Garudeya Code: Kunci Sukses Lepas dari Siklus Penjajahan

ISWAHYUDI

Cakramanggilingan, sejarah berulang, jangan pernah jatuh pada lubang yang sama. Itulah kenapa kita selalu menandai 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Ini mengingatkan kita bahwa sebagai sebuah bangsa, kita pernah terpuruk, terjajah, dan menjadi kuli dari bangsa lain. Suatu ketika kesadaran akan pentingnya hidup merdeka tiba-tiba tumbuh, berkembang dan menjadi realitas merdeka. Tugas selanjutnya adalah mengisi, mempertahankannya.

Tak ada yang abadi di dunia ini. Suatu bangsa berjaya, makmur, dan kaya raya, pun suatu ketika bisa jadi harus sirna kertaning bhumi. Cerita timbul tenggelamnya kerajaan di Nusantara telah banyak terjadi. Namun yang terpenting bagi generasi sekarang dan mendatang adalah bagaimana mereka tidak dikutuk untuk mengulanginya. “Bila orang tidak mempelajari sejarah ia akan dikutuk untuk mengulanginya,” kata filosof Spanyol, George Santanyana.

Setiap generasi bangsa harus selalu merawat ingatan sejarah bahwa kita pernah terpuruk, terjajah dan akhirnya bangkit. Leluhur  Nusantara  melalui  relief Candi Kidal di Malang memberikan pelajaran tentang meraih kemerdekaan. Kebebasan dan kemerdekaan adalah buah dari pikiran sadar bahwa suatu bangsa ingin merdeka dan bebas. Kebebasan dan kemerdekaan adalah anak zaman, dan setiap generasi harus berjuang untuk mewujudkannya, memelihara, dan mengisinya untuk memberikan maknanya semakin berarti. Karena penjajahan tak akan habis di muka bumi. Hanya bentuk, pola, dan gaya penjajahan berubah menurut zaman.

Garudeya adalah sebuah mitos Hinduisme di masyarakat Jawa Kuno, bermoral cerita tentang pembebasan (ruwatan) yaitu perjuangan Garudeya membebaskan ibunya dari perbudakan. Dikisahkan Visaya memiliki dua Istri yaitu Winata dan Kadru. Namun ternyata keduanya tak mampu memberi keturunan. Atas sarannya maka Winata diminta mengerami sebuah telur dan Kadru mengerami 100 telur lainnya.

Ternyata telur Winata menetas menjadi Garudeya, sosok perpaduan antara manusia dan burung. Kepala dan kakinya berbentuk burung dan bersayap. Sedangkan badan dan tangannya seperti manusia. Sementara itu Kadru kaget karena 100 butir telur yang dieraminya memiliki wujud ular naga.

Kisahnya menjadi dramatis karena Garudeya dan 100 saudaranya yang berupa ular main tebak-tebakan. Taruhannya bagi yang salah menebak menjadi budak. Karena kelicikan keseratus saudaranya, Garudeya kalah. Maka ia dan ibunya harus menjadi budak Kadru dan anak anaknya.

Garudeya dan ibunya hanya bisa bebas bila mampu membawa air suci milik Dewa Wisnu. Untuk mendapatkannya Garudeya terpaksa berkelahi dengan Wisnu yang terkenal dengan kesaktiannya. Pertarungan berjalan seimbang, Lalu Wisnu menanyakan alasan Garudeya ingin memiliki air suci miliknya, yang akhirnya dijawab Garudeya demi membebaskan ibunya.

Mendengar alasan itu, Wisnu lalu meminjamkan air suci miliknya untuk dibawa Garudeya guna diperlihatkan pada saudara saudara tirinya. Namun syaratnya Garudeya harus mau menjadi tunggangannya. Garudeya pun setuju demi ibu yang dicintai dan disayanginya.

Maka setelah air suci dalam guci tersebut diperlihatkan, sang ibu yaitu Winata dapat dibebaskan dari perbudakan. Dan yang licik akhirnya dapat dikalahkan. Garudeya pun membawa ibunya pergi mencari hidup yang lebih baik.

Dari kisah Garudeya di relief Candi Kidal tersebut bisa dikenali menjadi tiga fase: Pertama, Fase Perbudakan yang digambarkan pada relief Garudeya sedang menyangga 3 ekor ular pada bahunya, di mana Kadru dan 100 anaknya melakukan siasat licik kepada Winata dan Garudeya sehingga ia harus menjadi budak Kadru dan seratus anaknya.

