Shanghai Lockdown Setengah Bulan — Warga Pingsan Kelaparan, Tidak Ada Obat-Obatan, Video Minta Tolong Terus Bermunculan

 oleh Zhao Fenghua, Ming Yu

Shanghai telah mengalami lockdown ketat selama setengah bulan, pencegahan epidemi yang tidak manusiawi menyebabkan bencana bagi warga karena mata pencaharian terganggu, banyak warga kehabisan makanan dan obat-obatan, sehingga permintaan bantuan secara online terus bermunculan. Bahkan ada relawan yang bertugas di rumah sakit penampungan darurat pun tidak dapat pulang ke rumah, kebebasannya dibatasi, sampai mereka pun mengirimkan video call untuk meminta bantuan.

Di Distrik Baoshan Shanghai, seorang balita yang menderita demam tinggi, tetapi pihak berwenang tidak ada yang mau peduli. Sampai Ibu yang marah itu mencela petugas tidak berperikemanusiaan.

Ibu dari balita itu mengatakan : “Saya hanya meminta izin untuk membawa bayi saya ke rumah sakit untuk mengobati demamnya yang tinggi, dan kalian terus menahan saya agar tetap di rumah. Cept, cepat (pulang). Apa itu cepat, cepat ?  Cepat, cepat sampai anak saya sakit ?”

“Apakah kalian tidak berperikemanusiaan ? Kalian tidak ada yang keluar untuk memberikan penjelasan (kepada saya), Inikah sikap kalian terhadap warga sipil ?”

“Saya sudah sejak jam 7 tadi sampai sekarang sudah jam 9 lebih. Tidak satu pun dari kalian yang keluar untuk berbicara dengan saya, tidak ada yang tampil untuk memberitahu saya apa yang harus saya lakukan, kecuali kata-kata cepat, cepat (pulang). Mana orang yang jadi pimpinan ? Apakah nyawa anak saya bukan nyawa ?”

“Dia baru berusia dua tahun. Kalian menyuruh saya pulang. Lalu anak saya ini bagaimana ? Kondisi demamnya sudah berlangsung beberapa hari, sedangkan kami berdua juga memiliki gejala”.

“Kalian setidaknya memberi saya solusi yang layak, bahkan mengizinkan saya pergi ke rumah sakit”.

Video lain menunjukkan, sekitar pukul 2:30 dini hari, ibu yang putus asa ini mengetuk pintu para tetangga untuk memohon obat menurunkan demam sebagai satu-satunya harapan menyelamatkan anaknya yang sakit.

Ibu dari anak yang sakit itu sambil mengetuk pintu mengatakan : “Halo om dan tante, saya adalah penghuni 305 hanya ingin bertanya apakah kalian memiliki obat turun panas(antipiretik). Anak saya demam. Apakah bibi ada di rumah ? Maaf mengganggu kalian”.

“Karena demamnya sudah mencapai 40 derajat, saya memanggil 120 (nomor telepon darurat medis Tiongkok), katanya sudah ada 300 an orang yang antri. Mereka sendiri kewalahan”.

“Saya juga telepon ke komite lingkungan (semacam RT), tapi mereka juga tidak bisa berbuat apa-apa. Katanya tidak ada obat”.

Ratapan memilukan itu menggugah banyak hati netizen.

Di Kota Malu, Jiading, Shanghai, seorang pria tua telah kehabisan makanan, orang tua lainnya yang tinggal bersamanya sudah pingsan lantaran kelaparan. Ia tidak punya pilihan selain meminta bantuan pemerintah.

Pria warga Kota Malu tersebut mengatakan : “Saya dan orang tua yang tinggal serumah itu sudah seharian hanya minum air tanpa sedikit pun makanan”.

Petugas komite lingkungan : “Kita juga tidak berdaya kecuali melaporkan ke atas”.

Pria warga Kota Malu tersebut mengatakan : “Orang tua itu sekarang sudah pingsan karena kelaparan, bahkan tidak bisa bangun dari tempat tidur. Jika terus seperti itu, akan terjadi korban. Tolong, tolong carikan solusi”.

“Tolong, tolong carikan sedikit makanan”, tambahnya.

“Saya sudah mencoba untuk menemui komite lingkungan, bahkan komite desa (semacam RW), mencari pemerintah kota Malu, tetapi tidak satupun dari mereka yang menggubris”.

Petugas komite lingkungan mengatakan : “Sekarang membeli barang itu rebutan”.

Pria warga Kota Malu tersebut mengatakan : “Saya mengatur jam weker saya berbunyin setiap hari  pukul 5:40, dan pada pukul 6, kami ikut berebut tetapi tidak bisa mendapatkan makanan sama sekali”.

Petugas komite lingkungan : “Jujur saja, saya sendiri juga tidak kuat untuk sepanjang hari berada di sini”.

Di bawah kebijakan pencegahan epidemi nol kasus yang tidak manusiawi, tidak hanya warga sipil yang mengalami kelaparan, tetapi juga mereka yang terlibat dalam pencegahan epidemi juga tidak luput dari takdir serupa.

Seorang petugas rumah sakit penampungan darurat mengatakan : “Bagi mereka yang bersedia menerima upah ini, mereka yang bersedia menerima gaji untuk bekerja, patuhi sekarang apa yang diinstruksikan atasan”.

Relawan rumah sakit penampungan darurat juga mengeluh tidak bisa pulang ke rumah. 

“Ketika kami datang ke sini, katanya tugas kami yaitu pekerjaan di bagian luar rumah sakit penampungan darurat, tetapi sekarang kami diminta menjadi petugas bagian dalam rumah sakit, dengan waktu kerja lebih dari sepuluh jam sehari. Kami tidak ingin melakukannya lagi sekarang dan kami mau pulang, tapi kami tidak diperbolehkan, jadi terpaksa menelepon polisi juga nomor telepon 12345, Tetapi percuma saja, kami sudah terjebak di sini selama berhari-hari. Kami tidak bisa kabur. Kami tidak bisa pulang.” (sin)