Biografi Kaisar Wu dari Dinasti Han : Kaisar Masa Jaya (3)

Prahara penggantian putra mahkota dan permaisuri

Namun pengaturan nasib  selalu  penuh  dramatisme. Putri Guan Tao, kakak perempuan kaisar Han Jing mempunyai seorang putri bermarga Chen, yaitu yang dikemudian hari dalam legenda disebut sebagai Chen A Jiao. Sang putri ingin menjodohkan putrinya dengan putra mahkota, maka dia berusaha berbaikan dengan Li Ji. 

Namun Li Ji adalah seorang pencemburu, sedangkan putri Guan Tao selalu merekomendasikan wanita muda dan cantik kepada kaisar Han Jing, yang semuanya disukai kaisar, sebab itu Li Ji sangat mendendam Putri Guan Tao dan langsung menolak masalah pernikahan tersebut.

Putri Guan Tao merupakan kesayangan ibusuri Dou, yang mempunyai hubungan sangat dekat dengan Kaisar Han Jing, yang mempunyai kedudukan penting dalam harem, namun Li Ji yang berpikiran sempit telah melukai perasaan sang putri karena urusan pribadi. Dalam kemarahannya Putri Guan Tao lalu menjelek- jelekkan Li Ji di depan Kaisar Han Jing. Lama-kelamaan Kaisar Han Jing menjauhi Li Ji. Selain itu, kegagalan tersebut membuat Putri 

Guan Tao mengalihkan sasarannya pada Wang Mei Ren yang ternyata Wang Mei Ren dengan sangat antusias menyetujuinya, maka nasib Raja Jiao Dong pun berangsur-angsur berubah.

Di dalam “Cerita Han Wu”, juga terdapat sebuah catatan. Pada suatu hari Putri Guan  Tao  memangku Liu Che kecil dan bertanya padanya: ”Apakah kamu ingin menikah?”  Liu Che   mengatakan  “ingin”.  Dia lalu menunjuk seratus lebih dayang di sekitarnya dan menanyakan padanya, Liu Che mengatakan tidak baik. Akhirnya Putri Guan Tao menunjuk putrinya sendiri dan bertanya: ”Kalau A Jiao baik atau tidak?” Liu Che mengatakan sambil tertawa: ”Sangat baik sekali! Kalau dapat menikahi A Jiao, saya akan membangun rumah emas untuk tempat tinggalnya.” Inilah asal muasal dari sebuah idiom “rumah emas tempat menyimpan Jiao”.

Setelah mendengar ini Putri Guan Tao girang sekali, maka terus menerus mendesak Kaisar Han Jing untuk menjodohkan mereka, bahkan  setiap  hari memuji kepintaran Liu Che di depan Kaisar Han Jing. 

Hati Kaisar Han Jing lambat laun juga condong kepada Liu Che dan Wang Mei Ren. Li Ji telah kehilangan Putri Guan Tao sebagai sekutu yang kuat, namun sepenuhnya tidak menyadari, mengandalkan status sebagai ibu kandung putra mahkota terus mengumbar cemburu, dendam dan amarah. Karena sedikit kurang hati-hati dia akhirnya menuai karmanya.

Pada suatu hari di balairung istana, seorang pejabat bidang etiket usai melaksanakan peran ritualnya, mengajukan usulan: ”Putra dimuliakan oleh ibu, ibu dimuliakan oleh putra, saat ini ibu kandung putra mahkota belum dianugerahi gelar, sudah sepantasnya diangkat sebagai permaisuri.” 

Posisi permaisiuri Bao telah dihapus setelah ibu suri meninggal, posisi permaisuri masih tetap kosong. Tak disangka setelah mendengar hal ini Kaisar Han Jing menjadi marah besar dan mengatakan: ”Apakah ini merupakan kata-kata yang pantas kau ucapkan!” Pejabat itu pun dihukum mati. Kemudian, Kaisar Han Jing menghapus posisi putra mahkota semula dan digantikan oleh Raja Jiao Dong yang berusia 7 tahun sebagai putra mahkota serta menobatkan Wang Mei Ren sebagai permaisuri.