Fase Kedua, Fase Penebusan agar terbebas dari perbudakan. Relief itu menggambarkan Garudeya dengan kendi di atas kepalanya. Relief ini menggambarkan Garudeya yang sangat mengasihi sang ibu bertarung melawan Naga namun karena mereka sama-sama kuat maka pertarungan itu tidak kunjung usai. Sampai akhirnya Naga menyanggupi untuk membebaskan perbudakan Winata asalkan Garudeya memberikannya air suci Amerta, air yang dapat memberikan kehidupan abadi. Garudeya akhirnya mendapatkannya dari Dewa Wisnu dengan suatu syarat menjadi tunggangan Wisnu. Maka muncullah patung Garuda Wisnu Kencana. Raja Airlangga yang dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu, ia sering digambarkan menunggangi Garuda. Garudeya Wisnu Kencana inilah yang akhirnya dijadikan sebagai simbol di Kerajaan Kahuripan, kerajaan di mana Raja Airlangga memerintah. Selain itu, Garudeya sebagai kendaraan (wahana) Wisnu juga terdapat di berbagai candi-candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran.

Fase Ketiga, Fase Kemerdekaan atau fase terlepas dari perbudakan. Relief ketiga ini dipahatkan dalam bentuk Garudeya menggendong seorang wanita, yaitu ibunya “Winata” dan ini menggambarkan Fase Kemerdekaan di mana ibunya telah terbebas dari perbudakan dan sekaligus menggambarkan penghargaan kepada ibu pertiwi yang dijunjung tinggi dengan sim- bolik diletakkannya Winata di atas kepala Garudeya.

Sikap Garudeya yang gigih dan tangguh dalam memperjuangkan kebebasan sang ibunda menginspirasi Soekarno untuk menjadikan Burung Garudeya (Garuda) sebagai lambang negara agar ada semangat yang kuat untuk membebaskan ibu pertiwi dari para penjajah.

Garudeya Code dan Penjajahan Model Baru

Munculnya legenda atau narasi kisah Garudeya menyelamatkan ibunya dari perbudakan di beberapa situs candi di Nusantara menunjukkan bahwa ini adalah pelajaran yang sangat penting bagi leluhur Nusantara tentang arti kemerdekaan. Airlangga yang berhasil menghidupkan kembali trah Kerajaan Medang akibat genosida Raja Wurawari yang bersekutu dengan kerajaan seberang juga terinspirasi dengan kisah ini. Sampai ia menjadikan Garuda Wisnu Kencana sebagai simbol negaranya, Kahuripan.

Kertanegara yang menolak tunduk di bawah Kaisar Kubilai Khan juga terinspirasi dengan kisah ini. Candi Kidal yang memuat kisah Garudeya ini diduga kuat untuk pendarmaan bagi Kertanegara. Visi Kertanegara yang pernah melakukan ekspedisi Pamalayu akhirnya diwujudkan oleh menantunya Raden Wijaya dengan Kerajaan Majapahit yang pernah mempunyai wilayah kekuasaan yang luas.

Yang terakhir lahir negara Republik Indonesia dengan lambang negara Burung Garuda juga terinspirasi dari kisah Garudeya yang menyentuh lubuk hati para Bapak Pendiri Bangsa. Kisah Garudeya yang moralnya tentang kemerdekaan dan anti penjajahan nampaknya akan terus relevan untuk masa mendatang.

Penjajahan selalu bermetamorfosis dan akan selalu menemukan bentuknya yang efektif, efisien, dan tak terasa. Makna penjajahan atau imperialisme pada awalnya sebagai “an action that involves a nation extending its power by the acquisition of inhabited territory.” Yang berakar dari kata Imperium yang berarti “kuasa yang tak ada tandingannya” (supreme power).

Di era sekarang makna imperialisme, tak hanya menyangkut negara menguasai negara, tapi juga korporasi menguasai korporasi, atau korporasi menguasai individu. Esensinya tetap sama yaitu hegemoni, superioritas, dominasi, dan pemaksaan pengaruh satu pihak ke pihak lain.

