Menakar Target Diplomasi Serigala Perang Komunis Tiongkok dan Krisis Invasi Militer yang Dihadapi Taiwan

Tang Ao

Serigala perang yang diluncurkan oleh Komunis Tiongkok di Laut China Selatan, bahkan kini juga menyasar ke Selat Taiwan. Rentetan selanjutnya diperkirakan akan mengarah kepada krisis invasi Militer yang dihadapi Taiwan.  

Serigala perang yang diluncurkan komunis Tiongkok pada satu sisi dapat menguji tekad AS dalam melindungi sekutunya berdasarkan perjanjian pertahanan, di sisi lain, jika AS memperlihatkan tekad itu, Komunis TIongkok pun dapat memanfaatkan pengujian seperti ini. 

Tujuannya, untuk menunjukkan pihaknya masih mampu mengacau. Sehingga dapat menarik kekuatan militer AS, atau membuat AS takut-takut untuk bertindak. Bahkan, tidak berani dengan mudahnya merusak tatanan stabilitas di Laut China Selatan dan jalur pelayaran normalnya.

Lebih lanjut menyimpulkan situasi Laut China Selatan di masa mendatang, aksi kecil Komunis Tiongkok yang serupa mungkin akan terus terjadi, terus menerus melakukan pengujian. 

Sebagai contoh mengambil tindakan tertentu pada pulau-pulau kecil yang bukan titik strategis, atau terlibat konflik senjata skala kecil dengan Vietnam atau sekutu AS lainnya yang merupakan negara yang mengklaim kedaulatan di perairan itu dan lain-lain. 

Tapi, Komunis Tiongkok seharusnya akan menghindari masalah besar. Tidak akan melakukan reklamasi berskala besar atau aksi lain, yang dapat secara langsung berdampak pada perjanjian militer sekutu AS.

Setelah mengesampingkan target tipuan serigala perang Komunis TIongkok, target serangan yang tersisa yang paling memungkinkan adalah Taiwan.

Bagi Xi Jinping yang telah “dianggap paling berkuasa”, menyatukan Taiwan mungkin merupakan sasaran yang paling diimpikannya.  Ini juga yang menyebabkan situasi di Selat Taiwan beberapa tahun terakhir ini, menjadi semakin tegang.

Sejak tahun lalu, Komunis Tiongkok telah memperbanyak aktivitasnya di Selat Taiwan dan Laut Tiongkok Selatan. Sementara militer AS juga memberi respon cepat, kapal perang AS telah berulang kali berlayar hilir mudik di Selat Taiwan dan Laut China Selatan, kapal induk AS juga banyak melakukan latihan di sana.

Respon pihak militer AS yang tegas, seharusnya telah menciptakan efek menekan dan menakuti yang sangat besar terhadap Komunis Tiongkok. Khususnya dalam tahap transisi antara pemerintahan lama dengan pemerintahan baru AS. Masa kekosongan ini, sempat dipandang sebagai momentum yang menguntungkan bagi Komunis Tiongkok untuk menyerang Taiwan. 

Pada November 2020, Xi Jinping dan Komisi Militer Pusat telah tiga kali mengatakan “siap perang” di bulan yang sama.

Faktanya, sejak akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, The Epoch Times telah menerima bocoran informasi dari daratan Tiongkok maupun daerah pesisir, bahwa banyak masyarakat Tiongkok mengatakan: pertama kalinya mereka memperoleh pemberitahuan darurat dari pemerintah yang meminta agar warga mengumpulkan segala kebutuhan mengantisipasi kondisi perang.

Informasi tersebut disampaikan melalui pemerintah daerah setempat lewat sistem pemberitahuan darurat, pegawai pemerintahan Tiongkok, unit usaha, dan bank juga pernah memperoleh pemberitahuan darurat serupa. 

Akan tetapi, The Epoch Times tidak dapat mengonfirmasi apakah wilayah lain di Tiongkok juga mengalami pemberitahuan darurat yang sama.

