Perlindungan Hak Bahasa Ibu Mongolia Menjadi Subversif? Ratusan Pengunjuk Rasa Ditangkap

Wawancara : Chen Han,  Editor : Shang Yan, Pasca Produksi : Chen Jianming

Pemaksaan kurikulum bahasa Mandarin oleh Partai Komunis Tiongkok memicu perlawanan dari orang-orang di Mongolia Dalam. Banyak siswa Mongolia bolos sekolah. Partai Komunis Tiongkok memaksa pegawai negeri setempat untuk menyekolahkan anak-anak mereka disertai ancaman.  

Melansir laporan “Shangdu.com” 6 September 2020 dari Spanduk Zhenglan, atau spanduk Mongolia Dalam, pada 5 September lalu, pejabat di Zhenglan Banner menjatuhkan sanksi berupa penangguhan pada dua pejabat di Mongolia Dalam, karena menolak melaksanakan “Penentuan dan Keputusan Besar Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok”. 

Semua upah ditangguhkan sementara selama pemberhentian tersebut, dan akan diselidiki lebih lanjut serta pertanggungjawaban sesuai prosedur.

Berita ini menunjukkan bahwa peralihan ke pelajaran bahasa Mandarin di sekolah-sekolah Mongolia saat ini adalah pengaturan dari Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, dan pemerintah setempat sedang memaksakan kewajiban itu.

Selain itu, Menteri Keamanan Publik, Zhao Kezhi berkunjung ke badan keamanan publik di semua level dan tim akar rumput di kota Hulunbuir, Hohhot dan Yinchuan, ibu kota provinsi Ningxia, Tiongkok secara berturut-turut dari tanggal 29 Agustus hingga 2 September 2020. Dia menuntut agar mereka “benar-benar setia” kepada partai. 

“Kita harus memperdalam perang melawan separatisme dan secara ketat menerapkan tindakan anti-terorisme,” kata Zhao Kezhi. 

Pusat Informasi Hak Asasi Manusia Mongolia Selatan” mengatakan bahwa itu merupakan peringatan dari pusat dalam menangani aksi protes orang-orang Mongolia.

Ada dokumen yang menunjukkan bahwa Kantor Komite komunis Tiongkok di Zhenglan Banner, Kantor Komite Partai di Bairin Right Banner, dan Pemerintah di Spanduk Ujimqin Barat, dimana pada 6 September lalu memperingatkan semua pegawai negeri dan pegawai lembaga publik bahwa mereka harus menyekolahkan anak mereka ke sekolah pada 7 September 2020. Jika tidak mereka akan diskors dari pekerjaan pada 8 September, dan akan dilakukan PHK sesuai prosedur.

Pusat Informasi Hak Asasi Manusia Mongolia Selatan melaporkan bahwa lima pegawai pemerintah di Spanduk Naiman, Mongolia Dalam diskors karena hal itu. Semua tunjangan juga ditangguhkan. Biro Keamanan Umum Spanduk Naiman dan Biro Keamanan Umum Spanduk Tengah Kiri Horqin secara administratif menahan 17 warga Mongolia.

Togochog Enhebatu, direktur informasi untuk hak asasi manusia di Mongolia Selatan, mengatakan bahwa sekarang sulit untuk berkomunikasi dengan Mongolia dan media sosial serta panggilan telepon, karena semua itu dikendalikan. Jadi sulit untuk menghitung jumlah spesifik orang yang ditangkap.

“Kami memperkirakan secara kasar bahwa setidaknya ada ratusan orang yang ditangkap. Bahkan sebelum protes, banyak orang ditahan atau menjadi tahanan rumah, dan jumlahnya mungkin ribuan orang termasuk mereka yang menjadi tahanan rumah,” kata Togochog Enhebatu.

Radio Free Asia mengutip sebuah sumber yang mengatakan bahwa polisi di Mongolia Dalam sedang melakukan penangkapan besar-besaran. Sementara itu, pejabat setempat mengatakan tidak ada gunanya berbicara tentang hukum pada mereka, ini adalah tugas politik, dan secara langsung mengatakan bahwa, “kalian menentang pendidikan dwibahasa itu sama dengan menentang pemerintah dan merupakan tindakan subversif.”

