Perpaduan Antara Mao Zedong dengan Kapitalis: Xi Jinping Sedang Menyiapkan Jalur yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya untuk Tiongkok

Simone Gao – Zooming In

Dua hari sebelum penerbitan memoar: Red Roulette: An Insider’s Story of Wealth, Power, Corruption anda Vengeance di Today’s China, yang mendapat banyak antisipasi, pengarang Desmond Shum menerima sebuah panggilan telepon dari mantan istrinya, Whitney Duan. 

Whitney Duan adalah figur pusat di Red Roulette dan menghilang sejak tahun 2017, tidak ada kata dari pemerintah Tiongkok mengenai kondisi Whitney Duan, di manakah dia atau dugaan kejahatan apa. 

Dalam sebuah wawancara dengan The Australian Financial Review dari rumahnya di Oxford, Inggris, Desmond Shum, yang berusia 52 tahun, mengatakan,” Whitney Duan memberitahu saya bahwa ia dibebaskan untuk sementara waktu dan dapat ditahan kembali setiap saat. Ia mengatakan kepada saya untuk membatalkan penerbitan buku tersebut.” 

Desmond Shum kemudian menambahkan bahwa itu adalah sebuah permintaan yang konyol yang hanya dapat dimimpikan oleh beberapa birokrat di Beijing, di mana mereka dapat menghilangkan sebuah buku untuk tidak dipajang di semua lemari-lemari toko buku di Tiongkok dalam semalam. Tetapi ini adalah semua lemari-lemari toko buku di seluruh dunia. Buku tersebut sudah siap dipajang di toko-toko buku. Kontrak-kontrak sudah ditandatangani. 

“Saya tidak dapat menghilangkan buku tersebut bahkan bila saya inginkan.”

Adalah jelas bahwa pemerintah Tiongkok sangat prihatin atas pengungkapan rahasia dalam kisah di buku karangan Desmond Shum pada saat meningkatnya krisis di perbatasan-perbatasan Tiongkok. Bersamaan dengan rangkaian tindakan-tindakan keras terhadap dunia hiburan Tiongkok dan perusahaan para selebritis, kegagalan Penawaran Saham Perdana secara setempat dan secara internasional, dan pertanyaan-pertanyaan dari George Soros mengenai keamanan pasar-pasar Tiongkok, Partai Komunis Tiongkok disorot. 

Kini muncul pendapat bahwa Tiongkok sedang tertatih-tatih di tepi anjloknya keuangan, terkait dengan kemungkinan kegagalan Evergrande Group, pengembang properti kedua terbesar di Tiongkok.

Sementara Evergrande Group mengatakan di sebuah pengajuan publik bahwa pihaknya telah memecahkan masalah-masalah terkait dengan obligasi-obligasi dengan mata uang Yuan yang jatuh tempo pada 23 September. Adalah tidak jelas apa yang akan dilakukan Evergrande Group terhadap pembayaran-pembayaran bunga sebesar USD 83,5 juta untuk obligasi-obligasi dengan mata uang dolar yang mereka miliki yang jatuh tempo pada tanggal yang sama. 

Pemerintah Tiongkok meminta Evergrande Group untuk melakukan apa saja yang dapat dilakukan untuk menghindari gagal bayar utang obligasi-obligasi ini. Kebijakan kuno adalah bahwa Tiongkok biasanya akan memprioritaskan melunasi utang luar negeri karena kebutuhan untuk mempertahankan sebuah citra yang baik di pasar modal internasional. 

Jadi, Evergrande Group hanya memiliki tiga pilihan: sebuah kebangkrutan yang cepat dengan pengaruh-pengaruh yang dapat dirasakan di seluruh dunia, sebuah pembongkaran Evergrande Group yang tertata, atau sebuah jaminan pembayaran utang oleh Beijing. Kita akan melihat yang mana yang akan dipilih oleh Partai Komunis Tiongkok di hari-hari mendatang. 

Cara Xi Jinping membuat kesepakatan dengan krisis Evergrande Group, hingga cakupan tertentu, mengungkapkan rencana Xi Jinping untuk ekonomi Tiongkok. Baru-baru ini, beberapa pendapat yang saling bertentangan telah bermunculan di media milik negara Tiongkok. 

