Apakah Lockdown Bekerja?

Dennis Prager

Hal yang menjadi pertanyaan di masa pandemi virus Komunis Tiongkok di ratusan negara terdampak adalah, mengapa pemerintah di dunia menyebabkan ratusan juta warganegaranya menganggur, memiskinkan setidaknya satu miliar orang, membahayakan kehidupan jutaan keluarga, mengakibatkan sejumlah besar pemilik bisnis bangkrut dan pekerja yang hidup dari gaji ke gaji, dan meningkatkan intensitas bunuh diri?

Alasan yang diberikan adalah bahwa kita harus menghentikan hampir semua kegiatan manusia sosial dan ekonomi untuk mencegah jutaan orang meninggal akibat Corona virus Komunis Tiongkok dan rumah sakit yang penuh sesak.

Tetapi apakah itu benar? Apakah Lockdown itu perlu?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu tahu berapa banyak orang akan mati akibat virus Komunis Tiongkok atau COVID-19 itu, jika kita tidak menghancurkan kehidupan ekonomi dunia.

Yang benar adalah kita tidak tahu. Dan kebenarannya adalah kita tidak pernah tahu. 

Sejumlah besar komunitas “ahli” menyelubungi dirinya dengan kepastian yang tidak ilmiah, dimulai, pada tanggal 16 Maret, di mana sebuah model dari Imperial College London yang memproyeksikan sekitar 2,2 juta orang Amerika Serikat dan setengah juta orang Inggris akan mati.

 Hampir setiap pemimpin nasional, politisi dan kantor media di dunia percaya model tersebut. Para pria dan wanita modern telah mengubah “para ahli” menjadi para nabi dan pendeta.

 Ilmu pengetahuan adalah agama sekuler, dan “para ahli” adalah para nabi dan pendeta ilmu pengetahuan. Padahal, “para ahli” mempunyai wewenang yang lebih besar di kalangan sekuler, terutama yang tersisa dari pusat, daripada Paus Gereja Katolik yang memiliki umat Katolik.

Sedangkan Paus memohon doktrin “infalibilitas” dua kali dalam sejarah Gereja Katolik, “para ahli” memohonnya setiap hari di antara umat beragama sekuler.

Tetapi atas dasar apa kita percaya bahwa jutaan orang akan mati tanpa menghancurkan ekonomi Amerika Serikat dan dunia? Tanpa kita diberitahu oleh Tuhan yang Maha Tahu, tidak ada cara untuk mengetahui jawaban pasti.

Ada beberapa data yang meragukan asumsi-asumsi tersebut, secara keseluruhan berdasarkan pada satu-satunya metrik yang penting: kematian per 1 juta. Jumlah orang yang terinfeksi yang dipastikan adalah tidak ada artinya, karena sangat sedikit orang di mana saja yang telah diuji untuk virus tersebut. Kita tidak tahu sudah berapa banyak orang yang terinfeksi virus itu dan tidak pernah mengetahuinya. Apalagi pembawa virus tanpa gejala atau dengan sedikit gejala merupakan mayoritas dari mereka yang terinfeksi.

Menurut situs Worldometer, Amerika Serikat berada di peringkat ke-12, dengan 71 kematian per 1 juta orang. Itu belum mencakup San Marino dan St. Martin karena tempat tersebut memiliki populasi kecil.

Angka kematian Prancis adalah 229 per 1 juta orang, tiga kali lebih besar dari angka kematian Amerika Serikat, dan Prancis dikarantina pada tanggal 17 Maret. Amerika Serikat tidak mengkarantina seluruh negeri karena keputusan itu adalah tanggung jawab negara. Kita ambil contoh California, negara bagian Amerika yang terpadat.

California melanjutkan karantina di seluruh negara bagian tersebut pada tanggal 19 Maret, dua hari setelah karantina Prancis. Angka kematian akibat Coronavirus di California adalah 2 per 100.000 orang. 

Contoh kedua. Deux. Itu berarti Prancis, yang dikarantina dua hari sebelum karantina California, memiliki angka kematian lebih dari 10 kali lipat.

Nebraska, salah satu dari sedikit negara bagian Amerika Serikat yang belum dikarantina memiliki angka kematian kurang dari 1 per 100.000 orang. Itu menurut daftar kematian harian Washington Post akibat Coronavirus Amerika Serikat.