Togochog Enhebatu menilai bahwa aksi protes orang-orang Mongolia yang didefinisikan sebagai tindakan anti pemerintah dan subversi terhadap rezim itu absurd, karena menggunakan bahasa induk/ibu pertiwi adalah hak yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang daerah otonom.

“Bukan orang Mongolia yang melanggar hukum tapi pemerintah. Jadi mereka hanya ingin pemerintah menghormati hak-hak mereka yang paling dasar. Mereka juga tidak berbicara tentang hak politik atau bahkan hak asasi manusia. Mereka tidak menyinggung sedikitpun tentang ini. Tuntutan mereka sangat sederhana. Mereka hanya ingin menggunakan bahasa ibu mereka (Bahasa Mongolia),” kata Togochog Enhebatu. 

Xi Haiming atau Temtsiltu Shobtsood atau Temtselt Shobshuud dalam Bahasa Mongolia, yakni ketua Partai Rakyat Mongolia Dalam di pengasingan di Jerman, mengatakan bahwa karakterisasi itu adalah metode yang selalu didengungkan Partai Komunis Tiongkok.

Untuk diketahui  Xi Haiming atau Temtsiltu Shobtsood atau Temtselt Shobshuud adalah seorang aktivis etnis Mongolia yang berkampanye untuk kemerdekaan “Mongolia Selatan”. Sekarang dia adalah ketua Partai Rakyat Mongolia Dalam.

Menurut Xi Haiming, Partai Komunis Tiongkok selalu ingin mendorong kontradiksi ini ke luar, tidak mencari kebijakannya sendiri yang salah yang menimbulkan kontradiksi tersebut, atau mencari sebab apa yang melanggar hukum mereka sendiri. Partai Komunis Tiongkok hanya mengatakan, kami tidak bermasalah. Semua masalah itu karena kekuatan pasukan asing yang bermusuhan. Ini adalah praktik yang biasa Partai Komunis Tiongkok lakukan. Partai Komunis Tiongkok menggunakan alasan seperti itu, mereka hanya membuat gambar yang sangat abstrak, dan menggunakannya untuk menakut-nakuti orang-orang Mongolia Dalam.  

Di bawah tekanan pemerintah yang kuat, beberapa pegawai negeri di kota-kota besar seperti Hohhot dan kota besar lainnya di Mongolia Dalam, terpaksa menyekolahkan anak-anak mereka. Akan tetapi sebagian besar orang tua siswa di kabupaten Mongolia Dalam terus membiarkan anak-anak mereka tinggal di rumah.

“Bahasa ibu adalah simbol terakhir identitas suku bangsa bagi orang-orang Mongolia Dalam. Pemerintah Partai Komunis TIongkok selalu menerapkan kebijakan genosida ini di selatan Mongolia. Lihat saja, gerakan revolusi kebudayaan Partai Rakyat Mongolia Dalam di akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, setidaknya ratusan ribu orang Mongolia kehilangan nyawa mereka. Itu adalah genosida fisik, dan sekarang adalah genosida budaya,” kata Togochog Enhebatu. 

Sementara itu menurut “Pusat Informasi untuk Hak Asasi Manusia Mongolia Selatan”, seorang pegawai negeri perempuan Mongolia dari Spanduk Kiri Alxa, mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung pada 4 September 2020. Aksi itu  sebagai bentuk protes atas pendidikan bahasa Mandarin yang dipaksakan oleh Partai Komunis Tiongkok. Tetapi polisi meminta suaminya yang bekerja di pemerintahan untuk tutup mulut. 

Ini merupakan nyawa keempat orang yang berakhir tragis sebagai bentuk protes terhadap apa yang disebut Partai Komunis Tiongkok sebagai “pendidikan bilingual.” 

Tiga korban tewas lainnya termasuk seorang siswa sekolah menengah Mongolia dari Spanduk Tengah Kiri Horqin, seorang wali murid dari Spanduk Ongniud, dan seorang guru dari Zhenglan Banner. (jon)