‘Mode Masa Perang’ Jelang Mudik Imlek : Hotspot Virus Saat Ini di Daratan Tiongkok

Eva Fu dan Frank Fang

Daratan Tiongkok menyaksikan kebangkitan virus Komunis Tiongkok (COVID-19) terburuk di dalam negerinya dalam beberapa bulan menjelang Tahun Baru Imlek. Selama liburan tahunan, puluhan juta orang mudik ke seluruh negeri, bus, kereta api, dan pesawat yang penuh sesak, untuk mengunjungi  keluarga mereka. Tetapi tahun ini, puluhan provinsi dan kota di Tiongkok mendesak melarang “perjalanan yang tidak perlu,” memberitahukan kepada orang-orang untuk tetap berada di tempatnya saat ini sementara memberlakukan tindakan karantina untuk mengendalikan virus tersebut.

Pada konferensi pers virus harian, para pejabat menyebarkan teori mengenai kasus yang diimpor yang menyebabkan penyebaran wabah setempat dan orang-orang menjadi terinfeksi melalui kemasan makanan beku — meskipun para ahli penyakit mengatakan risiko infeksi melalui bahan virus pada kemasan makanan adalah sangat rendah.

Jumlah kasus yang dilaporkan adalah masih sedikit dibandingkan dengan kasus di negara-negara Barat, tetapi sejarah rezim komunis Tiongkok yang meremehkan krisis sementara memprioritaskan citranya, telah menyebabkan para kritikus dan warga mempertanyakan apakah mereka mendengar kebenaran. 

Beberapa wilayah yang memberlakukan tindakan pengendalian virus juga menimbulkan kekhawatiran bahwa keberadaan hak-hak dasar masyarakat dilanggar.

The Epoch Times di sini mengumpulkan rincian-rincian penting, yang dikumpulkan melalui wawancara dengan penduduk setempat di daerah yang mengalami wabah paling parah, dalam upaya untuk menyajikan sebuah gambaran yang lebih lengkap mengenai epidemi di Tiongkok saat ini.

Provinsi Hebei

Tahun 2021 dimulai dengan gelombang infeksi virus Komunis Tiongkok di Provinsi Hebei, utara Tiongkok, terkonsentrasi di ibukota Provinsi Hebei, yaitu Shijiazhuang. Shijiazhuang dengan cepat ditempatkan di bawah “mode masa perang” pada tanggal 3 Januari, setelah pihak berwenang setempat mengumumkan sekitar selusin kasus COVID-19 yang baru. 

Sekolah-sekolah ditutup, dan transportasi umum setempat ditangguhkan.

Dalam beberapa hari, Shijiazhuang menyaksikan sebuah wabah besar-besaran, di mana setidaknya ratusan kasus baru dilaporkan. Pihak berwenang setempat mengamanatkan pengujian untuk jutaan orang.

Namun, pengujian massal tersebut tidak menenangkan saraf warga Shijiazhuang.

 Seorang warga bermarga Guo (nama samaran) mengeluhkan, pejabat kesehatan tersebut tidak mengganti sarung tangan atau melakukan prosedur desinfeksi yang tepat saat mengambil sampel usap. Guo mengatakan ada juga kepanikan di antara orang-orang, seperti kekhawatiran atas kerugian finansial dan kekurangan makanan, akibatnya karantina di beberapa kabupaten dan distrik di Shijiazhuang. Di beberapa daerah, orang-orang hanya boleh meninggalkan rumahnya beberapa hari sekali untuk pergi berbelanja kebutuhan dasar.

“Kini, Shijiazhuang berada dalam bentuk teror putih,” kata Guo, yang mengacu pada penindasan yang kejam oleh pemerintah terhadap warga. “Tidak ada yang perlu ditakuti mengenai epidemi. Yang menakutkan adalah orang-orang kehilangan kebebasannya.”

Pada satu titik, sekitar 20.000 penduduk desa di Zengcun, salah satu kota kecil di Shijiazhuang, diminta meninggalkan rumahnya dan dipindahkan ke tempat darurat pusat karantina, seperti sekolah dan hotel, karena pihak berwenang setempat berupaya membendung penyebaran virus tersebut.

Tiga kota lain di Provinsi Hebei — Nangong, Xingtai, dan Lanfang — semuanya menjadi  sasaran tindakan kanrantina yang keras.

Wabah di Hebei terus menjadi perhatian besar. Pada tanggal 19 Januari, media yang dikelola partai Komunis Tiongkok  yaitu Xinhua melaporkan bahwa sebuah pusat karantina sementara dengan 500 kamar sedang dibangun di Longyao, sebuah kabupaten di kota Xingtai.

Pembangunan pusat karantina darurat lainnya di Nangong, dilengkapi dengan 2.600 kamar, selesai pada tanggal 23 Januari, menurut artikel Xinhua yang lain.

Provinsi Heilongjiang

Di Provinsi Heilongjiang di utara Tiongkok, pihak berwenang di kota Heihe, yang terletak di dekat perbatasan Rusia, mulai melaporkan beberapa kasus baru pada akhir bulan Desember.