Li Ji telah kehilangan kasih sayang, tidak memungkinkan untuk membela diri di depan Kaisar Han Jing, hanya dapat berakhir secara melankolis. Dalam hal penobatan sebagai permaisuri, Li Ji mungkin saja telah dicelakai orang, namun akhir yang mengenaskan ini juga merupakan kesalahannya sendiri.  Sebelumnya, ketika kondisi kesehatan Kaisar Han Jing menurun, bermaksud menobatkannya sebagai permaisuri, maka ingin menitipkan para putranya kepadanya dan berkata: ”Setelah aku meninggal, rawatlah mereka dengan baik-baik.” 

Ini jelas menunjukkan niat  menitipkan anak-anak yatim apabila ia mangkat, namun Li Ji tidak dapat menangkap maksudnya, malah masih menyesalkan para ibu kandung mereka yang telah merebut kasih sayang yang semestinya hanya untuknya, dia mengucapkan kata-kata yang jahat, dan tidak bersedia menerimanya. Saat itu Kaisar Han Jing sudah sangat marah, hanya saja tidak sampai diumbar. Pada saat Kaisar Han Jing mengganti putra mahkota, pada akhirnya telah menetapkan jalan bagi Kaisar Han Wu menjadi kaisar.

Pada 140 SM, Kaisar Han Jing mangkat pada usia 48 tahun. Di hari yang sama, Liu Che yang kala itu beru- sia 16 tahun secara resmi telah mewarisi singgasana kekaisaran dan dinobatkan sebagai Kaisar Wu dari Di- nasti Han (Han Wu Di). Sejak saat itu dinasti wangsa Han telah membuka layar lebar menuju kejayaan.

Pemuda yang jenius

Selama masa pra penobatan Kaisar Han Wu, adik dari Kaisar Jing yakni Pangeran Liang mendapat dukungan dari ibunya yakni Permaisuri Dou, juga dengan gigih memperjuangkan posisinya sebagai putra mahkota. 

Namun Permaisuri Dou berhasil diyakinkan oleh sejumlah pejabat, sehingga kemudian membatalkan niatnya, tapi Pangeran Liang justru mengutus pembunuh untuk menghabisi puluhan pejabat yang meyakinkan permaisuri tersebut. Karena masih menghargai

Permaisuri Dou, maka Kaisar Jing hanya mengusir Pangeran Liang kembali ke wilayah kekuasaannya, dan mencekalnya masuk ke ibukota. Sampai tahap ini, segala hambatan untuk menobatkan Kaisar Wu pun telah disingkirkan.

Mungkin ada yang merasa penobatan Kaisar Wu sebagai kaisar sarat dengan kisah “drama intrik istana”, namun sebenarnya Kaisar Wu adalah pilihan Langit, tidak hanya sang kaisar itu selalu diiringi pertanda keberuntungan, tapi sejak kecil Kaisar Wu sangat jenius dan berbakat, sangat dewasa dalam bersikap, berkali- kali membuat Kaisar Jing dan para pejabat kagum padanya, semua ini mentakdirkan dirinya  sebagai calon pilihan terbaik menjadi kaisar penerus.

Kitab “Kisah Hanwu” menilainya: “Cerdas dan bijaksana walau masih muda, bisa bergaul akrab  dengan kalangan istana dan saudara-saudaranya, mampu mengerti orang lain dan membawa diri, tua maupun muda menyukai dirinya. Di hadapan orang tua memberi hormat dan bersikap ibaratnya telah dewasa, ratu dan pelayan serta pengawal keheranan melihatnya.” 

Pada saat menghadap ayahnya Kaisar Jing, Kaisar Wu terlebih menaruh hormat dan sopan. Permaisuri Dou pun memperhatikan pangeran cilik yang sangat berbeda dengan banyak orang ini.

