orang-orang bisa menunggu dari pagi hingga sore. Sebaliknya, ia hanya berniat tinggal di rumah sendirian.

Meluasnya Kecemasan

Masker telah menjadi pemandangan umum di jalan-jalan kota Wuhan. Warga kini membanjiri supermarket untuk menimbun makanan, yang menyebabkan terjadinya lonjakan harga.

Menurut foto-foto yang beredar dari Weibo, ada kembang kol dengan harga sekitar 40 yuan atau sekitar 78 ribu rupiah per satuan dan kubis seharga 35 yuan atau 68 ribu rupiah —ditambah lima kali lipat dari harga normal. Video dari Weibo juga menunjukkan orang-orang saling menyikut demi memperoleh sayuran.

Xiao, seorang warga distrik kota Wuchang, mengatakan ia tinggal jauh dari daerah sekitar rumah sakit dan tempat-tempat umum karena takut terkena virus.

Dia mengatakan, perusahaannya pada 21 Januari mulai mengharuskan setiap anggota staf untuk memakai masker dan mengukur suhu tubuh mereka sendiri.

“Saat itulah kita mengetahui sudah menjadi serius,” kata Xiao.

Warga Kota Wuhan lainnya yang bermarga Liu mengatakan, ia mengetahui banyak tempat kerja yang mengeluarkan pemberitahuan yang meminta staf mereka untuk tidak berpergian ke kota asal mereka untuk Tahun Baru Imlek, semacam musim puncak perjalanan di Tiongkok atau mudik imlek.

Hu, yang tinggal di distrik Jiangan, mengatakan bahwa masker di apotek sudah habis terjual. Dia mengkritik pihak berwenang karena pernyataan mereka saling bertentangan yang mengarah kepada memburuknya wabah tersebut.

“Ini gaya birokrasi klasik. Mereka tidak melihat kehidupan manusia sehari-hari sebagai kehidupan, “katanya. 

“Tidak ada yang peduli sebelum semuanya menjadi tidak terkendali,” tambahnya.

Seorang perawat dari Rumah Sakit Xiehe Wuhan mengatakan, beberapa staf di departemennya sakit dan kini sudah  diisolasi. Sementara suaminya tinggal bersamanya di kota, mereka mengirim anak-anak dan orangtua mereka ke luar kota.

“Kami mempertaruhkan hidup kami di tempat kerja,” tulisnya dalam surat elektronik yang diperoleh oleh The Epoch Times

“Sangat mungkin bahwa dengan satu pemberitahuan, saya tidak akan diizinkan pulang dan diisolasi di rumah sakit, ini sangat mengerikan. Tidak ada yang memperlakukan kami sebagai seseorang dalam masyarakat ini,” ujarnya.  (asr)

Video Rekomendasi :