Paling tidak ada 3 gelombang besar imperialisme. Pertama, Imperialisme 1.0 adalah penguasaan oleh negara-negara penjajah (imperial nations) terhadap tanah-tanah baru di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin. Ini disebut sebagai “Pirates of the Land”. Imperialisme

1.0 ditandai dengan pendudukan oleh negara-negara besar seperti Inggris, Portugis, Belanda, atau Jepang terhadap “tanah-tanah baru” di Asia, Afrika hingga Amerika Latin. Pendudukan dan penjajahan yang berlangsung sejak abad ke-16 hingga penghujung abad ke-20 ini dilakukan untuk menguasai perdagangan komoditas global dan mendapatkan bahan mentah untuk menggerakkan industri. Bentuk ini mencapai masa kejayaannya pada abad ke-18 (disebut “The Age of Imperialism”) seiring terjadinya Revolusi Industri di Eropa yang membutuhkan bahan baku dan bahan mentah untuk industri. Perusahaan multinasional pertama di dunia yaitu EIC (East India Company, 1600-1874) dan VOC adalah anak kandungnya.

Kedua, Imperialisme 2.0 adalah penguasaan oleh korporasi-korporasi digital raksasa terhadap internet yang kemudian diikuti pencaplokan terhadap perusahaan lain di seluruh dunia. Ini disebut sebagai “Pirates of the Internet”. Ditandai oleh munculnya korporasi- korporasi digital BIG Tech. Mereka menguasai “tanah- tanah digital baru” yaitu: internet. Ambisi The Big Four adalah memonopoli internet untuk dimonetisasi menjadi bisnis triliunan dolar. Hasilnya adalah disrupsi digital yang memporakporandakan bisnis konvensional. Senjata dari imperialisme bentuk ini adalah disruptive technologies dan modal tanpa batas.

Ketiga, Imperialisme 3.0 adalah penguasaan oleh negara, korporasi, atau individu terhadap seluruh umat manusia melalui penguasaan data privat yang sangat besar yang kini kita kenal dengan big data. Ini bisa disebut sebagai “Pirates of the Big Data”. Manifestasinya adalah terbentuknya apa yang disebut: “Surveillance Economy”. Bentuk yang sudah nyata adalah apa yang disebut sebagai sistem orwellian yang dikembangkan oleh Partai Komunis Tiongkok dan ambisinya untuk memimpin dunia, yang mana seperti apa yang dikatakan oleh Xi Jinping sebagai tatanan dunia baru di bawah sosialisme bercirikan Tiongkok.

Melihat metamorfosa bentuk imperialisme yang semakin halus dan tak terasa yang berbalut kemajuan teknologi, maka bisa dipastikan bahwa secara de jure Indonesia masih sebagai negara yang berdaulat, tapi penjajahan versi yang baru telah mendisrupsi kemerdekaan secara de jure seakan tak bermakna.

Bagaimana kisah Garudeya bisa menginspirasi kita untuk terlepas dari penjajahan dalam bentuknya yang terkini? 

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan, Pertama, membangun kesadaran bagi seluruh anak bangsa bahwa penjajahan tak pernah lenyap di muka bumi, dan penjajahan bentuk lain telah menguasai. 

Kedua, penjajahan model baru sasarannya adalah kedaulatan pikiran itu sendiri. Melalui kendali atas pikiran ini, bangsa ini secara tak sadar menjauh dari prinsip, budaya, dan tradisi bangsa sendiri. Pada titik ini penjajahan pikiran selalu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dangkal, hedonis, dan meterialistis yang bersifat masif, sehingga orang gampang diombang-ambingkan mengikuti tren dan viralitas.

 Ketiga, kisah Garudeya menginspirasi untuk mendapatkan Air Amerta agar lepas dari penjajahan. Pada titik ini, Air Amerta bisa diartikan sebagai kebijaksanaan murni milik Sang Pencipta yang tak akan diperoleh kecuali dengan menjadi tunggangan Sang Pencipta. Sebagaimana Garudeya memperoleh Air Amerta dengan syarat menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Pesan moralnya adalah Air Amerta yang membebaskan dari penjajahan bisa diperoleh hanya jika bangsa ini kembali berkomitmen untuk mewujudkan misi-misi ketuhanan, kebenaran, kebaik- an, dan kesabaran. (et)