Dalam “Biografi Internal Han Wudi” juga tercatat sejumlah cerita tentang masa kanak-kanaknya. Seperti saat berusia tiga tahun, Kaisar Jing memangkunya dan bertanya, “Putraku, maukah kelak menjadi putra mahkota?” Pangeran cilik itu menjawab, “Itu semua telah diatur oleh Langit, bukan atas kehendak saya. Namun saya ingin tinggal di istana setiap hari, bermain di de- pan Ayah, tidak akan sembrono atau tidak hormat dan kehilangan sikap sebagai seorang anak yang semestinya.”

Anak sekecil itu berucap kata-kata yang demikian bijaksana, membuat Kaisar Jing diam-diam sangat mengaguminya, kemudian pendidikan dan pembinaan terhadap anak itu pun lebih diperhatikan. 

Beberapa hari kemudian, Kaisar Jing kembali menggendong pangeran cilik itu ke meja kerjanya, dan bertanya padanya buku apa yang disukainya, dan ceritakan tentang buku tersebut. 

Pangeran kecil pun mulai membacakan di luar kepala karya para bijak mulai dari Fuxi (Fu Hsi, red.), termasuk sejumlah karya terkenal bersejarah berupa makalah kebijakan negara yang membahas tentang Yin & Yang serta Wu Xing (Lima Elemen, red.), melantunkan tulisan sepanjang puluhan ribu kata, tak ada satu kata pun yang salah. 

Daya ingat yang luar biasa itu, apakah berarti sang pangeran memiliki ingatan super? Kaisar Jing tidak lagi memperlakukannya sebagai anak kecil, pada usia 7 tahun, nama pangeran resmi diubah menjadi “Liu Che” (Che: aksara Tiongkok 徹 , artinya: tajam menembus, red.). 

Dalam kitab “Zhuang Zi” disebutkan: “Mata yang tajam adalah cemerlang, telinga yang tajam adalah cerdas, hidung yang tajam adalah bisa mengendus getaran, mulut yang tajam adalah bertutur kata rendah hati, hati yang tajam adalah pemahaman, pemahaman yang tajam adalah akhlak.” Kata “Che” (徹) memiliki makna tajam melebihi manusia biasa, nama ini mengandung pujian dan harapan besar Kaisar Jing.

Setelah Liu Che dinobatkan sebagai putra mahkota, ia semakin giat belajar. Lingkup pelajarannya sangat luas, termasuk berkuda, memanah, ajaran Konfusius, dan sastra, karena itu pula semakin disayangi oleh Kaisar Jing.

Di dalam “Kisah Kaisar Wu” juga tercatat, saat Liu Che berusia 14 tahun, suatu kali pejabat setara jaksa agung kini meminta Kaisar Jing mengadili sebuah kasus pembunuhan. Pembunuh bernama Fang Nian, yang dibunuh adalah ibu tirinya. Karena sang ibu tiri telah membunuh ayah Fang Nian, maka Fang Nian pun membunuh ibu tirinya. Pengawal kerajaan berniat menjatuhkan hukuman “kejahatan pengkhianatan” bagi Fang Nian, namun Kaisar Jing merasa kurang cocok, maka dimintalah pendapat Liu Che. 

Liu Che menganalisa: “Umumnya dikatakan ibu tiri ibarat ibu kandung, itu menandakan ibu tiri berbeda dengan ibu kandung, hanya saja karena sang ayah menikahinya sebagai istri, maka dengan sendirinya statusnya pun menjadi ibu tiri. 

Karena ibu tiri Fang Nian telah membunuh ayahnya, maka kaitannya sebagai ibu tiri pun dengan sendirinya telah terputus, tidak lagi ada hubungan ibu dan anak. Maka seharusnya cukup dijatuhi hukuman bagi kejahatan pembunuhan biasa, tidak seharusnya dijatuhi hukuman sebagai “kejahatan pengkhianatan.” 

Kaisar Jing pun menerima pendapat ini, dan menjatuhi hukuman pembunuhan bagi Fang Nian yakni dihukum mati di tengah keramaian kota. Para pejabat pun merasa analisa Liu Che sangat tepat, Kaisar Jing pun semakin kagum pada Liu Che. (pur)

Video Rekomendasi :

https://www.youtube.com/watch?v=8oFMNx4Etzw