Perpecahan Politik Global, Pola “Tiga Dunia” Muncul Kembali

He Qinglian

Belum lama ini Menkeu Amerika Serikat dan Gubernur Bank Dunia yang diangkat oleh AS menyampaikan pidatonya, menyatakan akan merombak sistem keuangan global.

Pada 13 April lalu, dalam suatu rapat yang diadakan oleh wadah pemikir AS yakni Atlantic Council, Menkeu AS, Janet Yellen mengimbau kepada seluruh lembaga ekonomi utama dunia agar melakukan reformasi, serta menyatakan, Perang Ukraina menandakan perlu dilakukannya perombakan terhadap IMF dan lembaga lainnya, di antaranya salah satu poin penting adalah merombak mekanisme IMF, dalam hal ini perombakan ditujukan terhadap Rusia, Tiongkok, Brasil, dan India yang diterima sebagai negara investasi. Poin penting kedua adalah hendak mengeluarkan Rusia dari kelompok G20.

Gubernur Bank Dunia David Malpass mengincar Tiongkok, dengan mengatakan mengurangi ketergantungan terhadap Tiongkok adalah hal baik bagi semua pihak. Kedua lembaga ini adalah dua pilar besar keuangan dunia, Bank Dunia dikuasai oleh Amerika.

 AS sendiri juga merupakan pemegang saham terbesar IMF, dan memiliki hak veto, tapi direkturnya diangkat oleh Uni Eropa. 

Sekarang IMF dan Bank Dunia telah menyatakan serempak, berarti AS telah mempersiapkan diri: Globalisasi akan berakhir pada 2022, masyarakat internasional akan menjadi dunia multipolar.

Perpecahan Politik Halangi Globalisasi Ekonomi

Karena Gedung Putih kembali menjamin tidak akan terjun langsung dalam perang Rusia- Ukraina, dengan demikian pengamat AS tidak mencemaskan meletusnya Perang Dunia-III. Pada saat ini hal penting yang paling diperhatikan beralih menjadi pola politik global pasca perang akan mengalami perubahan seperti apa.

Era 1990-an pasca runtuhnya Uni Soviet, globalisasi pun menjadi tren dunia. Proses terbentuknya globalisasi secara garis besarnya yaitu:

Langkah pertama adalah globalisasi ekonomi, dalam hal ini, seluruh negara di dunia telah menaiki gerbong peradaban materi negara Barat, negara mana pun itu, dari ibukota sampai desa dan pelosok miskinnya, adalah penikmat hasil, lancar tanpa halangan.

Langkah kedua adalah globalisasi masyarakat, seperti menerima konsep kebebasan berbicara, kebebasan bermigrasi, dan kebebasan pribadi yang diusung Barat (dan di Beijing terutama terwujud menjadi kebebasan seks), anak gunung dan kawula muda kelahiran keluarga kelas atas di perkotaan akhirnya berkesempatan untuk duduk bersama menikmati kopi, oleh karena itu juga sangat disambut baik. 

Walaupun globalisasi ekonomi memicu kesenjangan kaya miskin yang semakin menganga di setiap negara, tetapi di saat yang sama juga telah menciptakan banyak orang kaya, juga berjibun kalangan menengah.  

Namun demikian, di AS, pelaku bisnis manufaktur dan pemilik lahan pertanian pada sekitar 2014 (setelah dimulainya masa jabatan kedua Obama). 

Baru menyadari bahwa diri mereka telah menjadi korban globalisasi, dan mulai menentang.  Ketika mereka sedang mencari politisi yang dapat mewakili aspirasi mereka, muncullah Donald Trump di saat yang tepat.

Sejak Eropa dan AS memaksakan program energi hijau pada KTT Iklim PBB mengalami tantangan dari Tiongkok, Rusia, Australia, India dan lainnya, telah disimpulkan dunia akan berubah dari monopolar didominasi AS menjadi dunia yang multipolar. 

Pasca meletusnya perang Rusia-Ukraina, AS dan Eropa mulai menerapkan berbagai sanksi menyeluruh terhadap Rusia, terakhir membuat Uni Eropa terjerumus ke dalam perpecahan akibat ketergantungan energi mereka pada Rusia khususnya gas alam.  

Hal ini cukup untuk membuktikan “menyatukan dunia di bawah satu sistem ekonomi dan pada akhirnya mewujudkan liberalisme besar di bawah sistem politik tunggal” hanyalah semacam angan-angan belaka.

Apakah perang Rusia- Ukraina memberi pertanda berakhirnya globalisasi di era pasca perang dingin ini? 

Pengamat Barat  yang senantiasa mendukung globalisasi, sekarang mau  tidak mau  harus menghadapi fakta pecahnya dunia, tapi pandangan mereka ada perbedaan kecil dalam hal yang sama. 

Pertama, Kelak Aliansi Negara Akan Terpecah Berdasarkan Ideologi

Contohnya ekonom Bertelsmann Stiftung Jerman bernama Cora Jungbluth menilai, saat ini dunia telah terbagi menjadi dua kubu ekonomi yang sama sekali berbeda: Kubu pertama adalah pasar ekonomi demokratis (UE, AS dan seluruh Amerika Utara, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Oceania), dan kubu kedua dibentuk oleh negara otoriter (Tiongkok, Rusia, dan rekan dagang pentingnya).  Ia menekankan, “Disini, yang kita lihat adalah kembalinya geopolitik. 

Dan, perkembangan ini juga menyebabkan deglobalisasi, yaitu upaya untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada negara yang berprinsip berbeda.” — pandangan ini sebenarnya  telah mengabaikan tujuan terpenting didorongnya globalisasi oleh negara Barat dulu: Perekonomian negara demokrasi Barat kecuali AS, Kanada, Australia dan sedikit negara lain. 