Tanpa diduga, para pejabat kota di Heihe menempatkan kota Heihe dalam “mode mirip-perang” pada tanggal 2 Januari. Sejak itu, kasus infeksi telah dilaporkan di banyak kota di seluruh Provinsi Heilongjiang, termasuk Qiqihar, Yichun, Daqing, Suihua, dan ibukota Provinsi Heilongjiang yaitu Harbin.

Kabupaten Wangkui, yang berada di bawah yurisdiksi Suihua, termasuk di antara yang paling terpukul. Pejabat kabupaten Wangkui telah menempatkan semua masyarakat di bawah “tatalaksana tutup”—yang berarti tidak seorang pun yang diizinkan meninggalkan rumahnya — dan mulai pengujian massal penduduk setempat.

Chen, seorang pria penduduk distrik Ang’angxi di Qiqihar, mengatakan kepada  The Epoch Times berbahasa Mandarin dalam wawancara telepon pada tanggal 21 Januari, bahwa ia belum meninggalkan rumahnya selama lebih dari seminggu karena tindakan pemerintah setempat untuk mencegah penyebaran virus tersebut. Ia mengatakan bahwa komunitasnya telah dikarantina sejak tanggal 12 Januari.

Chen Xin (nama samaran), seorang penduduk Harbin, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa harga daging dan telur setempat meroket baru-baru ini karena wabah setempat. Ia menambahkan bahwa, ada kurangnya kepercayaan pada vaksin COVID-19 buatan Tiongkok. Dikarenakan ada laporan-laporan pengalaman orang-orang yang mengalami efek samping yang buruk setelah diinokulasi. Ia percaya bahwa angka infeksi yang sebenarnya di kotanya cenderung jauh lebih tinggi daripada yang dilaporkan pejabat setempat.

Provinsi Jilin

Jilin, yang berbatasan dengan Heilongjiang di sisi selatan, menyalahkan para penyebar-super yang berasal dari tetangganya karena membuat sakit total 144 penduduk setempat dan memulai gelombang terbaru.

Pria berusia 45 tahun, bermarga Lin, disebut-sebut sering bepergian antara beberapa kota di dua provinsi tersebut baru-baru ini untuk mempromosikan minyak biji rami kepada orang-orang usia lanjut, menurut Komisi Kesehatan Provinsi Jilin. Ia tertular virus tersebut dari para penumpang yang terinfeksi selama perjalanan kereta api pada tanggal 5 Januari. Ia menyebarkan virus tersebut selama dua kuliah pemasaran  di kota Gongzhuling dan Tonghua, kata para pejabat setempat.

Kota Gongzhuling dan Tonghua segera diisolasi. Pada tanggal 21 Januari, pejabat Tonghua mulai menyegel pintu warga di distrik yang paling parah terkena dampak, tak lain untuk mencegah orang-orang keluar rumah, dan menawarkan hadiah 5.000 yuan  kepada siapa saja yang melihat pelanggar. 

Dalam sebuah gerakan yang mirip dengan gerakan yang terlihat di Wuhan — tempat pertama di dunia untuk memberlakukan karantina— pihak berwenang dengan cepat menghukum pejabat setempat untuk memadamkan kemarahan masyarakat. Delapan pejabat setempat di kota Tonghua menerima peringatan atau masa percobaan satu tahun, sementara enam pejabat lainnya dipecat.

Tindakan-tindakan kejam dan kurangnya transparansi dalam pengumuman resmi, telah menimbulkan ketakutan masyarakat.

“Pemerintah tidak mengizinkan anda untuk memposting atau mengedarkan apa pun mengenai wabah tersebut. Banyak kelompok [media sosial WeChat]  ditangguhkan,” kata seorang wanita warga Tonghua yang memberikan nama belakangnya sebagai Tan mengatakan kepada The Epoch Times. Di kompleks lingkungannya, para pekerja manajemen utilitas tidak diizinkan membersihkan salju, katanya. “Kita harus menuruti versi pemerintah sebagai standar, tetapi kenyataannya sedemikian buruk.”

“Tatalaksana penyegelan” menyebabkan krisis pangan. Penduduk setempat meninggalkan begitu banyak komentar online  yang memuat amarah, bahwa walikota Tonghua telah meminta maaf pada tanggal 24 Januari dan berjanji  menyediakan paket sembako dengan harga diskon, meski sebagian warga mengeluh bahwa mereka belum menerima paket sembako ini.

Sementara pihak berwenang secara konsisten menyalahkan makanan beku impor sebagai penyebab sumber wabah, beberapa warga menepis teori tersebut. 

“Mereka terus mengatakan ada kasus yang berasal dari luar negeri, tetapi saya tidak mempercayainya, Virus tersebut merebak dari Wuhan dan tidak pernah berhenti sejak tahun lalu,” kata Zhang, seorang pekerja rantai-pasokan di kota Changchun di Jilin. 

Beijing

Pihak berwenang Beijing menyalahkan wabah baru-baru ini pada orang-orang yang bepergian di luar Tiongkok Daratan.

