Kisah Seorang Pengacara Wanita Menghadapi Rezim Komunis Tiongkok dan Gereja Katolik

Theepochtimes.com- Pada tanggal 2 Juni 2020, Liz Yore mengajukan tiga pengajuan ke pelapor-pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kebebasan berkeyakinan dan beragama. Pengajuan pertama merincikan pelanggaran hak berkeyakinan dan beragama bagi anak-anak Tiongkok, sedangkan pengajuan yang kedua menguraikan dua uskup Katolik yang dipenjara oleh  Komunis Tiongkok, di mana salah satu uskup tersebut telah ditahan selama 25 tahun, yang keberadaannya tidak diketahui.

Pengajuan yang ketiga, kata Liz Yore, mengingatkan pelapor-pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa akan perjanjian bulan September 2018 antara Vatikan dengan Tiongkok, di mana Vatikan “apakah secara sadar atau tidak…membantu dan bersekongkol dengan kampanye Tiongkok untuk menghapus agama dari peta Tiongkok.”

Pelapor-pelapor khusus adalah para ahli hak asasi manusia yang independen yang tidak dibayar dan ditunjuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Di antara mandat lain, pelapor-pelapor khusus ini menyelidiki dan menilai pengaduan dari berbagai penyalahgunaan dan pelanggaran hak asasi manusia, yang mencakup hal-hal yang mempengaruhi kebebasan berkeyakinan dan beragama.

Melarang Anak-Anak dan Remaja Dari Layanan Keagamaan

Sementara Komunis Tiongkok menandatangani sendiri  U.N. Convention on the Rights of the Child (UNCRC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Asasi Anak pada tahun 1992,  Liz Yore menunjukkan bahwa meskipun demikian, Partai Komunis Tiongkok memberlakukan hukum untuk melarang anak atau remaja di bawah usia 18 tahun, untuk menghadiri atau berpartisipasi dalam layanan keagamaan dari agama apa pun, bahkan agama yang paling dekat dengan Asia. 

“Peraturan agama yang direvisi…melarang anak di bawah usia 18 tahun berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan dan pendidikan agama,” demikian pernyataan laporan Kementerian Luar Negeri AS pada tahun 2019 mengenai Kebebasan Beragama Internasional: Tiongkok.

“Hukum tersebut mengamanatkan pengajaran ateisme di sekolah, dan arahan Partai Komunis Tiongkok memberikan panduan kepada universitas mengenai cara mencegah dakwah asing terhadap mahasiswa,” demikian bunyi laporan tersebut.

Sebagaimana digarisbawahi oleh pengajuan Liz Yore ke pelapor-pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, Pasal 14 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Asasi Anak secara khusus membahas hak-hak agama bagi anak-anak.

“Para pihak, seharusnya menghormati hak anak atas kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama,” kata laporan tersebut. 

Pasal 14 juga mengabadikan “hak dan kewajiban orang tua” untuk “menyediakan arahan kepada anak dalam menjalankan haknya” untuk kebebasan berpikir, hati nurani, dan beragama.

Namun, ada suatu keberatan di konvensi tersebut. “Kebebasan untuk memanifestasikan agama atau kepercayaan seseorang mungkin hanya tunduk pada pembatasan semacam itu sebagaimana ditentukan oleh hukum dan diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain.”

Komunis Tiongkok sering menggunakan celah semacam itu untuk membenarkan penindasannya atas segala jenis hak asasi manusia adalah untuk ‘keselamatan masyarakat,’ yang atas nama “keamanan nasional” atau “stabilitas.”

Namun, Pasal 14 bukan satu-satunya klausul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Asasi Anak yang membahas hak anak dalam hal yang non-duniawi. Konvensi tersebut juga melindungi hak-hak spiritual bagi anak-anak, dalam empat artikel berikutnya.

Untuk kesejahteraan spiritual dan perkembangan anak-anak, para penandatangan harus “memastikan bahwa anak memiliki akses ke informasi dan materi dari suatu keanekaragaman sumber nasional dan internasional.”

Dalam klausul lain, hak-hak anak-anak cacat, yang mencakup pengembangan “spiritual” mereka, diabadikan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Asasi  Anak. 

Dan Pasal 27 mengakui “hak setiap anak untuk standar hidup yang memadai untuk perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak.”

Akhirnya, Pasal 32 “mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dilindungi dari melakukan pekerjaan apa pun yang cenderung berbahaya atau mengganggu pendidikan anak, atau membahayakan kesehatan atau perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial anak.”

Namun, terlepas dari janji-janji ini, sebagai hasil undang-undang baru Tiongkok, “300 juta anak-anak Tiongkok tidak diizinkan pergi ke rumah ibadat,” kata Liz Yore.

Ini “adalah akhir praktik keagamaan di Tiongkok selama satu generasi.” “Suara-suara semacam itu tidak akan terdengar di Tiongkok,” kata Liz Yore.

Vatikan, Tiongkok, dan Uskup

Liz Yore juga prihatin dengan keadaan agama di Tiongkok secara keseluruhan. Sebagai seorang Katolik, Liz Yore sangat terkejut dengan perjanjian bulan September 2018 yang ditandatangani oleh Vatikan dan Tiongkok. Sebuah perjanjian umum pertama antara Vatikan dan Tiongkok sejak Partai Komunis Tiongkok mengambil alih Tiongkok pada tahun 1949.

Liz Yore mengatakan bahwa “perjanjian tersebut bukan hanya bencana bagi umat Katolik tetapi juga bencana untuk semua agama.”

Perjanjian tersebut, meskipun rinciannya pasti dirahasiakan, Liz Yore berkata, memungkinkan Partai Komunis Tiongkok untuk memilih uskup untuk gereja di Tiongkok, meskipun Paus Francis mengatakan dalam laporan terpisah bahwa keputusan akhir akan menjadi miliknya.

