Ekonomi Biden vs Ekonomi “Pandemi” Xi Membuat Dunia Tercengang

He Qinglian

Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok masing-masing adalah bos tertua dan bos kedua perekonomian dunia. Total PDB (Pendapatan Domestik Bruto) dunia 2021 adalah sekitar USD 95 triliun, dengan PDB AS sebesar USD 23 triliun, atau sekitar 21,7% dari total PDB dunia; sedangkan Tiongkok sebesar USD 17,7 triliun, atau sekitar 18%; total PDB kedua negara mencapai 2/5 dari seluruh perekonomian dunia. 

Oleh sebab itu pula, perekonomian AS dan Tiongkok tahun ini mengalami “stagflasi” dan “semi- stagflasi”, pasti akan berdampak pada dunia. 

Yang dimaksud dengan “stagflasi ekonomi” adalah perlambatan ekonomi ditambah dengan kenaikan inflasi yang tinggi, dan munculnya pengangguran yang tinggi secara bersamaan, produksi menurun.  

Bahkan muncul gelombang kebangkrutan. Bagi orang Amerika, “stagflasi” adalah kejadian pada 1969; yang terjadi pada Tiongkok adalah semi-stagflasi, kondisi ini juga pernah terjadi sebelumnya. Oleh sebab itu daya tahan rakyat Tiongkok lebih kuat bila dibandingkan dengan orang Amerika yang telah terbiasa hidup nyaman.

Stagflasi Ekonomi AS: Akibat Dari “Ilmu Ekonomi Biden”

Kita analisa lebih dulu bos tertua yakni Amerika Serikat. Pemerintah Biden begitu mulai berkuasa langsung menempatkan Tiongkok sebagai pesaing utamanya, serangkaian rencana belanja publik yang sangat besar pun digelontorkan, skalanya mencapai USD 6 triliun, atau sekitar 30% PDB Amerika. Di antaranya meniru cara Tiongkok pada awal Reformasi Keterbukaan dulu yakni membangun infrastruktur berskala besar untuk menstimulus ekonomi, selain itu pada urutan kedua mengembangkan sumber energi hijau dan memberikan kesejahteraan, kemudian serangkaian kebijakan tersebut oleh media massa AS digelari “ilmu ekonomi Biden”. 

Walaupun rencana tersebut belum resmi berjalan, tapi anggaran untuk kesejahteraan dan semacamnya telah menyebabkan utang publik AS dalam setahun melonjak USD 10 triliun. Pada 10 Februari lalu, Kemenaker AS mengumumkan, inflasi AS mencapai 7,9%, memecahkan rekor tertinggi sejak empat dasawarsa terakhir. Waktu itu belum terjadi perang Rusia-Ukraina, media massa sayap kiri AS pun hanya bisa ikut menggerutu, dan mengakui bahwa “ilmu ekonomi Biden” telah memicu inflasi tinggi. Perang Rusia-Ukraina dimulai pada 24 Februari lalu, pada Maret inflasi AS pun langsung melonjak menjadi 8,5%, kembali memecahkan rekor tertinggi dalam 40 tahun terakhir. 

Juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki dalam pidato 10 Maret langsung melimpahkan inflasi tersebut sebagai kesalahan akibat perang Rusia- Ukraina, dengan mengatakan “diperkirakan kenaikan harga BBM dan energi yang diakibatkan invasi Rusia ke Ukraina bersifat sementara”.

Yang membuat pemerintah Biden semakin dipermalukan adalah perekonomian AS memasuki pertumbuhan negatif: Pada 28 April lalu, Kemendag AS mengumumkan, rasio konversi tahunan kuartal pertama 2022, PDB Amerika turun 1,4%, yang secara drastis memutar balik kondisi pertumbuhan kuartal keempat 2021 sebesar 6,9%. Perekonomian AS menyusut untuk pertama kalinya sejak merebaknya pandemi.

Data di atas menjelaskan, perekonomian AS telah memasuki masa “stagflasi”. Penyebab stagflasi sangat jelas yakni: Sejak 2020, kebijakan AS menstimulus perekonomian dengan mencetak uang dalam jumlah besar, dengan harapan uang yang dicetak dalam jumlah besar itu dapat secara langsung memberikan kesejahteraan bagi warganya, dan membuat belanja pemerintahan menjadi besar, agar dapat merangsang pertumbuhan ekonomi. 