Satu artikel oleh aktivis Maois bernama Li Guangman mengklaim bahwa Tiongkok sedang melakukan percobaan sebuah reformasi atau revolusi yang mendalam di semua aspek: ekonomi, Keuangan, kebudayaan dan politik. Para analis yakin artikel tersebut menyinggung kemungkinan bahwa Tiongkok akan meluncurkan revolusi kebudayaan yang besar lainnya. 

Beberapa hari berikutnya, Hu Xijin, Ketua Editor Global Times, corong Partai Komunis Tiongkok, membantah Li Guangman dengan mengatakan bahwa artikel Li Guangman adalah sebuah kesalahpahaman yang mendalam terhadap arah politik pemerintah pusat. 

Siapakah yang benar? Apakah yang ada dalam pikiran Xi Jinping? Untuk memahami rencana Xi Jinping, pertama-tama kita harus pergeseran yang besar dalam kebijakan Tiongkok terhadap Amerika Serikat sejak pemerintahan Donald Trump. Tidak ada yang kebetulan bahwa Xi Jinping mulai membuat target dan melakukan reformasi ekonomi platform domestik, dan saat yang sama Xi Jinping mulai berupaya sebagian dekat dengan Tiongkok. 

Xi Jinping adalah perlu untuk mengalihkan Tiongkok ke sebuah jalur yang berbeda, sebuah jalur yang sangat berbeda dari jalur yang telah dijalani Tiongkok secara lancar selama beberapa dekade menuju supremasi ekonomi dan politik. Jalur itu ditempa melalui subsidi-subsidi negara, pencurian kekayaan intelektual yang didukung negara dan transfer teknologi secara paksa yang didukung negara yang dilakukan di dalam sebuah pasar globalisasi dan sebagian besar diabaikan oleh kekuatan Barat yang percaya Tiongkok akan menjadi sebuah negara bebas setelah Tiongkok menjadi sebuah ekonomi bebas. 

Di bawah kondisi-kondisi ini, ekonomi dan kekuatan nasional Tiongkok telah tumbuh dengan cepat. Tetapi perang dagang yang dikobarkan Donald Trump dan pandemi Coronavirus secara mendasar mengubah pemikiran-pemikiran Barat mengenai Tiongkok Komunis. 

Xi Jinping menyadari bahwa kedudukan Tiongkok di festival utama globalisasi, akses yang  diberdayakan Tiongkok Komunis, telah ditiadakan. Untuk beberapa pemimpin, hal itu mungkin adalah sebuah tamparan yang fatal untuk rezimnya. Tetapi untuk Xi Jinping,  hal itu adalah pengecualian yang ia perlukan untuk mengalihkan Tiongkok ke jalur tersebut yang telah ia bayangkan sejak lama, sebuah jalur yang sangat berbeda dari para pendahulunya. 

Di Tiongkok Komunis, Desmond Shum melukiskan era Jiang Zemin dan era Hu Jintao sebagai sebuah waktu momentum yang maju di mana para kapitalis seperti dirinya dan mantan istrinya, Whitney Duan, dapat menyaksikan aturan kritis yang mereka mainkan dalam modernisasi Tiongkok. Mereka sedang menciptakan pekerjaan-pekerjaan baru Tiongkok yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin dunia. Mereka menciptakan, dan menikmati kekayaan yang muncul bersamaan dengan hal itu. Hal-hal membaik. Hari ini adalah lebih baik daripada kemarin, dan tahun ini adalah lebih baik daripada tahun kemarin. Tidak hanya elit politik atau ekonomi yang merasakan hal tersebut. 

Semua orang Tiongkok tampaknya memandang optimisme yang sama. Penduduk-penduduk di seluruh Tiongkok merasa bahwa Tiongkok akan bergerak ke arah sebuah masyarakat yang lebih terbuka dan bebas, sebuah jalur yang paling banyak didukung, bahkan juga Partai Komunis Tiongkok. 

