Kenapa Rapat Rahasia Beijing dalam Menangkal Sanksi AS Tidak Bisa Melakukan Apa Pun?

Dr. Xie Tian

Para pejabat tinggi PKT (Partai Komunis Tiongkok) baru-baru ini menggelar rapat terbuka maupun rahasia, bahkan dalam sehari bisa digelar sampai empat kali rapat, topiknya adalah terkait kemerosotan ekonomi dan counter menghadapi sanksi dari Amerika Serikat. 

Tetapi dari rapat terakhir yang berkaitan dengan bagaimana menangkal kemungkinan sanksi finansial dari AS, berita menyebutkan, tidak seorang pun mampu mengajukan usulan penyelesaian serta cara penerapannya. 

Dengan kata lain, dalam menghadapi sanksi dari AS yang mungkin akan segera tiba, Beijing sama sekali tidak berdaya, dan sudah sepenuhnya kehabisan akal.

Di saat yang sama, gerbang negara Tiongkok sepertinya secara perlahan sedang ditutup, tidak lagi terbuka bagi dunia Barat. Setelah empat dasawarsa lebih menerapkan “reformasi keterbukaan”, apakah Beijing akan mengakhirinya begitu saja? 

Selain menutup gerbang negara, politik tegangan tinggi PKT juga secara bertahap tengah membabat habis perusahaan bisnis, perusahaan swasta, dan perusahaan internet hi-tech. 

Kongres AS telah mengeluarkan Axis Act, sasarannya adalah poros kejahatan PKT, “swasembada” yang ditekankan oleh pemimpin PKT Xi Jinping, seharusnya merupakan tindakan terpaksa, juga merupakan aksi penyelamatan diri dengan memutus anggota badan. 

Dunia menghadapi Beijing yang telah menampakkan titik kelemahannya, ketergantungan sangat tinggi Tiongkok terhadap mata uang dolar AS dan teknologi Barat, telah menakdirkan Beijing pada saat menghadapi sanksi, mau tidak mau harus tunduk, dan tidak berkutik.

Berdasarkan informasi dari Tiongkok, Beijing sedang menerapkan “Program Aliansi Encore”. 

Penguasa meminta pemerintah, BUMN, dan unit usaha semuanya harus menyerahkan komputer yang dimilikinya, lalu semuanya diganti dengan komputer dan sistem buatan lokal, alasan yang dikemukakan mereka adalah “mencegah kekuatan asing mencuri data milik Tiongkok”. Akan tetapi, alasan riil yang sebenarnya adalah, untuk mengantisipasi kemungkinan sanksi AS dalam hal piranti lunak dan piranti keras komputer. 

Yang disebut program aliansi encore adalah singkatan dari “aliansi teknologi dan industri yang aman serta dapat diandalkan”, wujud awalnya adalah “Panitia Kerja Inovasi Penerapan Teknologi dan Informasi”, yang pertama kali dibentuk pada 2016. 

Aliansi Encore dipandang sebagai pasar besar berskala triliunan dolar, menyangkut rantai industri yang sangat besar. Aliansi Encore betul-betul sedang mewujudkan sasaran “lokalisasi bersifat independen dan dapat dikontrol”, yang juga berarti sudah waktunya industri informasi Tiongkok mulai tertinggal dari dunia secara menyeluruh.

Beberapa rapat mendadak PKT untuk menghadapi sanksi AS ini, seharusnya erat kaitannya dengan situasi di Ukraina dan juga di Selat Taiwan. 

Di tengah tegangnya Perang Rusia-Ukraina, sanksi Eropa dan AS terhadap finansial maupun perdagangan Rusia, metode sanksi yang beraneka ragam serta negara, perusahaan, dan bidang usaha yang terlibat dalam sanksi tersebut, sangat variatif, dan membuat Beijing kebingungan.

 Ambisi PKT terhadap Taiwan belum mati, di satu sisi mungkin semakin memperbesar keyakinan dirinya karena melihat baik Eropa maupun AS hanya memasok senjata bagi Ukraina dan sama sekali tidak mengirim satu pun prajurit, karena kemungkinan besar AS pun tidak akan mengirim pasukan ke Selat Taiwan, melainkan hanya membantu dengan memasok senjata pertahanan. 

Namun begitu, AS dan Eropa memberlakukan sanksi terhadap Tiongkok bila menginvasi Taiwan, maka metode dan kekuatan sanksi tersebut, akan berdampak teramat besar terhadap perekonomian Tiongkok, yang akan membuat sanksi kepada Rusia saat ini nampak sangat kecil.

Dalam hal langkah antisipasi dari Beijing dalam menghadapi hal itu, dikabarkan seorang tokoh finansial yang hadir telah mengemukakan tiga kemungkinan. Skema pertama adalah meminta seluruh eksportir agar menukarkan pendapatan devisa asingnya dengan mata uang RMB, agar dapat meningkatkan kepemilikan USD onshore. 