Di satu sisi warga “telah kecanduan dengan uang yang jatuh dari langit” itu, tidak mau lagi bekerja keras; di sisi lain utang negara telah menumpuk tinggi serta mengedarkan uang dalam jumlah besar, dan menyebabkan hingga 7 Mei 2022 lalu, utang negara AS telah menumpuk menjadi USD 30,43 triliun. 

Walaupun teori moneter modern yang telah dicintai sejak pemerintahan Obama AS menyatakan bisa mencetak uang tanpa batas, tapi kenyataan telah memberitahu dunia: Berharap pada mencetak uang untuk melajukan pertumbuhan ekonomi pada dasarnya adalah bertentangan dengan akal sehat, dan tidak mungkin akan berhasil, jika tidak maka Zimbabwe tidak akan tersiksa bertahun-tahun akibat inflasi yang begitu buruk.

Dolar AS sebagai mata uang internasional, dapat mengalihkan sebagian risikonya ke luar negeri, namun tingkat pengalihannya juga terbatas. Hingga awal November 2021, dampak dari peredaran uang AS yang berlebihan sudah mulai terlihat—pertumbuhan ekonomi tidak hanya merosot drastis, inflasi juga terus melonjak naik. 

Harga properti di AS ikut melambung tinggi, indeks harga rumah versi S&P CoreLogic Case-Shiller US National Home Price Index merilis data, pada Januari tahun ini, harga properti AS telah melonjak 19,1% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kalau sudah begini, bagaimana baru dapat menekan inflasi? Dalam pidato pada Januari lalu Direktur IMF menyebutkan, gerakan nol pandemi di Tiongkok telah memengaruhi rantai pasokan seluruh dunia, menyebabkan perekonomian banyak negara stagnan dan terjadi inflasi. Tiongkok seharusnya mempertimbangkan kembali kebijakan “nol pandemi”, dengan perannya sebagai negara pemasok utama berbagai komoditas, pembatasan-pembatasan tersebut sekarang telah terbukti menyebabkan beban ekonomi bagi Tiongkok maupun bagi seluruh dunia. 

Namun pihak Beijing bersikeras di negerinya harus nol pandemi. Boleh disebut sebagai ilmu ekonomi “pandemi” Xi Jinping, yang telah membuat perusahaan tiarap.

Di Tiongkok Telah Muncul Semi-Stagflasi

Sejak 2021 lalu, Tiongkok telah mengalami situasi “semi- stagflasi”. Apa yang dimaksud dengan semi-stagflasi? Berdasarkan penjelasan dari wadah pemikir Beijing yang menciptakan istilah ini, “semi-stagflasi” maksudnya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi, tapi tetap mengalami pertumbuhan positif yang agak tinggi, ada inflasi tapi tidak terlalu parah, dan berada dalam level yang terkendali. 

Penjelasan ini pada dasarnya sesuai dengan kondisi ekonomi Tiongkok.  Tapi pada 2022 investasi properti Tiongkok merosot, ekspornya semakin melambat, karena penguasa Tiongkok bersikeras nol pandemi, dan menyebabkan aktivitas ekonomi di Shanghai sebagai kawasan perekonomian yang paling penting menjadi nyaris berhenti total. Tapi tekanan inflasi akibat konflik Rusia-Ukraina belum terlihat berdampak pada angka inflasi Tiongkok pada Februari. 

Indeks harga konsumen (CPI) pada periode yang sama stabil, indeks harga produsen (PPI) sedang menurun. Tapi, kenaikan harga komoditas dan minyak mentah dunia yang diakibatkan situasi Rusia dan Ukraina yang berkepanjangan, diperkirakan Tiongkok akan sulit menghindar dari risiko inflasi. Singkatnya, pasca dimulainya perang Rusia-Ukraina, sejak Maret lalu inflasi seluruh dunia menanjak, Tiongkok pun sulit menyelamatkan diri.

Pada saat ini Beijing justru memilih semacam metode yang sulit dimengerti oleh kalangan luar yakni, lewat gerakan nol pandemi membuat perekonomian Tiongkok tiarap. Selama 60 hari lebih lockdown Shanghai, tekanan yang dirasakan warga telah mencapai ambang batas, sekarang ruang lingkup lockdown bahkan diperluas hingga ke beberapa kota besar di seluruh Tiongkok, kecaman dan protes warga telah memenuhi media sosial, dampaknya terhadap perekonomian Tiongkok juga sangat serius. 

