Tempat Terpanas di Bumi dengan Suhu 60 ℃ Ini pun Masih Berpenghuni, Bagaimana Orang-orang Bertahan?

Aboluowang.com

Oymyakon, Rusia adalah tempat paling dingin di dunia dengan suhu terendah bisa mencapai minus 71°C. Sekarang kita akan “mengunjungi” Dallol, di Ethiopia yang merupakan tempat terpanas di dunia. Melihat bagaimana penduduk Dallol bertahan hidup, dan mengapa status wanita di sana begitu direndahkan ?

Lingkungan geografis

Dallol terletak di Gurun Danakil, Etiopia, Kondisi gurun ini lebih buruk daripada Gurun Sahara, Afrika. Seperempat dari gunung berapi di Afrika berkumpul di gurun ini, dan dekat dengan Great Rift Valley. Gempa bumi dan letusan gunung berapi juga kerap terjadi.

Menurut catatan, bahwa suhu rata-rata di sana adalah 35°C, penduduk setempat mengatakan suhu tertinggi bisa mencapai 60°C. Karena tidak memiliki sumber air, jadi tidak ada pertanian, suhu udara  sepanjang tahun tinggi. Namun, di bawah kondisi lingkungan yang keras seperti itu, masih ada suku tangguh yang bertahan hidup di sana.

Jalur Petualangan

Bukan kebetulan bahwa suku Afar mampu bertahan hidup dalam kondisi seperti itu. Suku yang tangguh ini juga terkenal dalam sejarah. Pada tahun 1881, tim ekspedisi Italia mengumpulkan anggota terbaik saat itu dan memulai perjalanan penjelajahan. Begitu mereka memasuki daerah yang dikuasai suku ini, orang-orang Italia dalam rombongan dibantai, dan beberapa pria bahkan dikebiri.

Setelah itu, untuk waktu yang sangat panjang, tidak ada lagi orang asing yang berani menerobos masuk ke daerah suku Afar. Pada awal 2000-an, sekelompok orang berkumpul kembali untuk menjelajah Dallol, melihat suku Afar saat ini, mereka itu termasuk pemandu wisata, ahli biologi, dokter, dan para penjelajah.

Sebagian besar penduduk Afar bekerja di tambang garam di Dallol, dan tujuan pertama ekspedisi adalah mengunjungi tambang garam. Mereka mulai berangkat dari ibu kota dengan menempuh jarak sekitar 60 kilometer dalam waktu 8 jam dengan mobil. Jalan yang bergunduk-gunduk membuat anggota tim kelelahan. Setelah perjalanan 60 kilometer, sudah tidak ada jalan bagi mobil untuk bergerak maju, padahal masih ada 60 kilometer lagi baru tiba di tambang garam.

Untuk itu tim terpaksa menempuhnya dengan berjalan kaki selama 3 hari. Ketika anggota tim ingin tidur di pinggir jalan, tak satu pun yang benar-benar bisa tidur, karena suhu udara masih di atas 30 °C padahal sudah jam 3 pagi. Belum lagi banyak kalajengking beracun di sekitar yang bisa mengancam nyawa. Karena udaranya panas jadi keringat di baju pun cepat mengering. Dallol di siang hari seperti pengering rambut, angin yang bertiap pun terasa panas.

Masalah terbesar yang mereka hadapi adalah dehidrasi. Anggota tim minum 12 liter air setiap hari, tetapi keringat yang keluar hampir 13 liter. Tekor tentunya. Oleh Sebab itu dokter meminta masing-masing anggota tim untuk mengukur berat badan dan mengamati kesehatan sendiri setiap hari.

Para pekerja lokal yang mengangkut balok garam mengambil jalan ini setiap hari. Kebanyakan dari para pekerja itu badannya penuh dengan kapalan. Penduduk setempat terbiasa dengan minum seteguk air karena sumber air yang terbatas, dan nyaris tidak buang air kecil. Kristal garam menumpuk dalam tubuh dan memenuhi ginjal mereka.

Unta adalah hewan penolong yang baik bagi penduduk setempat. Bagi mereka unta tidak untuk dinaiki kecuali untuk membawa garam menuju pasar untuk dijual. Unta bisa bertahan hidup sampai satu bulan dengan sekali minum air, usianya pun bisa mencapai 50 tahun, dan dapat membawa 1.000 pon barang dan berjalan 40 kilometer setiap hari.

Tambang garam yang mengerikan

Di cekungan seluas 2.000 kilometer persegi, ada tambang garam Dallol. Sumber tambang garam adalah air tanah Laut Merah. Setelah dipanaskan oleh gunung berapi, ia naik ke permukaan dan menguap pada suhu tinggi menjadi tambang garam.

Pekerja tambang garam bekerja dalam 2 shift masing-masing 12 jam sehari dengan upah harian setara USD. 4,- yang merupakan pekerjaan dengan penghasilan yang cukup baik di daerah setempat.