Skema ini sama sekali bukan hal baru lagi, karena hingga kini Tiongkok telah mengharuskan segala pendapatan devisa asing dari ekspor, diwajibkan untuk ditukarkan menjadi RMB, sehingga devisa asing dikuasai oleh bank sentral Tiongkok, atau disebut dengan istilah onshore dollar holdings. 

Setelah sanksi AS dan Eropa dimulai, perdagangan diputus, aliran masuk devisa asing pun terputus, penukaran paksa devisa asing yang diberlakukan Beijing pun akan ikut tamat riwayatnya.

Skema kedua adalah “mengurangi secara drastis kuota penukaran devisa asing warga Tiongkok yang tadinya adalah sebesar USD 50.000 setiap tahun”, tindakan ini juga sebenarnya telah diberlakukan Beijing sebelumnya, berbagai alasan telah dikemukakan agar rakyat Tiongkok tidak menukarkan USD, tidak membiarkan warga Tiongkok membeli asuransi untuk studi ke luar negeri, karena ini akan menguras banyak devisa asing yang dipegang Tiongkok. 

Semua tindakan pengurangan arus mengalirnya devisa asing cukup berguna, tapi tidak ada gunanya dalam menghadapi sanksi AS, karena berikutnya penulis akan menganalisa, semua devisa asing itu bukan berupa uang tunai, melainkan aliran dana elektronik di antara perbankan, perusahaan kartu kredit dan lembaga pembayaran di Tiongkok. 

Begitu sanksi AS dan Eropa dimulai, dan penggunaan SWIFT oleh otoritas Tiongkok diputus, maka semua pembayaran devisa asing tersebut akan dibatalkan. 

Sebenarnya, yang harus dilakukan Beijing bukan hanya tidak mengurangi kuota penukaran devisa asing USD 50.000 setiap tahun itu, justru sebaliknya harus dinaikkan, agar kekayaan pribadi rakyat Tiongkok dapat meninggalkan Tiongkok, dan tiba di luar negeri, dengan demikian ketika sanksi dimulai, setidaknya warga Tiongkok masih memiliki kemampuan menguasai kekayaannya sendiri di luar negeri. 

Tapi PKT tidak akan melakukan hal itu, karena mereka tidak akan menginginkan warganya menjadi kaya, juga tidak akan membiarkan kekayaan itu terlepas dari kendali mereka.

Skema ketiga adalah, ada sejumlah pejabat PKT bertanya, apakah boleh diversifikasi investasi dengan berinvestasi lebih banyak pada aset bermata uang yen Jepang atau euro. 

Skema ini langsung ditolak oleh perwakilan perbankan, dengan menyatakan bahwa cara seperti ini tidak realistis. Memang betul-betul tidak realistis. Karena sanksi dari AS, Eropa, dan Jepang, pasti akan bersatu, ketiganya adalah sistem uni moneter yang telah bersama-sama melalui sistem Bretton Woods, dolar AS, euro, dan yen Jepang bisa ditukarkan secara bebas, sanksi dolar AS juga akan disertai dengan sanksi euro dan yen Jepang, jenis mata uang dalam sistem SWIFT juga akan menutup pintunya bagi Tiongkok.

Sanksi SWIFT yang dikeluarkan Barat terhadap Rusia, hanya membekukan belanja Rusia sebesar USD 300 miliar yang ditempatkan di luar negeri, dan membatasi penggunaan SWIFT oleh Rusia. 

Tapi serangan balasan Putin sangat efektif, tiga hantaman kapaknya mulai dari menuntut harus menggunakan rubel untuk membayar utang luar negeri, memaksa UE membayar pembelian minyak dan gas alam dengan rubel, sampai mengaitkan nilai tukar rubel dengan harga emas, telah secara efektif menahan sanksi AS, dan membuat nilai tukar rubel naik ke level sebelum perang, bahkan di atas level sebelum perang. 

Dengan kata lain, perang finansial AS dan Eropa terhadap Rusia, pada dasarnya telah gagal total. Penyebab kegagalan itu juga sangat sederhana, karena Rusia memiliki pasokan energi yang murah serta mudah untuk bisa menekan Eropa, jika dibandingkan, Tiongkok sama sekali tidak memiliki keunggulan ini, dan tidak mempunyai senjata pamungkas seperti ini, juga tidak mempunyai keberanian melakukan sanksi balasan. Karena walaupun Beijing memiliki cadangan devisa enam kali lipat lebih besar daripada Rusia, tapi 95% cadangan devisa yang mereka miliki tersebut, semuanya berada di bawah ancaman sanksi Amerika.