Nomura Securities telah memperingatkan, risiko merosotnya ekonomi Tiongkok sedang meningkat. Laporan memperkirakan, saat ini pada 45 kota di Tiongkok terdapat sekitar 373 juta jiwa warganya sepenuhnya berada dalam pengawasan penuh atau pengawasan terbatas, dan ini mencakup 40% dari total PDB Tiongkok. 

Dosen ilmu ekonomi Chinese University of Hong Kong yakni Prof. Michael Song Zheng,  jika perubahan pendapatan setiap kota diperhitungkan dari arus mobilitas truk antar kota yang diperbaharui tiap bulan, kesimpulan risetnya adalah, dalam kondisi ekstrem, jika sepersepuluh saja kota di Tiongkok diberlakukan lockdown selama dua minggu, maka Tiongkok akan kehilangan 3,1% PDB.

AS dan Tiongkok  Demam, Seluruh Dunia Akan Bersin

AS mengalami stagflasi, Tiongkok mengalami semi-stagflasi ditambah lagi gerakan nol pandemi yang mengakibatkan mandegnya perekonomian, dampaknya akan sangat besar terhadap dunia. Hal ini berkaitan erat dengan status ekonomi kedua negara tersebut.

Total PDB Amerika, telah melebihi jumlah PDB negara pada urutan keempat hingga kesepuluh. Yang lebih parah lagi adalah, AS merupakan negara konsumen terbesar di dunia, beberapa tahun terakhir, setiap tahunnya AS telah memberikan defisit perdagangan hingga mencapai ratusan miliar dolar kepada dunia. 

Pada 2021 defisit perdagangan AS untuk pertama kalinya melampaui 1,0784 triliun USD atau sekitar 5% dari total PDB dalam negerinya. Tidak sedikit negara lain yang perekonomiannya ditopang oleh ekspor produk komoditasnya ke AS.

Jumlah penduduk AS mencapai 5% dari total populasi dunia, tapi konsumsi energinya menghabiskan 24% dari total seluruh dunia, hampir setara dengan rasio PDB Amerika dibandingkan PDB dunia. 

Perekonomian AS adalah tipikal ekonomi hampa, yakni tidak memproduksi mayoritas produk konsumtif- nya, dan terutama mengandalkan impor; PDB-nya terbentuk dari: Industri sekitar 12%, layanan 80%, selebihnya adalah pertanian dan industri lain. Dengan kata lain, sektor layanan di AS sangat maju.

Khususnya di bidang finansial dan informasi, seperti pusat finansial di New York, Wall Street dan internet serta GPS. Selain itu industri yang mencakup 12% dari PDB, mayoritasnya adalah industri militer dan industri teknologi tinggi, di antaranya tidak sedikit yang dibatasi ekspornya oleh pemerintah AS. 

Jadi ekspor AS pada dasarnya adalah produk pertanian, seperti kedelai, gandum, dan jagung. Mobil AS tidak banyak diekspor, tidak mampu bersaing dengan ekspor otomotif Jerman dan Jepang karena teknologi dan modelnya tidak bisa menandingi kedua negara itu, sehingga jumlah ekspornya sangat sedikit.

Sebuah negara yang hampa sektor industrinya, bagaimana bisa menjadi negara yang terkuat dan negara konsumsi tertinggi di dunia? Hal ini dikarenakan dua hal: 

Pertama, pasca PD-II sistem Bretton Woods telah membangun supremasi mata uang dolar AS. Setelah sistem Bretton Woods jatuh pada 1971, dolar AS dikaitkan dengan harga emas, pada 1973 AS menandatangani kesepakatan yang “kokoh tak tergoyahkan” dengan organisasi OPEC pimpinan Arab Saudi: Dolar AS dikaitkan dengan harga minyak bumi, dan disebut dengan istilah “Petro Dollar”, ditambah lagi dolar AS memiliki posisi mata uang dunia, sehingga terbentuklah supremasi dolar AS secara resmi. 

Kedua, teknologi yang maju, yang menduduki posisi tinggi dalam ekonomi pasar. Menurut data “Intellectual Property and US Economy (3rd edition)” yang dirilis Maret lalu oleh Kantor Paten dan Merek Dagang AS (USPTO), aktivitas kekayaan intelektual AS pada 2019 mencapai 41% dari total aktivitas ekonomi dalam negeri AS, dan telah menciptakan 63 juta lowongan kerja, atau sekitar 44% dari keseluruhan lapangan kerja di AS.