Ketika Mao Zedong pernah menempatkan para kapitalis berada di lapisan bawah masyarakat Tiongkok, penerusnya Deng Xiaoping memperbaiki status para kapitalis. Dan pada 1 Juli 2001, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, Jiang Zemin, memberikan sebuah pidato selamat datang kepada semua orang, termasuk para kapitalis, untuk bergabung dengan Partai Komunis Tiongkok, memperbolehkan mereka untuk memasuki tepi kekuatan politik. Tetapi para kapitalis tidak akan ingin untuk bertahan lebih lama di tepi kekuatan politik. 

Desmond Shum menunjukkan bahwa pada elit tertinggi Partai Komunis Tiongkok telah mempersiapkan untuk perubahan ini. Dalam percakapan pribadi, para pejabat tingkat-atas seperti Wakil Perdana Menteri Tiongkok Wang Qishan membagikan pandangan-pandangan mereka bahwa pada titik tertentu, Partai Komunis Tiongkok akan dipaksa untuk menerima privatisasi skala-besar dan bahwa elit-elit Partai Komunis Tiongkok dan lingkaran dalam Partai Komunis Tiongkok harus menyisihkan modal sehingga mereka dipersiapkan untuk berinvestasi bila saatnya tiba. 

Wang Qishan berada di pusat reformasi-reformasi Tiongkok selama beberapa dekade. Pada tahun 1993, ekonomi Tiongkok berada dalam krisis karena sebagian terkait dengan utang pinjaman kredit macet sebesar 1,4 triliun yuan (USD 217 milyar) antara empat bank milik negara. Bank-bank milik negara Tiongkok dan perusahaan-perusahaan milik negara Tiongkok sangat terdesak membutuhkan dana. 

Wang Qishan turun tangan, dengan bekerja sama dengan Goldman Sachs dalam sebuah kesepakatan bahwa memperbolehkan China Telecom, sebuah perusahaan milik negara yang besar sekali, untuk go public di Bursa Saham New York pada tahun 1996, yang menyediakan keringanan keuangan yang kritis melalui investasi-investasi internasional. 

Tetapi apa yang menimpa Goldman Sachs dan para investor Amerika Serikat seperti sebuah pengaturan yang sama-sama menguntungkan yang membimbing privatisasi ekonomi Tiongkok tidak lain adalah sebuah upaya untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan milik negara, menyebabkan mereka mengamankan peraturan Partai Komunis Tiongkok. 

Ini adalah sebuah realisasi yang muncul hanya beberapa tahun berikutnya, selama masa pemerintahan Donald Trump. Akhirnya Amerika Serikat membuka matanya untuk memahami bahwa Amerika Serikat tidak mengubah sistem politik Tiongkok melalui upaya-upaya ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat. 

Amerika Serikat menyadari bahwa Tiongkok tetaplah sebuah rezim komunis yang totaliter meskipun ekonominya sedang melonjak. Meskipun para pemimpin Barat mungin merasa hal ini sebagai sebuah kemenangan bagi Partai Komunis Tiongkok, bahkan orang-orang yang berada di Tiongkok, yang mencakup para pemimpin Partai Komunis Tiongkok yang berpikiran reformasi, mulai menunjukkan kekhawatiran. 

Pada 14 Maret 2012, pada konferensi pers Dewan Negara terakhirnya, Perdana Menteri Wen Jiabao berkata dari lubuk hatinya untuk berakhirnya masa jabatannya, dalam menanggapi sebuah pertanyaan wartawan, Wen Jiabao mengatakan bila Tiongkok tidak melakukan reformasi-reformasi politik, pencapaian reformasi-reformasi ekonomi Tiongkok sejauh ini adalah sia-sia, dan Tiongkok cenderung untuk mengulangi kesalahan-kesalahan kerusuhan besar Revolusi Kebudayaan. Ini adalah kata-kata yang sangat berat, dan kata-kata tersebut memalukan  Partai Komunis Tiongkok. 

Reformasi politik adalah sebuah gagasan yang sensitif di Tiongkok, seseorang yang membawa konotasi-konotasi bergerak menuju kebebasan dan demokrasi, sementara menghilangkan kediktatoran. 

Wen Jiabao tidak menentukan jenis reformasi-reformasi politik yang diperlukan, tetapi penduduk Tiongkok memiliki pengalaman yang cukup dengan pasar global dan kapitalisme untuk mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh  Wen Jiabao. 