Asalkan pembaca meneliti “Template Data Cadangan dan Likuiditas Devisa Asing” (hingga 31 Maret 2022) yang dilansir oleh Administrasi Devisa Asing Negara Bank Sentral Tiongkok, yakni laporan kuartal pertama tahun ini, maka akan dapat dilihat faktanya. 

Walaupun Beijing memanipulasi hampir semua data ekonominya, namun untuk angka yang satu ini kecil kemungkinannya untuk dimanipulasi, karena menyangkut data yang ada di Dana Moneter Internasional (IMF), Bank of International Settlements (BIS) dan juga The Fed AS, pembaca dapat dengan mudah mencocokkannya (check dan cross check), akan dengan mudah ketahuan bila Tiongkok memanipulasinya. 

Dari “Template Data Cadangan dan Likuiditas Devisa Asing” dari Beijing itu dapat dilihat, hingga kuartal pertama tahun ini, cadangan aset dan aset devisa asing lainnya yang dimiliki Tiongkok, termasuk cadangan devisa yang dapat dikonversikan dengan devisa asing, cadangan devisa (RPF) yang dimiliki di IMF, hak penarikan khusus (SDR) di IMF, emas, dan aset cadangan lainnya seperti produk derivatif keuangan.

Cadangan aset dan aset devisa asing lain yang dimiliki pemerintah Tiongkok  memiliki nilai pasar sebesar USD 3.373.159 triliun, diantaranya termasuk cadangan devisa yang dapat dikonversikan sebesar USD 3.187.994 triliun, dan sebesar USD 3,185597 triliun di antaranya adalah berupa berbagai jenis surat berharga. 

Devisa yang dapat dikonversikan di antara cadangan devisa itu, selain surat berharga, ada pula mata uang dan tabungan yang disimpan di berbagai bank sentral negara lain, di BIS, dan juga di IMF, total nilainya adalah USD 2,397 miliar. 

Cadangan devisa (RPF) milik Tiongkok yang ada di IMF adalah sebesar USD 10,471 miliar. Hak penarikan khusus (SDR) Tiongkok di IMF adalah sebesar USD 53,16 miliar. 

Emas milik Tiongkok, termasuk deposit emas dan Gold Swap, senilai USD 121,663 miliar. Total bobot emas tersebut, adalah 62,64 juta ons, atau sekitar 1.937 ton. 

Administrasi Devisa Asing Negara Bank Sentral Tiongkok mungkin bisa dijadikan semacam kelinci percobaan, mencoba sejumlah produk derivatif keuangan, jumlahnya sangat sedikit, hanya sekitar USD 130 juta.

Dengan kata lain, dari aset devisa yang dimiliki Beijing sebesar USD 3,37 triliun tersebut, sebesar USD 3,188 di antaranya adalah cadangan devisa asing, dan USD 3,185 triliun dari cadangan devisa itu, adalah berupa surat berharga berbagai negara Barat (termasuk surat utang AS sebesar USD 1 triliun). 

Dengan kata lain, 94,44% cadangan devisa asing yang dimiliki Tiongkok adalah berupa surat berharga, sedangkan uang tunai yang dimiliki hanya 5,56% (atau sekitar USD 2,40 miliar) saja. 

Bank sentral Tiongkok (People’s Bank of China) dan bank devisa asing profesional (Bank of China) mungkin mempunyai sebagian uang tunai devisa asing, Beijing juga menyimpan sebagian besar emasnya. Tapi semua surat berharga negara asing yang dimiliki PKT, dan semua simpanannya di bank sentral negara lain, simpanannya di BIS, RPF, dan SDR di IMF, simpanan emas di brankas bawah tanah The Fed, semuanya menjadi sasaran sanksi AS, yang dapat dibekukan atau disita oleh pemerintah AS.

Cadangan emas Tiongkok, mayoritas akan disimpan di wilayah Tiongkok, tapi pasti ada sebagian emas, mungkin puluhan atau ratusan ton, yang disimpan di brankas bawah tanah The Fed yang berada di New York, karena ini merupakan cara yang paling mudah dan paling aman untuk menggunakan emas melakukan pembayaran kepada negara lain. 

Tapi, begitu sanksi diberlakukan, berarti bank sentral Tiongkok tidak akan dapat menggunakan emas di New York dalam melakukan pembayaran. Bahkan juga tidak dapat menggunakan emas yang ada di Tiongkok untuk melakukan pembayaran, karena bank sentral negara lain juga tidak akan menerima pembayaran dengan emas dalam jumlah besar, karena ini juga merupakan bagian dari sanksi.

Oleh sebab itu, ketika PKT dalam menghadapi sanksi dari AS yang sudah di depan mata, pejabat Tiongkok akan kehilangan akal, tidak berdaya melakukan apa pun; skema untuk membalas sanksi moneter, juga tidak memenuhi semua prasyarat yang harus dimiliki, sehingga percuma saja. (sud)