Pengadilan Tinggi PBB Perintahkan Rusia Segera Hentikan Invasi di Ukraina, Moskow dan Beijing Memilih untuk Menentangnya

Frank Fang – The Epoch Times

Rezim Tiongkok memihak Rusia dalam pemungutan suara Perserikatan Bangsa-Bangsa lainnya pada 16 Maret, ketika kedua negara tersebut berbeda pendapat terhadap keputusan Mahkamah Internasional  yang memerintahkan Moskow untuk “segera menangguhkan” operasi militernya di Ukraina.

Ukraina mengajukan sebuah gugatan terhadap Rusia di Mahkamah Internasional, badan hukum tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 26 Februari, dengan alasan bahwa Moskow telah melanggar  Konvensi Genosida tahun 1948 ketika Rusia secara salah membenarkan tindakan militernya untuk  mencegah genosida di Luhansk dan Donetsk.

Keputusan Mahkamah Internasional tersebut  memutuskan bahwa Ukraina “memiliki hak yang masuk akal untuk tidak menjadi sasaran operasi militer oleh Federasi Rusia untuk tujuan mencegah dan menghukum dugaan genosida di wilayah Ukraina.”

“‘Operasi militer khusus’ sedang dilakukan oleh Federasi Rusia telah mengakibatkan banyak kematian dan cedera warga sipil. ‘Operasi militer khusus’ juga menyebabkan kerusakan material yang bermakna, termasuk kehancuran bangunan-bangunan dan infrastruktur,” menurut putusan Mahkamah Internasional.

Dalam hasil pemungutan suara 13-2, Mahkamah Internasional memerintahkan Rusia untuk “dengan segera menangguhkan operasi militer yang dimulai pada 24 Februari 2022.” 

Kirill Gevorgian dari Rusia dan Xue Hanqin dari Tiongkok memberikan suara yang menentang keputusan tersebut.

Hakim Rusia dan Tiongkok itu juga memberikan suara yang menentang keputusan lain: bahwa Rusia harus memastikan unit-unit militernya untuk “tidak mengambil langkah” untuk memajukan operasi-operasi militernya di Ukraina. 13 Hakim lainnya memberikan suara yang mendukung.

Pemungutan suara terakhir menandai untuk ketiga kalinya Tiongkok mendukung atau tidak menentang Rusia dalam pemungutan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Pada 25 Februari, Tiongkok abstain dari pemungutan suara di sebuah resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menuntut agar Moskow menghentikan serangannya ke Ukraina dan segera menarik pasukannya.

Pada 2 Maret, Tiongkok kembali abstain dari pemungutan suara di sebuah resolusi Majelis Umum Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mencela Rusia atas invasinya di Ukraina dan menyerukan Moskow untuk segera menarik pasukannya. Resolusi itu diadopsi setelah 141 dari 193 negara anggota memberikan suara yang mendukung.

Partai Komunis Tiongkok sejauh ini menolak untuk menyebut serangan Rusia adalah sebuah invasi atau mengutuk Moskow atas agresinya. Beberapa minggu sebelum perang tersebut, kedua negara tetangga itu meningkatkan hubungan bilateralnya ke suatu kemitraan “tanpa batas.”

Presiden Mahkamah Internasional Joan Donoghue, dalam menyampaikan putusan tersebut, menjelaskan “kondisi hidup yang sulit” yang sekarang dihadapi penduduk Ukraina.

“Banyak orang tidak memiliki akses ke bahan makanan paling dasar, air minum, listrik, obat-obatan esensial atau pemanas. Sejumlah besar orang sedang berupaya melarikan diri dari kota-kota yang paling terkena dampak di bawah kondisi yang sangat tidak aman,” kata Joan Donoghue.

Lebih dari 3 juta pengungsi Ukraina telah melarikan diri ke negara-negara tetangga, menurut data dari badan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Putusan Mahkamah Internasional memiliki pengertian yang terbatas, karena Mahkamah Internasional tidak dapat menegakkan keputusannya.

Namun, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebut keputusan Mahkamah Internasional itu sebagai “kemenangan penuh” untuk negaranya.

“Mahkamah Internasional memerintahkan untuk segera menghentikan invasi. Perintah itu mengikat di bawah hukum internasional. Rusia harus segera mematuhinya. Mengabaikan perintah itu akan mengisolasi Rusia lebih jauh,” tulis Zelensky di Twitter.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat, Ned Price dalam sebuah pernyataan mengatakan keputusan itu “dengan jelas dan tegas memerintahkan Rusia” untuk segera menangguhkan aksi militernya di Ukraina.

“Kami menyambut baik perintah Mahkamah Internasional dan meminta Federasi Rusia untuk mematuhi perintah tersebut, dengan segera hentikan operasi militernya di Ukraina, dan untuk membangun akses kemanusiaan tanpa hambatan di Ukraina,” kata Ned Price.

Sebelumnya pada hari Rabu, Volodymyr Zelensky menyampaikan sebuah pidato yang berapi-api melalui jaringan video kepada para anggota Kongres AS, yang mendesak Washington untuk menyediakan lebih banyak bantuan  militer kepada negaranya.

Senator Partai Republik Mike Gallagher (R-Wis) mengatakan pidato Volodymyr Zelensky adalah “pengingat yang kuat bahwa Amerika Serikat harus memimpin untuk mencegah kematian, kekacauan, dan kehancuran lebih lanjut, di Ukraina,” menurut sebuah pernyataan dari kantor Mike Gallagher.

“Kami juga perlu mengirim sebuah pesan yang jelas kepada Partai Komunis Tiongkok bahwa kami akan menghukum Partai Komunis Tiongkok jika Partai Komunis Tiongkok campur tangan dalam konflik untuk membantu Rusia,” kata Mike Gallagher. 

Ia juga mengatakan, “Partai Komunis Tiongkok harus tahu bahwa kami akan mengumumkan bukti bantuan militer apa pun ke Rusia.”

Dalam beberapa hari terakhir, beberapa media, mengutip pejabat Amerika Serikat yang tidak disebutkan namanya, menyatakan bahwa Rusia telah meminta bantuan militer dan bantuan keuangan untuk perangnya dari Beijing. Sedangkan Beijing  mengisyaratkan bersedia untuk memenuhinya. Keduanya negara tersebut telah membantah tuduhan tersebut. 

“Partai Komunis Tiongkok dan Rusia telah mengobarkan sebuah Perang Dingin Baru melawan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu kami selama lebih dari satu dekade. Saatnya kami bangkit dan mulai melakukan apa yang diperlukan untuk menang,” pungkas Mike Gallagher. (Vv)