Sekarang ini risiko Komunis Tiongkok menyerang Taiwan belum juga berkurang. Pada 26 Maret lalu, persis di hari yang sama dimana frekuensi pesawat tempur Tiongkok mengusik Taiwan memecahkan rekor tertinggi, media partai telah memberitakan tentang Xi Jinping yang melakukan inspeksi pasukan kepolisian bersenjata di Fujian pada 24 Maret lalu, dan mengatakan “akan meningkatkan latihan militer mempersiapkan perang”. 

Namun demikian, hingga saat ini, media massa Tiongkok belum memuat berita tentang apakah kali ini Xi Jinping telah melakukan inspeksi terhadap Korps 73 Fujian yang disebut-sebut sebagai “pasukan garis terdepan melawan Taiwan”.

Selain itu, menurut pemberitaan media AS, Komandan US Indo-Pacific Command yang akan segera pensiun yakni Laksamana Phil Davidson dalam forum audiensi di hadapan DPR AS pada Februari lalu menyatakan, dirinya mengkhawatirkan Tiongkok akan menyerang Taiwan dalam 6 tahun ini. 

Namun demikian, calon komandan Indo-Pasifik yang dinominasikan oleh pemerintahan Biden yakni Laksamana AL John Aquilino dalam forum audiensi Komisi Militer Senat AS pada 23 Maret lalu menyatakan, momentum ini akan “lebih mendesak daripada yang dibayangkan”. Aquilino meyakini, bagi Xi Jinping menginvasi Taiwan adalah misi nomor satu.

Mengenai apakah Komunis Tiongkok memiliki kemampuan untuk menyerang Taiwan, terdapat pendapat yang berbeda. Dalam hal ini penulis juga tidak akan membahas nyata atau tidaknya kekuatan militer Tiongkok, melainkan akan mengemukakan kemungkinan lain, yakni selama ini yang diandalkan Komunis TIongkok untuk mengobarkan revolusi, tidak selalu berupa kekuatan militer, masih ada lagi satu dari tiga mustika yang dimilikinya yakni “united front (Front Persatuan)”.

Belasan tahun lalu, penulis pernah membahas masalah invasi militer Tiongkok dengan Dewan Urusan Tiongkok Daratan Taiwan dan juga seorang pejabat garis depan pemerintah akar rumput. 

Bisa dibilang pandangan mereka terhadap Taiwan sangat pesimis, selain tidak yakin akan kemampuan pertahanan Taiwan, mereka juga tidak begitu percaya terhadap kaum elite politik Taiwan. Seperti mereka tidak percaya tokoh politik dari kedua partai yang sangat antusias berinvestasi di daratan Tiongkok akan benar-benar memiliki tekad yang kuat untuk membendung invasi Tiongkok. 

Sedangkan di dalam masyarakat Taiwan sekarang ini, pengaruh Komunis Tiongkok bisa dibilang tidak kecil. Selama kurun waktu panjang, Komunis Tiongkok terus memperkuat penetrasinya dan Front Persatuannya terhadap Taiwan.

Maka dari itu penulis menyimpulkan, Xi Jinping kemungkinan besar telah mengagendakan penyerangan terhadap Taiwan. Yang mana, akan menghalangi aksinya ini mungkin bukan kemampuan riel militer AL Tiongkok atau Taiwan, tapi respon yang kemungkinan akan timbul dari masyarakat internasional terutama pemerintah AS, apakah AS mempunyai tekad melindungi demokrasi Taiwan. 

Hingga saat ini, pemerintah AS belum mengubah kebijakannya terhadap Taiwan yang “ambigu secara strategi”, yakni tidak menyatakan sikap secara tegas apakah akan melindungi Taiwan dengan kekuatan militer, tidak memastikan tapi juga tidak menyangkal. Dan, antara AS dengan Taiwan tidak memiliki kesepakatan persekutuan militer apapun.

