Ahli : Pandemi Mengungkapkan Alarm Absennya Etika di Laboratorium Virologi Tiongkok

Venus Upadhayaya

Pandemi virus Komunis Tingkok menyoroti sejarah salah urus, korupsi, dan kurangnya etika di laboratorium virologi Tiongkok. Banyak teori yang beredar mengenai virus itu. Pertanyaan berkembang mengenai sumber Coronavirus yang dimiliki itu merenggut lebih dari 240.000 jiwa dan menginfeksi lebih dari 3,4 juta orang di seluruh dunia pada tanggal 2 Mei, menurut hitungan dari Johns Hopkins. Tetapi jumlah orang yang terinfeksi dan meninggal sebenarnya tidak dapat dikonfirmasi karena kekurangan data akurat dari Tiongkok.

Satu teori yang banyak beredar adalah bahwa virus Komunis Tiongkok  diproduksi di dalam Institut Virologi Wuhan, ini adalah sesuatu yang dibantah rezim Tiongkok.

Terlepas dari itu, para ahli mengatakan investigasi ke dalam penelitian Tiongkok mengenai Coronavirus menunjukkan kurangnya etika di laboratorium virologi Tiongkok, akar penyebabnya adalah kendali mutlak Komunis Tiongkok atas lembaga-lembaga ini.

“Selama bertahun-tahun, ahli virus yang bekerja yang di negara-negara Barat membayangkan para rekan sejawatnya di Tiongkok beroperasi di bawah pedoman etika yang sama yang mereka lakukan. Tentu saja aturan tertulis — disalin dari negara-negara Barat — tampak sama. Tetapi dalam hal perilaku aktual, praktiknya cukup berbeda. Segala sesuatu di Tiongkok didorong oleh kebutuhan politik Partai Komunis Tiongkok,” kata Steven Mosher,Population Research Institute, amal untuk hak asasi manusia, mengatakan dalam sebuah email.

Masalah Etika dengan Penelitian Coronavirus Tiongkok

Teori mengenai virus Komunis Tiongkok yang lolos dari laboratorium tersebut berasal dari fakta bahwa pasien pertama yang terinfeksi jenis Coronavirus baru di Wuhan, tempat  seorang peneliti berperingkat tinggi, Dr. Zhengli Shi, telah melakukan penelitian peningkatan-fungsi pada virus SARS di Institut Virologi Wuhan.

Penelitian peningkatan-fungsi melibatkan secara sengaja meningkatkan penularan atau virulensi suatu patogen.

Pemerintahan Amerika Serikat menjeda pendanaan jenis penelitian peningkatan-fungsi tertentu pada tahun 2014, dan mengangkatnya pada tahun 2017 dengan penekanan bahwa “proses peninjauan yang bijaksana” yang ditetapkan oleh HHS harus diikuti.

Dr. Zhengli Shi, juga dikenal sebagai “wanita kelelawar” di Tiongkok karena  penelitiannya terhadap mamalia bersayap itu, menyimpan kelelawar yang diketahui membawa Coronavirus di dalam Institut Virologi Wuhan.

Risiko yang terlibat dalam penelitian peningkatan-fungsi menjadi perdebatan di sebuah artikel yang diterbitkan di Nature pada tahun 2015 yang membahas sebuah virus chimera  ditemukan menginfeksi manusia setelah diciptakan di sebuah laboratorium melalui rekayasa genetik di antara kelelawar tapal kuda di Tiongkok dengan virus SARS, oleh sebuah  kelompok ahli virologi internasional termasuk Dr. Zhengli Shi.

“Jika virus tersebut lolos, tidak seorang pun yang dapat memprediksi lintasannya,” kata Simon Wain-Hobson, seorang ahli virus di Institut Pasteur di Paris, mengatakan kepada Nature pada saat itu.

Meskipun tidak pasti apakah virus chimeria itu disimpan di laboratorium Dr. Zhengli Shi di Wuhan, kasus tersebut menyoroti risiko yang terlibat dalam penelitian tersebut.

Majalah Nature baru-baru ini menerbitkan suatu sanggahan yang mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan virus chimeria itu adalah penyebab pandemi saat ini.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat  Mike Pompeo mengatakan pada “Larry O’Connor Show” pada tanggal 23 April bahwa Amerika Serikat terus-menerus mengevaluasi fasilitas berisiko tinggi semacam itu di seluruh dunia yang meneliti virus untuk memastikan semua langkah-langkah keamanan diikuti.

“Ada banyak jenis laboratorium di Tiongkok, dan kami prihatin  bahwa Tiongkok tidak memiliki keahlian, kemampuan, dan proses, dan protokol, yang memadai untuk melindungi dunia dari potensi lolosnya virus,” kata Mike Pompeo.