Kelompok infeksi setempat  muncul di Beijing setidaknya sejak tanggal 14 Desember, itu setelah pejabat mengumumkan kemenangan atas wabah tersebut pada musim panas lalu. Para

petugas Beijing mengidentifikasi pasien pertama adalah seorang pekerja berusia 27 tahun dari Hong Kong yang diuji positif terkena virus tersebut setelah karantina wajib selama 14 hari. Para pejabat mengatakan pria tersebut menularkan virus tersebut kepada dua pekerja di toko roti Tiongkok yang tinggal di hotel yang sama tempat pria itu dikarantina. 

Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Beijing mengatakan para pasien telah terjangkit jenis virus yang bermutasi yang pertama kali ditemukan di Inggris, yang disebut B.1.1.7.

Kemudian, pada akhir bulan Desember, Beijing melaporkan lebih dari selusin pasien di distrik Shunyi, yang dilacak ke seseorang dari Indonesia. Pasien yang paling muda di distrik Shunyi baru berusia 8 bulan.

Keluhan-keluhan setempat muncul karena perubahan kebijakan dan tindakan karantina tanpa pandang bulu. Setelah sebuah distrik setempat melaporkan tiga kasus infeksi, ratusan penduduk dikirim ke sebuah pusat karantina pada tanggal 23 Januari sebagai suatu tindakan pencegahan, tanpa diberitahu kapan karantina akan berakhir, menurut Li, seorang pria penduduk Beijing. 

Hotel karantina tersebut mengunci jendela-jendela kamardengan paku, kemungkinan dalam upaya untuk mencegah melarikan diri, yang menyebabkan banyak orang merasa tercekik, kata Li.

Beijing, yang mulai memberikan vaksinasi bulan ini, mengatakan 1.9 juta orang telah menerima dosis pertama pada tanggal 19 Januari. Tetapi banyak penduduk yang tidak menunjukkan kepercayaan besar pada kampanye vaksin itu, mengutip kurangnya transparansi rezim Tiongkok untuk data vaksin dan banyaknya skandal vaksin di masa lalu.

“Jelas-jelas tidak mendapatkan vaksinasi,” kata pensiunan dokter bernama Xia dari distrik Chaoyang. Xia mengatakan banyak dokter yang ia kenal juga tidak berniat untuk divaksin.

Shanghai

Hingga beberapa hari ini, pihak berwenang Shanghai hanya melaporkan sedikit kasus infeksi atau tidak ada kasus infeksi setempat, menyalahkan kasus impor asing untuk kekambuhan yang sering. Namun video yang dikirim penduduk setempat ke The Epoch Times menunjukkan adegan-adegan yang mengingatkan pada hari-hari awal wabah di Wuhan tahun lalu. 

Seorang anggota staf stasiun kereta mengatakan ia melihat banyak penumpang, tua dan muda, tiba-tiba tergeletak di tanah. Desas-desus beredar bahwa mereka adalah korban virus tersebut. Saat ini, jumlah komuter yang naik kereta api kurang dari setengah  lalu lintas biasa, katanya.

“Banyak awak stasiun kereta garis depan yang berhenti bekerja,” ujarnya seraya menambahkan banyak tempat kerja, toko grosir, dan pusat perbelanjaan di Shanghai menerapkan pemeriksaan suhu tubuh orang saat masuk, bersama dengan pemindaian dua kode telepon seluler yang melacak perjalanan ke luar negeri dan status kesehatan orang tersebut dua minggu yang lalu.

“Sebagai warga, ada perasaan bahwa virus tersebut mungkin sudah merebak, bahwa pemerintah Shanghai secara ketat mengendalikan pelaporan apa pun mengenai hal tersebut,” katanya, menambahkan bahwa seorang teman menghilang setelah memposting foto yang terkait dengan wabah di Wechat. Akun teman tersebut juga ditangguhkan.

Seperti di Beijing, para pejabat di distrik yang terkena dampak parah telah mentransfer ribuan penduduk setempat ke tempat-tempat karantina.

“Rasanya seperti duduk di penjara,” kata seorang wanita warga Shanghai bernama He mengenai pengalaman semacam itu. Sebuah video yang disediakan oleh He menunjukkan para pejabat kesehatan menutup toko-toko di distrik Baoshan, yang mengakibatkan beberapa wanita terkunci di dalam sebuah kedai kopi beberapa saat setelah mereka masuk.

Penduduk lain, Wang, mengatakan kepada The Epoch Times: “Saat ini, kami hanya dapat mengurangi acara dan mengenakan masker. Hanya itulah yang dapat kami lakukan.” (vv)

Keterangan Foto : Petugas kesehatan dengan peralatan pelindung keluar dari area yang diblokir setelah menyemprotkan disinfektan di distrik Huangpu Shanghai pada 27 Januari 2021, setelah penduduk dievakuasi setelah mendeteksi beberapa kasus virus korona COVID-19 di lingkungan tersebut. (STR / AFP melalui Getty Images)