Apa yang dikatakan statistik itu mengenai kemanjuran dan tidak terpisahkan dari Lockdown?

Sebagai gambaran mengenai seberapa pemikiran banyak “ahli” yang tidak dapat diandalkan, Los Angeles Times menerbitkan sebuah artikel pada tanggal 10 April berjudul “Angka Kematian Akibat Coronavirus di California Adalah Jauh di Bawah New York. Inilah Alasannya.”

Di dalam artikel tersebut, para penulis, tanpa ragu, melaporkan bahwa Nicholas Jewell, yang dikenal sebagai “seorang biostatistik UC Berkeley,” menjelaskan mengapa California memiliki begitu sedikit kasus kematian dibandingkan New York:

“Hanya menempatkan kendali-kendali tersebut satu hari sebelumnya membuat perbedaan angka pertumbuhan yang amat sangat besar,“ kata Nicholas Jewell, mengacu permintaan karantina pada tanggal 19 Maret oleh Gubernur California Gavin Newsom. 

Sedangkan Gubernur New York Andrew Cuomo menunggu tiga hari lagi untuk mengkarantina negara bagian New York. Itulah yang menurut ahli dari UC Berkeley dan Los Angeles Times, menjelaskan perbedaan angka pertumbuhan yang amat sangat besar antara California dengan New York.

Kemudian artikel tersebut menambahkan satu baris yang merusak seluruh tesisnya:

“Gubernur Florida Ron DeSantis tidak memaksakan perintah untuk berada  di rumah sampai tanggal 1 April.”

Tampaknya, tidak pernah terpikir oleh penulis Los Angeles Times meninjau angka kematian di Florida. Media non konservatif sebagian besar tidak berharga selama krisis ini. Secara intelektual adalah tidak bagus, dan, bersama dengan “para ahli,” adalah pemicu utama kepanikan.

Jika penundaan beberapa hari dalam perintah lockdown suatu negara bagian atau negara membuat “perbedaan angka pertumbuhan yang amat sangat besar” dalam angka kematian, Florida seharusnya memiliki angka kematian yang lebih buruk daripada New York, apalagi California. 

Namun angka kematian Florida adalah di antara yang terendah di Amerika Serikat: 24 per 1 juta orang, terlepas dari kenyataan bahwa Florida, bersama dengan Maine, memiliki persentase terbesar orang lanjut usia berusia 65 tahun dan lebih.

Kemudian ada Swedia, negara industri demokrasi Barat tidak dikarantina menimbulkan kemarahan hebat dari para ilmuwan dan “ahli” lainnya, serta media sayap kiri seluruh dunia. Swedia, yang masih membuka restoran dan bisnisnya, masih jauh di bawah Spanyol, Italia, Belgia, Prancis, Inggris, Belanda, Swiss dan Luksemburg, dalam hal angka kematian per 1 juta orang. Padahal negara-negara itu semuanya melakukan karantina nasional.

Angka kematian Swedia per 1 juta orang adalah lebih tinggi daripada angka kematian negara tetangganya di kawasan Skandinavia, yaitu Norwegia dan Denmark, yang mengkarantina kehidupan ekonominya.

 Tetapi pada laporan terbaru, dalam dua hari terakhir, Swedia, yang memiliki jumlah penduduk yang hampir sama dengan jumlah penduduk Denmark ditambah dengan jumlah penduduk Norwegia, kehilangan 20 warganya akibat Coronavirus, sementara Denmark dan Norwegia kehilangan 18 warganya.

Sayap Kiri menyalahkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk krisis Amerika, seolah-olah hanya Amerika Serikat yang mengalami kehancuran ekonomi dan hilangnya nyawa.

Bila sayap Kiri jujur, sayap Kiri akan menyalahkan ketergantungan pada “ahli” dan “pemodelan.” Tetapi sayap Kiri membenci Donald Trump melebihi cintanya untuk orang Amerika Serikat atau kebenaran. (vv)

FOTO : Teater Chicago Tertutup terlihat di Chicago, Illinois, pada 21 Maret 2020. (Kamil Krzaczynski / AFP via Getty Images)

https://www.youtube.com/watch?v=bB2Di80kSLI