Yang paling kontroversial, laporan tersebut mengatakan bahwa Vatikan akan menerima sebagai tujuh uskup Tiongkok yang sah ditahbiskan oleh pejabat rezim Tiongkok di Asosiasi Patriotik Katolik, dan dengan demikian  tujuh uskup Tiongkok tersebut telah dipertimbangkan, sampai sekarang, sebagai uskup “tidak sah.”

Liz Yore mengatakan bahwa hak-hak keagamaan di seluruh papan di Tiongkok kini telah dikompromikan. Kini Tiongkok dapat “menantang” bahwa Paus Francis setuju untuk duduk dan bernegosiasi dengan Tiongkok.” Liz Yore mengatakan Paus Francis telah “mengkhianati gereja.” 

Sementara itu, nasib Uskup Su Zhimin dan Cui Tai, keduanya dengan mantap menolak untuk meninggalkan Roma dan menolak menerima Gereja Katolik Partai Komunis Tiongkok, sedang dipertanyakan. 

Beberapa percaya bahwa Uskup Su Zhimin mungkin tidak lagi hidup, sementara Uskup Cui Tai “dibawa pergi oleh polisi” pada tanggal 19 Juni, setelah dibebaskan pada bulan Januari, menurut laporan Asia News.

Para anggota Gereja di dalam keuskupan Uskup Cui Tai mengatakan keberadaan Uskup Cui Tai tidak diketahui.

Sementara itu, “jumlah yang tidak diketahui” uskup, imam, dan umat awam Katolik tetap berada di penjara, aktivis hak asasi manusia Benedict Rogers melaporkan di Majalah Standpoint pada bulan Januari.

Liz Yore berkata Kardinal Joseph Zen dari Hong Kong “memohon agar Paus tidak untuk menandatangani perjanjian ini, dan berusaha untuk mendidik Paus mengenai apa itu Partai Komunis Tiongkok.” 

Kardinal Joseph Zen terbang dari Hong Kong ke Roma tanpa membuat janji, untuk melihat apakah ia dapat membujuk Paus agar tidak melanjutkan perjanjian tersebut.

Keterangan gambar : Kardinal Joseph Zen, mantan uskup Hong Kong, berbicara selama konferensi pers di Salesian House of Studies di Hong Kong pada 26 September 2018, menyusul pengumuman Vatikan pada 22 September tentang perjanjian bersejarah dengan Tiongkok mengenai penunjukan para uskup di negara Komunis. (Anthony Wallace / AFP via Getty Images)

Perjanjian tersebut telah dikritik “hampir serempak” oleh LSM hak asasi manusia seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan Open Doors, serta oleh Komisi Kebebasan Beragama Internasional Amerika Serikat, kata Liz Yore.

“Mereka telah memohon kepada Vatikan untuk mengungkapkan persyaratan tersebut,” kata Liz Yore. Akan tetapi “baru-baru ini kami mendengar bahwa [Vatikan dan Tiongkok] akan melakukan negosiasi ulang perjanjian tersebut, yang muncul untuk pembaruan pada bulan September 2020.

Latar Belakang Seorang Aktivis

Liz Yore sebelumnya bekerja di National Center for Missing and Exploited Children, serta “Pengacara Anak Oprah Winfrey, keduanya dengan Oprah Winfrey Show dan di Afrika Selatan di Oprah Winfrey Leadership Academy untuk Anak Perempuan,” menurut biografi situs web Liz Yore.

“Saya memiliki kewajiban untuk mendorong upaya hukum apa yang ada di luar sana. Saya telah bekerja cukup lama di bidang ini untuk melihat mukjizat terjadi, untuk melihat keadilan, dan untuk melihat kemustahilan menjadi mungkin,” kata Liz Yore, saat ditanya mengenai kecenderungan pengajuannya kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa akan membuahkan hasil.

Keterangan gambar : Elizabeth Yore. (Courtesy Elizabeth Yore)

“Saya telah terlibat dalam masalah anak-anak sepanjang hidup saya. Saya mengikuti naluri saya. Telah terjadi pembongkaran penghancuran gereja, menutup massa, menutup ziarah dan situs ziarah,” kata Liz Yore.

Liz Yore berkata mengenai orang-orang yang hilang di Tiongkok karena menjalankan keyakinan dan agamanya : “Mengapa kita tidak membela wajah semua orang-orang yang hilang di sana?” 

Liz Yore menegaskan : “Saya tidak tahu apakah ada daftar di Vatikan. Kita harus melakukan ini sebagai cara untuk menjaga kasus-kasus ini tetap segar, dan untuk menjaga agar kasus-kasus ini tetap panas bagi Partai Komunis Tiongkok. Semua warga Uighur… mengapa kita tidak memiliki foto mereka? Menurut saya ini adalah sesuatu yang dibenci Tiongkok. Mengapa kita tidak mempromosikan hal tersebut? Orang-orang yang hilang dan ada satu juta orang ditahan di kamp — mari kita lacak mereka, mari kita menuntut pembebasan mereka,” 

“Saya berharap pengajuan [pelapor khusus] ini memberi harapan kepada orang-orang di Tiongkok.”

Keterangan Gambar: Pilar gereja Katolik yang dihancurkan terlihat di Puyang, di provinsi Henan Cina bagian tengah pada 13 Agustus 2018. Gereja itu dihancurkan setelah jemaat menolak untuk menyumbangkan gedung itu kepada pemerintah daerah. (Greg Baker / AFP / Getty Images)

(Vivi/asr)

Video Rekomendasi

https://www.youtube.com/watch?v=FeIwVEo53r0