Pemimpin Tiongkok Xi Jinping Mempererat Cengkramannya Saat Berusaha Mengamankan Jabatan untuk Ketiga Kalinya

Antonio Graceffo

Tiga periode menduduki sebagai pemimpin partai Komunis Tiongkok hingga di pemerintahan, Xi Jinping ingin menempatkan dirinya ke tingkat Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Mao Zedong memimpin Tiongkok untuk “bangkit” melawan ancaman asing, Deng Xiaoping membuat Tiongkok kaya, dan Xi Jinping akan memimpin Tiongkok menjadi kekuatan dunia yang unggul, atau begitulah kata Partai Komunis Tiongkok.

Dan untuk membuat Tiongkok kuat, jelas-jelas, Xi Jinping membutuhkan masa jabatan yang ketiga, untuk membantu bangsa memanfaatkan peluang yang telah ia identifikasi. 

Ini adalah naratif Xi Jinping yang mendorong ke Komite Pusat dan ke orang-orang. Dan, jika ia berhasil mendapatkan dukungan mereka, Xi Jinping berharap untuk mengangkat dirinya ke tingkat Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Pertemuan tertutup pleno keenam, selama empat hari,  yang dihadiri 300 anggota Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok, berlangsung di Beijing minggu ini. Tiongkok beroperasi pada siklus politik lima tahun, yang ditentukan oleh sebuah rencana lima tahun. 

Biasanya, seorang pemimpin Tiongkok memiliki masa jabatan 10 tahun. Pemimpin berikutnya mewarisi sebuah rencana lima tahun, sudah berlangsung. 

Bagi Xi Jinping, ini adalah rencana lima tahun ke-12. Xi Jinping melihat rencana lima tahun ke-12 sampai akhir, dan kemudian menulis dan mengeksekusi rencana lima tahun ke-13, yang baru saja selesai. 

Selama pleno kelima, Xi Jinping menghasilkan rencana lima tahun ke depan, yang ke-14, meliputi tahun 2021 hingga 2025.

Biasanya, pemimpin yang sedang berkuasa akan menyerahkan rencana lima tahun ke-14 kepada pemimpin berikutnya. Tetapi dalam kasus Xi Jinping, tidak akan ada pemimpin berikutnya. Diharapkan bahwa pada akhir pleno keenam, Xi Jinping akan menjadi pemimpin seumur hidup. Salah satu agenda yang akan dibahas pada pleno keenam adalah sebuah “resolusi bersejarah.” 

Ini adalah sebuah momen yang penting, karena Partai Komunis Tiongkok hanya memiliki dua resolusi bersejarah sebelumnya. Yang pertama oleh Mao Zedong, pada tahun 1945, yang mengubah sejarah, mengatakan bahwa ia tidak tertandingi di dalam Partai Komunis Tiongkok. Yang  lainnya adalah oleh Deng Xiaoping, yang mengkritik Revolusi Kebudayaan, menjadikan Revolusi Kebudayaan satu-satunya kebijakan Partai Komunis Tiongkok yang dapat dikritik. Hal itu juga adalah resolusi Deng Xiaoping yang melahirkan dakwaan warisan Mao Zedong: “Mao Zedong adalah 30 persen salah dan 70 persen benar.”

Pengubahan sejarah Partai Komunis Tiongkok adalah sangat penting bagi rencana masa depan Xi Jinping untuk Tiongkok. Dengan merevisi sejarah, Xi Jinping dapat mengendalikan masa depan. Satu titik sejarah yang mungkin dapat direvisi adalah pertanyaan mengenai perairan mana dan negara-negara merdeka mana yang dapat diklaim oleh Tiongkok. Ini bukanlah pertanda baik untuk Taiwan atau wilayah yang disengketakan di Laut Tiongkok Selatan. Salah satu slogan Xi Jinping adalah “peremajaan nasional”, yang mencakup “penyatuan kembali” dengan Taiwan.

Xi Jinping mengamankan dirinya di dalam Partai Komunis Tiongkok dan di dalam sejarah dengan cara memiliki Pemikiran Xi Jinping yang ditambahkan ke Konstitusi. Ini memastikan bahwa Xi Jinping akan menjadi dihormati, sederajat dengan Mao Zedong dan Deng Xiaoping. Dan sekarang, seperti Mao Zedong dan Deng Xiaoping, Xi Jinping akan mendikte penulisan sejarahnya.