Setelah terbentuknya supremasi dolar AS, maka AS dapat menerbitkan surat hutang negara meningkatkan “kekayaan” pemerintahan negaranya, dengan cara mencetak uang dolar AS dan mengendalikan nilai tukar (menguat atau melemah) (acap kali dituduh “merampas kekayaan negara lain” oleh pengkritiknya). 

Industri manufaktur AS selain membutuhkan modal, juga menyebabkan masalah lingkungan hidup, dalam proses globalisasi, karena pertimbangan lahan, tenaga kerja, pajak dan lain sebagainya, industri ini pun hengkang ke negara lain yang lebih murah biayanya. 

Lalu bagaimana dengan produk konsumtif yang dibutuhkan oleh warga AS? Impor, jadi perekonomian AS pun membentuk defisit perdagangan yang begitu besar.

Laju pertumbuhan ekonomi AS sekarang ini adalah -1,4%, hal ini pasti berdampak pada daya beli warga AS, yang lebih lanjut akan berdampak pada perekonomian dunia. Baik AS maupun Tiongkok selama hampir 20 tahun terakhir telah terbentuk saling ketergantungan secara ekonomi, dalam waktu dekat kedua negara ini tidak akan dapat saling melepaskan keterikatan tersebut.

 Dengan semakin memburuknya hubungan kedua negara, ekspor Tiongkok terhadap AS pada 2021 naik 27,5%, pada 2021 surplus dagang Tiongkok mencapai USD 676,4 miliar, di antaranya surplus dagang Tiongkok terhadap AS mencapai USD 396,58 miliar.

Selain merupakan negara pengimpor sumber energi terbesar di dunia, Tiongkok juga merupakan negara pengekspor produk harga murah terbesar dunia. Besarnya kebutuhan Tiongkok akan sumber energi, bahkan membuat Tiongkok merasa memiliki otoritas untuk menentukan harga (pemikiran yang mirip dengan Uni Eropa ketika memberi sanksi terhadap Rusia). 

Sekarang Tiongkok tiarap akibat gerakan nol pandemi, media massa telah mempublikasikan tidak sedikit artikel yang mengkritik cara seperti ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian dunia, surat kabar New York Times pada 5 Mei lalu merilis artikel yang menyebutkan “The Era of Cheap and Plenty May Be Ending” (Era Barang Murah dan Melimpah Mungkin Telah Berakhir).

Total volume ekonomi Amerika Serikat dan Tiongkok menyumbang sekitar 40% dari total dunia, kini ilmu ekonomi Biden dan ilmu Tiarap Nol Xi Jinping telah muncul bersama, dan dampaknya terhadap ekonomi berbagai negara di dunia terlihat dengan jelas.

Kali ini berbeda dengan Krisis Keuangan AS pada 2008, ketika itu ekonomi Tiongkok tengah bertumbuh dengan pesat, dunia menganggap Tiongkok sebagai Bahtera Nuh dalam menyelamatkan ekonomi dunia.

Wen Jiabao, perdana menteri  saat itu juga terhitung telah memenuhi harapan dunia, ia menginvestasikan 5 triliun USD untuk menyelamatkan pasar, pemerintah daerah juga meminjam dan menginvestasikan 20 triliun USD dana pendamping. Dana-dana tersebut telah mengalir ke pasar properti, dan telah mempertahankan kebutuhan permintaan yang kuat untuk lusinan material bangunan seperti sumber energi, baja, kaca, komposit aluminium. Negara-negara pengekspor sumber daya dunia dan produk industri barulah dianggap telah menstabilkan ekonomi, satu tahun kemudian barulah Amerika Serikat memperoleh pijakan, dan ekonomi dunia terus mempertahankan pertumbuhannya.

Ilmu Ekonomi Biden ditakdirkan menjerumuskan ekonomi AS ke dalam stagflasi, sedangkan ilmu Ekonomi Perang Epidemi Xi Jinping telah meniarapkan ekonomi Tiongkok.

Sekarang ini dunia agak tercengang, tetapi tidak dapat berbalik untuk sementara waktu, semuanya beranggapan bahwa setelah perang Rusia- Ukraina berakhir, dunia masih dapat kembali ke kondisi indah dan tenang seperti dahulu kala.

Sesungguhnya justru di dalam dua tahun terakhir ini, ekonomi dan politik Amerika Serikat telah melewati beraneka ragam kesulitan.  Jika tidak menyadari hal ini, tentu tidak akan mampu menilai situasi internasional secara akurat. (sud)