Sesungguhnya istilah ‘upah’ ini berasal dari kata Latin yang berarti garam. Mungkin Anda juga sudah mengetahui bahwa upah prajurit di zaman Kekaisaran Romawi adalah garam.

Tambang garam dioperasikan di luar ruangan, terutama untuk penambangan dan pengolahannya. Pekerja menggali blok garam besar dari dalam tambang lalu dipotong menjadi bentuk seperti kubus dengan berat 1 kg. Tangan para pekerja pemotong penuh dengan luka, karena tepi dari blok garam itu tajam, mereka akan tergores jika kurang berhati-hati.

Bisa kita bayangkan bagaimana rasanya ketika luka terkena garam, perih sekali bukan ! Setiap blok garam yang beratnya 1kg diharga 1 Birr (mata uang Ethiopia).

Setiap unta membawa 25 kg garam setiap kali perjalanan, dan bos menjualnya dengan harga sepuluh kali lipat di pasar. Tampaknya di mana-mana sifat pedagang sama saja berunsur pemerasan.

Catatan terkait suku Afar

Orang Afar tinggal di desa Kus yang dikelilingi oleh vegetasi yang jarang, penduduk desa tinggal di tenda-tenda berkubah atau rumah sederhana yang dibangun dengan batang pohon yang sangat mirip dengan (maaf) kandang kambing. Kepala desa dan para tetua memiliki keputusan akhir dalam segala hal di desa, dan setiap keluarga harus menyerahkan sebagian uang untuk perlindungan diri dan pengeluaran di desa. Desa ini memiliki angkatan bersenjatanya sendiri.

Beberapa pemuda yang berbadan kekar memegang AK47 di tangan mereka. Jika penduduk desa tidak pergi menambang, mereka biasanya mengurus ternaknya, seperti kambing dan keledai di rumah. Hanya kepala desa yang berhak memelihara unta yang bagus. Protein penduduk desa umumnya diambil dari minum susu kambing dan makan dagingnya. Karena masyarakat setempat terbiasa dengan minum susu kambing tanpa dimasak, tidak steril jadi mudah sakit. Jika hewan peliharaan sakit, penduduk desa setempat akan mengiris sebagian dari telinga hewan tersebut, yang menurut keyakinan mereka bisa mencegah hewan tersebut mati.

Dan, penduduk desa pun  memperlakukan diri mereka dengan cara yang sama. Kalau terdapat bagian tubuh yang terinfeksi bernanah, mereka akan menggunakan pisau untuk mengiris luka, atau menggunakan panas api untuk mengatasinya.

Status kaum perempuan desa

Status perempuan desa sangat rendah, setiap hari mareka harus berjalan sejauh 3 kilometer untuk mengambil air dengan cara mencari lokasi yang rendah bertumbuhan lalu digali sedalam 10 meter. Air yang keluar terasa sangat pahit dan asin. Dan setiap kali harus bolak balik beberapa kali dengan membawa ember plastik besar yang dapat diisi 50 liter air.

Para wanita yang telah selesai menimba air juga perlu pergi ke tempat yang lebih jauh untuk memotong kayu untuk bakar dan rumput untuk makanan hewan. Setelah “menyelesaikan tugas” itu wanita baru dapat makan dengan sedikit roti gandum tetapi tidak boleh sampai kenyang. Lima wanita makan sepotong roti, wanita yang lebih tua akan membuat anak gadis yang masih kecil untuk makan lebih banyak.

Para perempuan di desa ingin menceritakan rahasia mereka, tetapi selalu ada pria di depan pintu dengan senjata di tangan yang terus menguping, jadi sama sekali tidak berkesempatan untuk menyampaikan uneg-uneg mereka.

Setiap perempuan desa wajib melakukan pekerjaan rumah sejak dia mulai bisa berjalan, dan mereka hanya bisa pasrah pada takdir ketika diserang penyakit, hidup tanpa status apa lagi rasa bahagia.

Semua ibu hamil dalam keadaan kekurangan gizi, dan setiap melahirkan seakan-akan harus “berjalan melewati gerbang kematian”. Angka kematian karena melahirkan mencapai 200 kali lipat dari negara-negara Eropa. Perempuan tidak hanya tidak memiliki asuransi kesehatan, tetapi juga tidak berhak atas pendidikan.

Barangkali Anda belum tahu bahwa hanya 2 dari 100 orang pria di sana yang mengenyam pendidikan. Bahkan ketika merayakan pernikahan, mempelai wanita juga tidak bisa makan cukup, dan tidak boleh keluar di siang hari. Setelah mempelai pria kenyang, mempelai wanita baru bisa melahap makanan yang tersisa. Celakanya, acara pernikahan itu berlangsung selama 6 hari berturut-turut, tentu saja membuat sengsara mempelai wanitanya. (sin)