Saat ini, Xi Jinping memegang jabatan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok, Ketua Komisi Militer Pusat, dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 2012, Xi Jinping diangkat ke posisi pemimpin tertinggi Tiongkok. Kemudian, pada pleno 2016, ia diberi gelar dari “pemimpin inti,” yang mengangkat derajat Xi Jinping di atas semua pemimpin Tiongkok, kecuali Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Pada tahun 2018, Partai Komunis Tiongkok menghapus batas masa jabatan untuk presiden. Dan pada pleno saat ini, Xi Jinping diharapkan untuk memperkuat semua kekuatan politiknya dan diberikan kepemimpinan seumur hidup.

Kekuasaan Xi Jinping terbukti menjadi sebuah pedang bermata dua dalam perekonomian, di mana bawahan menjalankan kebijakannya, sebagian besar karena takut. Ditambah dengan tuntutan Xi Jinping yang sering bertentangan, ini adalah resep untuk bencana. 

Contohnya adalah Xi Jinping menuntut diakhirinya kekurangan listrik, sambil memerintahkan pengurangan yang ketat dari emisi bahan bakar fosil. Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional benar-benar mengirim kedua perintah ini ke operasi penambangan, terlepas dari kenyataan bahwa pengurangan ketat dalam emisi bahan bakar fosil yang menyebabkan kekurangan listrik.

Harus memenuhi dua tujuan yang saling bertentangan, perusahaan pertambangan ditempatkan dalam sebuah situasi yang sulit dan perusahaan pertambangan itu mempertaruhkan hukuman, tidak peduli apa yang dilakukan perusahaan pertambangan itu. 

Perusahaan pertambangan itu akhirnya memilih lebih banyak produksi, untuk meringankan masalah yang sangat terlihat dari kekurangan energi. Tidak ada seorang pun dalam rantai komando ini yang dapat menunjukkan bahwa sebuah pengurangan emisi, menyebabkan kekurangan listrik, karena hal itu akan menjadi kritik terhadap Xi Jinping.

Tidak ingin menjadi provinsi atau kota yang membuat masalah, pemerintah setempat lebih suka menutupi masalah. Inilah yang terjadi di hari-hari awal pandemi COVID-19, di kota Wuhan, ketika pihak berwenang membungkam dokter dan Whistleblower yang memperingatkan penyakit itu.

Seringkali tidak melakukan apa-apa, sampai secara tegas disuruh melakukan sesuatu, adalah kebijakan yang paling aman untuk pemerintahan tingkat bawah. Namun, jenis pendekatan ini tidak menumbuhkan kreativitas atau pemecahan masalah yang inovatif. Xi Jinping memprioritaskan pengurangan kemiskinan. 

Dan, mungkin ada para pejabat pemerintah setempat yang melihat sebuah solusi yang praktis dan mudah untuk wilayah spesifik mereka, tetapi jika mereka ingin mengambil tindakan yang gagal, mereka akan mengambil risiko hukuman. Atau, jika mereka tidak melakukan apa-apa, mereka dapat mengklaim bahwa mereka mengikuti perintah Xi Jinping dan berupaya memikirkan sebuah  solusi yang baik.

Xi Jinping ingin membawa ekonomi Tiongkok ke sebuah arah yang baru, tidak lagi mengandalkan ekspor-ekspor, berbalik ke dalam, dan mempromosikan permintaan domestik sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Tiongkok tahu bagaimana menjalankan sebuah ekonomi ekspor, yang telah dilakukan selama tiga dekade terakhir. 

Ekonomi yang digerakkan oleh konsumen, sangat tergantung pada sektor jasa, sebaliknya, adalah hal baru. Hal ini akan menjadi sebuah waktu yang lebih baik untuk kreativitas dan fleksibilitas dalam berbagai tingkat pemerintahan, dan pengurangan kendali yang ketat di masyarakat. 

Sebaliknya, Xi Jinping bergerak menuju kendali ekonomi dan populasi yang lebih ketat, sambil membuat kendalinya atas pemerintah yang mutlak dan mungkin permanen. (Vv)