Tuduhan Penjualan Hewan Dari Laboratorium ke Pasar

Satu teori adalah bahwa entah bagaimana Coronavirus berasal dari Pasar Makanan Laut Huanan di Wuhan sebagai akibat dari lompatan patogen ke manusia dari daging yang terkontaminasi yang diperoleh dari laboratorium penelitian Tiongkok.

Para peneliti dari laboratorium ini diduga menjual bangkai binatang setelah mereka melakukan percobaan pada binatang itu.

Para ahli yang diwawancarai oleh The Epoch Times untuk kisah ini telah menyatakannya kekhawatiran akan praktik ini, karena laporan korupsi di dalam laboratorium Tiongkok. Para ahli khawatir hal tersebut dapat  menjadi saluran penularan virus.

Sekelompok anggota parlemen Amerika Serikat bipartisan menyatakan keprihatinannya dalam surat mereka kepada Organisasi Kesehatan Dunia serta Organisasi Pangan dan Pertanian, menyerukan “penutupan global satwa liar hidup pasar” setelah teori pandemi yang berasal dari pasar basah untuk masa depan.

Kasus mengenai praktik korupsi baru-baru ini dilaporkan oleh The Epoch Times Edisi Mandarin : Ning Li, seorang profesor dari Universitas Agrikultural

Tiongkok dijatuhi hukuman 12 tahun penjara pada bulan Februari karena menjual binatang dari laboratorium di Wuhan tempat ia bekerja.

Dari 3,7 juta yuan Tiongkok yang diperoleh Ning Li dari hasil kejahatannya, lebih dari 1 juta yuan Tiongkok berasal dari penjualan binatang atau susu digunakan oleh laboratorium, termasuk babi dan sapi.

Sean Lin, seorang mantan peneliti virologi untuk Angkatan Darat Amerika Serikat, mengatakan kejahatan semacam itu sulit dibawa ke pengadilan di Tiongkok.

“Bahkan jika orang ingin memaparkan  beberapa staf institut atau para pemimpin yang menjual binatang percobaan ke pasar, suara mereka dapat dengan mudah dibungkam oleh pimpinan institut atas nama menjaga reputasi institut,” kata Sean Lin.

Wendy Rogers, ahli Australia dalam bidang bioetika praktis dan salah satu dari 10 orang top di Nature yang penting dalam bidang ilmu pengetahuan pada tahun 2019, mengatakan melalui email, bahwa budaya semacam itu semakin mendorong praktik korupsi di dalam laboratorium Tiongkok ini.

“Ada toleransi luas terhadap korupsi di Tiongkok, yang mana mendorong warga untuk ‘pergi’ dengan tindakan tidak etis atau ilegal jika mereka mampu, terutama jika dengan melakukan hal itu, mereka dapat menghasilkan penghasilan tambahan,” kata Wendy Rogers.

‘Sistem Akan Menjadi Lebih Tertutup’

Saat ditanya apakah pandemi akan memaksa rezim Tiongkok untuk menjadi lebih transparan kepada komunitas internasional dalam hal penelitian virologi Tiongkok, Steven Mosher mengatakan ia tidak percaya hal itu akan terjadi.

“Reaksi Partai Komunis Tiongkok akan menjadi kurang transparan dan kurang etis dengan menyembunyikan semakin banyak apa yang dilakukannya dari komunitas ilmiah, dengan menempatkan semakin banyak hambatan untuk publikasi dan kerja sama internasional. Sistem akan menjadi lebih tertutup, daripada lebih terbuka. Lagi pula, ini adalah ‘keadaan alami’ dari teknologi-tinggi, birokratis, negara totaliter,” kata Steven Mosher. Ia menambahkan, para dokter dan peneliti yang berusaha transparan mengenai virus Komunis Tiongkok telah dihukum dan disensor.

Steven Mosher menjelaskan, Mereka yang bersedia berpartisipasi dalam jaringan kebohongan yang dirangkai oleh pihak berwenang pusat telah dipuji dan dipromosikan. Demikianlah kurangnya pertumbuhan etika.  

Virologi Sean Lin menunjukkan bahwa orang-orang di Tiongkok tidak memiliki kebebasan berbicara, selama pandemi bahkan para dokter serta perawat tidak boleh secara terbuka membicarakan masalah wabah atau kurangnya “pasokan medis kepada media publik atau jurnal ilmiah.”

“Dunia juga perlu menyelidiki apakah Institut Virologi Wuhan, bersama dengan Unit Kedokteran Militer Tiongkok, telah melakukan proyek pengembangan senjata biologis, meskipun Komunis Tiongkok berjanji untuk tidak melakukannya dengan menandatangani Konvensi Senjata Biologis pada tahun 1985,” kata Sean Lin. (Vv)

https://www.youtube.com/watch?v=2RcWVTjfFF8