Media Prancis : Hasil Sensus Kependudukan Tiongkok Tahun 2020 Memupuskan Harapan Xi Jinping

oleh Li Yun

Pada (11/5/2021), pemerintah komunis Tiongkok mengumumkan hasil Sensus Kependudukan ke-7, yakni : Total penduduk berjumlah 1 miliar 411 juta jiwa. Diantaranya, penduduk berusia 0 – 14 tahun berjumlah 253,38 juta jiwa, merupakan 17,95% dari total penduduk. Dan, penduduk berusia 60 tahun ke atas berjumlah 264,02 juta, menyita 18,70% dari total penduduk Tiongkok.

Media Tiongkok yang menangani penampungan data mempertanyakan soal banyaknya inkonsistensi yang muncul dalam sensus. Selain itu, jumlah kelahiran dan kematian juga sangat kontroversial. Terutama di bawah epidemi tahun lalu, populasi kelahiran baru justru meningkat 1,5 kali lipat dibandingkan dengan tahun 2019. Penduduk berusia 65 tahun juga melonjak sebesar 60%. Aneh bukan ? Entah dari mana datangnya “lansia hantu” berjumlah 14,61 juta jiwa ini ditambahkan ?

Laporan tersebut menggunakan istilah mengejutkan dan mencengangkan langit dan bumi, tak lain untuk menggambarkan “hasil sensus” yang sepenuhnya tidak sesuai dengan hukum pertumbuhan penduduk. 

Mulai tahun 2000, populasi kelahiran baru secara nasional telah menurun hingga dibawah 10 juta jiwa, dan pada tahun 2010 terus turun menjadi 6,41 juta jiwa. Pada 2019, hanya tersisa 4,67 juta jiwa. Namun, setelah mengalami epidemi komunis Tiongkok (COVID-19) tahun lalu, populasi baru ini aneh bin ajaib meningkat sebesar 15,12%, hal ini jelas tidak sesuai dengan akal sehat.

Yi Fuxian, seorang ahli demografi dari Universitas Wisconsin-Madison di Amerika Serikat mengatakan bahwa, ini adalah laporan hasil sensus penduduk nasional paling buruk dalam sejarah Tiongkok, jelas banyak kandungan manipulasi di dalamnya.

Dia menyimpulkan bahwa populasi Tiongkok sudah mulai menurun sejak tahun 2018, dan populasi Tiongkok mungkin  tidak melebihi 1 miliar 280 juta jiwa pada tahun 2020.

Penurunan populasi mematahkan ambisi hegemoni global Komunis Tiongkok

Media Prancis ‘L’Express’ melaporkan bahwa, meskipun pemimpin komunis Tiongkok Xi Jinping menjanjikan “kebangkitan besar” bagi Republik Rakyat Tiongkok kepada rakyatnya, namun penurunan populasi Tiongkok jelas bertolak belakang dengan impian nasionalis Xi Jinping.

Mampukah rezim komunis Tiongkok menghindari jebakan penurunan populasi ? Menurut ‘L’Express’, bahwa yang pasti pada saat ini muka komunis Tiongkok bisa diselamatkan dengan angka yang dimanipulasi itu, seperti mengumumkan bahwa populasinya terus bertambah. 

Namun demikian, jika dibandingkan dengan tahun 2010, laju pertumbuhan penduduk ini terbatas pada angka 5,38%. Ini merupakan level terendah sejak komunis Tiongkok mengadakan sensus penduduk pada tahun 1953.

Laporan tersebut mengatakan bahwa komunis Tiongkok, bukanlah negara pertama yang mengalami fenomena seperti ini : di Asia, seperti Korea Selatan dan Jepang, mereka telah lama menyadari tentang hal ini. Tetapi, yang cukup mengganggu adalah bahwa angka-angka ini justru mengirimkan sinyal negatif pada saat komunis Tiongkok sedang ngotot-ngototnya bersaing dengan Amerika Serikt untuk menjadi pemimpin dunia.

Bagi komunis Tiongkok, populasi negaranya yang besar merupakan keunggulan dalam bersaing dengan negara lain. Ketika ia ingin menekan mitra ekonominya, seperti Uni Eropa, pihaknya tidak segan-segan menggunakan potensi pasar internalnya yang sangat besar untuk menekan perusahaan-perusahaan yang tertarik.