Wen Jiabao menambahkan bahwa bila reformasi-reformasi politik tidak dijalankan, pencapaian reformasi ekonomi Tiongkok akan sia-sia. Ini adalah sebuah kontradiksi yang mendasar antara ekonomi pasar dengan ideologi komunisme.

Sebuah ekonomi pasar yang berfungsi memerlukan sistem-sistem politik yang menjamin kebebasan dan hak asasi setiap orang. Hak asasi dijamin, dan mampu untuk melindungi properti swasta. Menjamin hak-hak asasi manusia yang mendasar. Pengetahuan bahwa sebuah pengadilan yang independen akan melindungi hak-hak asasi manusia. 

Pemberdayaan yang mengetahui bahwa pemilihan umum Partai Demokrat benar-benar akan memastikan bahwa orang-orang akan memilih orang-orang yang mengawasi kelestarian hak-hak asasi manusia ini. Sistem itu adalah sangat berbeda dari peraturan Partai Komunis Tiongkok. 

Maka, tanpa adanya reformasi yang nyata, pertentangan antara politik dengan ekonomi rezim Tiongkok akan mematahkan Tiongkok dan, karena Partai Komunis Tiongkok ingin melindungi sistem politiknya, maka Partai Komunis Tiongkok akan merusak ekonomi pasar. 

Wen Jiabao menyimpulkan dengan mengatakan bahwa hal itu akan terjadi, Tiongkok cenderung mengulangi kesalahan kerusuhan besar “Revolusi Kebudayaan.” 

Wen Jiabao mengakui bahwa Tiongkok bergerak ke arah yang lebih terbuka dan lebih bebas, dan ia menyadari bahwa bila ekonomi pasar terus-menerus berkembang, pertentangan-pertentangan antara komunisme dengan perusahaan pasar bebas akan mengendalikan akan menjadi apa Tiongkok sesungguhnya. Menghadapi situasi itu, Wen Jiabao ingin mengubah sistem politik, bukannya sistem ekonomi. 

Reformasi politik yang dikatakan Wen Jiabao adalah tidak pernah dijalankan. Itulah sebabnya, saat dimulainya pemerintahan Donald Trump, jam kerja Partai Komunis Tiongkok habis, Donald Trump menuntut sebuah perubahan.

Untuk sebagian besar, saya setuju dengan adanya klaim kebijakan keterikatan tidak membuat Tiongkok menjadi sebuah negara bebas. Namun, klain itu membuat tampaknya tidak ada perubahan sama sekali dalam sistem politik Tiongkok, dan hal itu adalah tidak benar. 

Ya, Tiongkok tetap adalah sebuah negara otoriter, tetapi perubahan besar telah terjadi, yang mencakup bagaimana rakyat Tiongkok memandang legitimasi peraturan Partai Komunis Tiongkok. Pada era Mao Zedong, Partai Komunis Tiongkok dipercayai memiliki mandat Surga. 

Legitimasi peraturan Partai Komunis Tiongkok tidak tergoyahkan, demikian pula dengan ideologi komunis. Meskipun kebijakan Partai Komunis Tiongkok telah menyebabkan kematian puluhan juta orang, Partai Komunis Tiongkok tetap berkuasa dan tidak tertandingi. Legitimasi alami secara bertahap akan terkikis sejak reformasi yang membuka Tiongkok. Selama era Jiang Zemin dan Hu Jintao, legitimasi Partai Komunis Tiongkok bergeser. 

Legitimasi Partai Komunis Tiongkok kini hanya berdasarkan kemampuannya untuk membawa kemakmuran ekonomi. Partai Komunis Tiongkok tahu bahwa bila ekonomi menurun secara tajam, angka pengangguran meningkat dan birokrasi berhenti bekerja untuk rakyat karena kekurangan uang untuk dikorupsi, kemampuan Partai Komunis Tiongkok untuk berkuasa akan berkurang atau hilang semuanya. 

Ujung-ujungnya, rakyat Tiongkok kehilangan kepercayaannya terhadap ideologi komunis. Kenyataan itu adalah persis apa yang ditolak Xi Jinping untuk menerima. 

Xi Jinping mempunyai sebuah rencana baru untuk Tiongkok yang akan kami jelaskan dalam program-program yang akan datang. (Vv)