Baik pasar yang dibutuhkan negara tersebut bagi produk yang dihasilkannya, maupun energi yang dibutuhkan oleh negara tersebut, itu hampir seluruhnya sangat tergantung pada luar negeri, mulai zaman kolonial, mereka harus mengandalkan negara yang berbeda ideologinya untuk mendapatkan energi atau membuka pasar. 

Dan, karena kebutuhan ekspansi pasar dari dalam seperti inilah yang telah menimbulkan dorongan globalisasi pada negara Barat. Hanya saja dalam proses berinteraksi dengan negara-negara di dunia, negara Barat merasa jika seluruh negara di dunia berubah menjadi satu ideologi yang sama. 

Maka interaksi satu sama lain akan menjadi jauh lebih mudah, maka timbullah tuntutan untuk mengglobalkan nilai-nilai dan sistem politik, yang perkembangannya pada akhirnya berubah menjadi Eropa dan AS mendorong lahirnya Revolusi Warna bagi negara lain.

Maka dari itu, membagi hubungan kerjasama ekonomi berdasarkan ideologi. Pada akhirnya mungkin akan membuat AS dan Eropa mengikat tangan dan kaki-nya sendiri, Jerman saat ini sedang pusing tujuh keliling memikirkan dari mana memperoleh sumber daya energi di masa mendatang.

Kedua, restrukturisasi berdasarkan “kebutuhan akan keadilan”

Dr. Gal Luft [direktur eksekutif Institut Analisis Keamanan Global (IAGS) yang berbasis di Washington, DC. Spesialisasinya adalah strategi, geopolitik, terorisme, Timur Tengah, dan keamanan energy] yang selama ini memendam kritik terhadap globalisasi baru-baru ini menyampaikan pandangannya. 

Ia mengkritik AS telah melemparkan bom nuklir finansial memberi sanksi kepada Rusia, tapi sebaliknya malah telah melukai diri sendiri, dan kehilangan posisi hegemoni mata uang dolar AS, sistem mata uang dunia akan menjadi sangat bervariasi, seiring dengan hal itu dunia juga akan terbagi menjadi tiga kelompok negara.

Kelompok pertama adalah “Barat dan anggota klub elite”, seperti Jepang, Singapura, dan Korsel.

Kelompok kedua adalah “negara revisionisme” yang diketuai oleh Tiongkok dan Rusia. Negara-negara ini berharap dapat membentuk sistem internasional yang lebih adil, agar negara lain tak lagi hidup di bawah kendali negara Barat.

Kelompok ketiga adalah kondisi mayoritas negara lain: non-blok.

Negara non-blok adalah yang paling banyak menuai manfaat dari globalisasi. Mereka berharap untuk tidak mendapat tekanan dari negara besar dalam sistem globalisasi, dapat berdagang bebas dengan berbagai negara, bebas memanfaatkan mata uang atau teknologi— ini mungkin sedikit banyak akan menjadi kerangka baru distribusi kekuasaan global.  

Secara garis besar mendekati peta politik global di masa mendatang, hanya saja selain Jepang, interaksi ekonomi antara Singapura dan Korea Selatan dengan Tiongkok lebih banyak. 

Sebagian besar waktu, kedua negara itu akan menjauh di antara dua kubu, hanya akan dipaksa menyatakan sikap pada saat konflik kedua kubu meruncing. 

Selebihnya sekitar 3/5 negara berada dalam kondisi tidak beraliansi, mereka bertindak berdasarkan kepentingan. 

Seiring dengan semakin dekatnya hasil perang, tulisan tentang refleksi globalisasi bakal terus bermunculan. Ada yang menyanyikan lagu duka bagi globalisasi, ada yang mengakui geopolitik akan mengakhiri khayalan globalisasi, ada juga yang berharap membantu “tatanan dunia baru” (berharap Biden bersekutu dengan Inggris, Prancis, dan Jerman untuk menyelamatkan globalisasi dan membangun New World Order, ada juga yang mendapati dalam hal pernikahan, keluarga, jenis kelamin, dan kecenderungan seksual, “Semakin lama semakin besar perbedaan nilai-nilai arus utama pada negara berpendapatan rendah dibandingkan negara berpendapatan tinggi”.)

Akan tetapi, karena negara non-blok banyak jumlahnya, diperkirakan bahwa teori dunia ketiga yang dilahirkan oleh Samir Amin yang merupakan penganut Marxisme sekaligus pelaku sosialisme akan sangat diminati: Segenap perkembangan sejati semua negara yang berkembang terlambat dan negara pinggiran, bukan untuk “melampaui” utilitarianisme, mencapai kemakmuran negara yang pro-kapitalis, melainkan “ada tujuan lain”, yakni di atas pondasi melepaskan keterkaitan dengan negara inti, mewujudkan interaksi dan transaksi yang setara di dalam regional — demokrasi ekonomi di atas makna sosialisme.

Juga dengan kata lain, dari segi ideologi, dunia di masa mendatang akan menjadi lebih fantastis: Kaum sayap kiri AS dan Eropa akan mewujudkan berbagai macam mutasi teori sayap kiri baru dari Marxisme Budaya yang oleh Tiongkok disebut sebagai Marxisme Fundamental, yang memiliki sumber asal yang sama dengan teori anti-kolonialisme dari negara Amerika Latin dan Afrika — maka ramalan The End of History & the Last Man oleh Francis Fukuyama akhirnya akan tamat. 

Dilihat dari sudut pandang geopolitik, adalah munculnya kembali konflik tiga peradaban (yang telah bermutasi). (Sud)