Dan ketika menghadapi India, pesaing terbesarnya di Asia, komunis Tiongkok masih bisa menghibur diri karena merasa ia adalah negara terpadat di Asia. Namun, menurut proyeksi Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2030, populasi India diperkirakan akan melebihi populasi Tiongkok.

Kekhawatiran Beijing diyakini terutama adalah pada ekonomi : Penurunan populasi Tiongkok akan menggagalkan rencananya untuk menggantikan kedudukan Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Dalam 40 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi komunis Tiongkok sebagian besar digantungkan pada kekuatan dari tenaga kerjanya yang murah.

Riset : Penduduk Tiongkok tinggal 732 juta jiwa pada tahun 2100

Dengan terus menyusutnya penduduk Tiongkok. Sebuah hasil riset yang dimuat ‘The Lancet’ pada September 2020 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk Tiongkok akan menurun menjadi 732 juta jiwa pada tahun 2100.

Menurut ‘Capital Economics’, perusahaan di London yang menangani analisis, prediksi dan konsultasi tentang ekonomi, bahwa jumlah populasi Tiongkok akan terus menurun 0,5% setiap tahun hingga tahun 2030. Hal ini selain akan berdampak sama terhadap PDB negaranya. Juga, menjadi penghalang bagi komunis Tiongkok dalam upayanya untuk mencapai tujuan mengejar ketertinggalan ekonomi dari pesaing kuatnya Amerika Serikat. Dan jelas, akan berdampak pada status global komunis Tiongkok.

‘L’Express’ melaporkan bahwa, penurunan populasi mungkin juga memiliki efek menyengat lainnya. Penasihat Asia dari Montaigne Institute mengatakan dengan penuh makna : “Tiongkok tidak mungkin menjadi pabrik dunia tanpa batas waktu”.

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah komunis Tiongkok masih dapat meningkatkan produktivitas dan memasuki pasar kelas atas karena modal kekuatannya yakni tenaga kerjanya terus menurun.

Salah satu keputusan yang dianggap solusi bagi komunis Tiongkok dalam menangani masalah ini adalah, rencana untuk memperpanjang usia pensiun. Tetapi, pada saat yang sama mereka juga terbentur dengan konsekuensi untuk menangani populasi yang menua.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa antara tahun 2010 hingga 2020, jumlah penduduk berusia di atas 65 tahun telah meningkat dari 8,87% menjadi 13,5%. Ini bagaikan bom waktu yang belum meledak, yang mana sedang mengancam sistem pensiun negara panda tersebut.

Bank Sentral Tiongkok pada pertengahan bulan April menerbitkan sebuah artikel yang isinya,  mengakui bahwa situasi kependudukan Tiongkok sedang tidak sejalan dengan rencana laju penurunan populasi yang melampaui imajinasi. Oleh karena itu, menyarankan kepada pemerintah agar tidak lagi ragu-ragu untuk memberlakukan liberalisasi dan mendorong persalinan.

Pakar Tiongkok menyarankan agar pemerintah memberlakukan kebijakan nyata yang mampu benar-benar meningkatkan jumlah kelahiran. Di antara mereka, Liang Jianzhang, seorang ekonom populasi Tiongkok dan profesor di Sekolah Manajemen Guanghua Universitas Peking. Ia menyarankan agar pemerintah menghadiahi setiap keluarga yang melahirkan seorang anak dengan uang sebesar RMB. 1 juta.

Dong Yuzheng dari Departemen Pengembangan Populasi Universitas Guangzhou College of China, melalui media resmi Partai Komunis Tiongkok mengungkapkan bahwa jika pihak berwenang tidak juga mengambil tindakan penyelamatan, maka jumlah kelahiran di Tiongkok bahkan akan terus turun sampai di bawah ambang batas yang hanya beberapa juta jiwa saja mulai tahun depan.

Feinian Chen dari Departemen Sosiologi di University of Maryland yang mempelajari perkembangan populasi mengatakan bahwa, jika tingkat kelahiran Tiongkok terus menurun, sedangkan tekanan dari penuaan populasi terus meningkat. Maka selain perekonomian Tiongkok akan terpengaruh, anggaran untuk membiayai perawatan terhadap penduduk lansianya, serta penanganan sejumlah masalah sosial lainnya akan melonjak. Walaupun pemerintah sekarang berniat untuk melakukan penyelamatan terhadap angka kelahiran, tampaknya hasil yang diperoleh tak lain adalah sia-sia. (sin)