Dalam perundingan Alaska kali ini, Komunis Tiongkok kembali “menggaris merah” masalah Taiwan, dan pihak AS hanya meluruskan kembali kebijakan satu Tiongkok tidak berubah, kebijakan terhadap Taiwan adalah ambigu strategi yang lama. 

Dari sini dapat disimpulkan arah kebijakan Komunis Tiongkok terhadap Taiwan, tidak sulit melihat Xi Jinping apakah akan segera menyerang Taiwan atau tidak, mungkin ditentukan oleh dua faktor: 

Pertama, apakah Xi Jinping akan sukses menjabat kembali pada Kongres Nasional ke-20 partai Komunis Tiongkok tahun depan; 

Kedua, apakah Partai Komunis Tiongkok akan dapat menguji batasan “ambigu strategi” AS.

Faktor pertama, dilihat dari kondisi saat ini, seharusnya tidak akan sulit bagi Xi Jinping untuk menjabat lagi.

Faktor kedua, adalah kunci utama yang menentukan perubahan situasi di Selat Taiwan, kemungkinan besar juga merupakan tujuan akhir Komunis Tiongkok mengeluarkan serangan diplomatik serigala perang dari segala penjuru.

Untuk menjajaki batasan AS, Komunis Tiongkok mungkin akan mengerahkan “rekan-rekannya” untuk sebisa mungkin menciptakan tekanan terhadap AS, seperti menginisiasi kembali pemerasan nuklir oleh Korut dan Iran, intervensi urusan di Timur Tengah untuk memecah kekuatan AS.

Pada 25 Maret lalu, Korut kembali meluncurkan rudalnya. 27 Maret lalu, Menlu Wang Yi yang berkunjung ke Timur Tengah, telah menandatangani rencana kerjasama menyeluruh dengan Menlu Iran untuk 25 tahun mendatang senilai USD 400 miliar (5.736 triliun rupiah).

Bersamaan dengan diciptakannya tekanan terbesar bagi AS, Komunis Tiongkok juga kemungkinan akan meningkatkan konfrontasi dengan militer AS di Selat Taiwan. Mungkin akan setahap demi setahap meningkatkan aksi provokasinya terhadap Taiwan dan pasukan AS, mencoba menjajaki garis merah AS terhadap Taiwan.

Yang perlu dijelaskan disini adalah, jika dalam berulang kali pengujiannya Komunis Tiongkok menyimpulkan bahwa yang dilindungi AS adalah hanya hak pelayaran laut, maka patroli kapal perang AS di Laut China Selatan dan Laut Timur pun, kemungkinan besar tidak akan mampu memperlihatkan tekad AS untuk melindungi Taiwan.

Menyimpulkan dari situasi saat ini, walaupun pemerintah AS terus meningkatkan level hubungannya dengan Taiwan, atau mempertimbangkan untuk menjual senjata canggih bagi Taiwan, tapi belum juga melampaui kriteria ambigu strategi.  

Mungkin tidak akan bisa menyurutkan ambisi penyatuan secara militer oleh Komunis Tiongkok; dan ambigu strategi sebelumnya. Juga mungkin akan semakin sulit menggertak langkah kaki Xi Jinping untuk melakukan penyatuan dengan kekuatan militer.

Hanya melalui tekadnya untuk melindungi demokrasi di Taiwan yang dinyatakan secara tegas oleh AS.  

Di saat yang sama, pemerintah maupun oposisi di Taiwan mengenali dengan jelas ancaman Partai Komunis Tiongkok, membersihkan “kolone kelima”, memenggal tangan panjang penetrasi PKT dalam mengendalikan masyarakat Taiwan.  

Jika tidak, krisis invasi militer yang dihadapi Taiwan, sangat mungkin sudah benar-benar berada di depan mata.  (Sud)

Artikel Ini Sudah terbit di Epochtimes.com