Perang Rusia-Ukraina Dorong Dua Perubahan Geopolitik Eropa

Zhang Ting

Ketika Presiden Rusia Putin pada 24 Februari lalu memerintahkan pasukannya menyerang Ukraina, salah satu tujuannya adalah untuk mencegah pasukan NATO berekspansi ke timur, dan menempatkan negara tetangganya Ukraina di luar pengaruh negara Barat. Namun perang ini justru telah menimbulkan efek yang sebaliknya dari yang diharapkan Putin, dan mungkin akan mendorong terjadinya dua perubahan geopolitik di Eropa. 

Perang ini mendorong Uni Eropa semakin mendukung Ukraina menjadi anggotanya, serta membuat Finlandia dan Swedia yang tadinya bersikap netral menjadi ingin bergabung dengan NATO.

Perubahan Geopolitik Pertama: Uni Eropa Kemungkinan Terima Ukraina Sebagai Negara Kandidat Uni Eropa

Invasi Rusia terhadap Ukraina telah mendorong Ukraina menginisiasi Prosedur untuk bergabung dengan Uni Eropa. 

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen pada Jumat (17/6) lalu saat mengumumkan akan merekomendasikan Ukraina dan negara tetangganya Moldova, menjadi negara  kandidat Uni Eropa: “Warga Ukraina telah mempersiapkan diri untuk berkorban demi masa depan Eropa.”

“Semoga kita dapat mewujudkan impian Eropa bersama mereka.” Dia mengatakan, sekaligus menegaskan bahwa Ukraina telah memperlihatkan “antusiasme dan tekad untuk mewujudkan nilai dan tolok ukur Eropa”.

Dia juga mengatakan, Ukraina telah melakukannya dengan baik, tapi masih ada banyak hal yang perlu dilakukan. Ukraina harus melakukan sejumlah reformasi penting, termasuk supremasi hukum, masalah oligarki, HAM, serta pemberantasan korupsi, dan lain sebagainya.

Selain mendapat rekomendasi dari von der Leyen, juga membutuhkan dukungan dari 27 negara anggota  UE untuk dapat   menjadi  negara kandidat Uni Eropa. Saat ini Prancis, Jerman, Italia, dan Rumania telah menyatakan sikap mendukung permohonan Ukraina untuk menjadi anggota Uni Eropa (UE). 

Pada konferensi tingkat tinggi  berikutnya,  pemimpin UE akan membahas status pencalonan Ukraina sesuai dengan rekomendasi von der  Leyen pada Jumat 17 Juni lalu. 

Status negara kandidat adalah langkah yang sangat penting untuk bergabung dengan Uni Eropa, akan tetapi keseluruhan proses ini  masih  membutuhkan  waktu beberapa tahun.

Walaupun demikian, sebelum invasi Rusia, bagi Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa adalah suatu harapan yang tak terjangkau. 

Sejak aksi unjuk rasa di Kiev 2014 berhasil menggulingkan presiden yang pro-Rusia, Ukraina terus berupaya menjadi kandidat UE, ini akan menjadi tonggak bersejarah bagi Ukraina dari sebuah negara bekas Uni Soviet melangkah menuju kelompok negara perdagangan terbesar di dunia. 

Presiden Ukraina pada Jumat 17 Juni lalu mengunggah cuitan, ini adalah langkah pertama bergabung dengan Uni Eropa, dan ini akan membuat kami “semakin dekat dengan kemenangan”. 

Walaupun Presiden Putin menyatakan, Rusia tidak akan menentang Ukraina bergabung dengan UE, namun juru bicara Istana Kremlin, Dmitry Peskov malah menyatakan, perkembangan terkait “akan terus kami soroti, karena kami mengetahui Eropa sedang membahas bagaimana memperkuat pertahanan keamanan Uni Eropa”.

Perubahan Geopolitik Kedua: Swedia dan Finlandia Tinggalkan Kebijakan Militer Non-Blok Puluhan Tahun dan Ajukan Permohonan Bergabung NATO

Finlandia dan Swedia yang selama ini bersikap netral telah memutuskan untuk meninggalkan kebijakan non-blok militer selama ini, dan berniat bergabung dalam perlindungan keamanan NATO, ini merupakan dampak strategis terbesar yang ditimbulkan akibat invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. 

Beberapa bulan lalu bergabung dengan NATO adalah suatu prospek yang masih sangat jauh bagi kedua negara tersebut, tapi begitu Rusia menyerang Ukraina, warga kedua negara mendukung penuh negaranya untuk bergabung dalam aliansi militer.

Kantor berita AP mengatakan, seiring dengan kedua negara Eropa Utara ini mengajukan permohonan untuk bergabung dengan NATO, daftar negara netral atau non-blok secara militer di Eropa pun mulai berkurang. 

Sekjen NATO, Jens Stoltenberg dan beberapa negara anggota utama menyambut baik bergabungnya kedua negara Eropa itu. Hanya Turki yang menentang, dengan alasan Finlandia dan Swedia mendukung kelompok militan Kurdistan yakni Partai Pekerja Kurdistan (PKK), ini “tidak bisa diterima dan bikin marah”.

Pada 14 Juni lalu, Sekjen NATO, Stoltenberg menyatakan, setelah Rusia menyerang Ukraina, NATO harus membangun “kondisi siaga yang lebih tinggi” di perbatasan timurnya, dan meningkatkan kemampuan persenjataannya.

Stoltenberg juga menyatakan, dia sedang mencari “metode melangkah maju terpadu” untuk menyelesaikan keberatan di pihak Turki. Setelah perang Rusia-Ukraina dimulai, NATO telah memperkuat eksistensinya di Laut Baltik. Stoltenberg menyatakan, ketika 30 negara anggota menghadiri rapat di Madrid, Spanyol, pada 29 hingga 30 Juni mendatang, NATO akan semakin memperkuat aliansi ini.

Dalam kunjungannya ke Swedia pada 13 Juni lalu, Stoltenberg mengatakan bahwa pihak Swedia telah mengambil kebijakan penting untuk memenuhi tuntutan Turki agar mau mengizinkan permohonan Swedia menjadi negara anggota NATO. 

Dalam konferensi pers yang diadakannya bersama dengan PM Swedia Magdalena Andersson, Stoltenberg mengatakan, “Kami menyambut baik Swedia telah mulai mengubah UU anti-terorismenya, Swedia akan menjamin kerangka hukumnya terkait ekspor senjata akan merefleksikan statusnya sebagai anggota NATO di masa mendatang, serta akan membuat komitmen baru pada aliansi.”

“Ini adalah dua langkah penting untuk menyelesaikan kekhawatiran Turki,” imbuhnya. 

Andersson berkata, Swedia telah merevisi UU anti-terorisme, dan sedang memperketat lebih lanjut. “Mulai 1 Juli mendatang, saat menyangkut penumpasan terhadap terorisme, kami juga akan membuat UU yang lebih kuat… Kami bersedia memberikan kontribusi untuk menumpas terorisme,” kata Andersson.

Stoltenberg mengatakan, tujuannya adalah agar Swedia dan Finlandia secepat mungkin bergabung dengan NATO, jika Swedia diserang, tak bisa dibayangkan akibatnya bila negara sekutu NATO tak bisa memberikan perlindungan baginya.

Perang Rusia-Ukraina Tidak Ada Tanda-Tanda Akan Berakhir

PM Inggris, Johnson pada Jumat 17 Juni lalu mendadak berkunjung ke Kiev. Pada Sabtu 18 Juni ia menekankan, dalam perang Rusia-Ukraina yang telah berlangsung hampir 4 bulan, harus terus mendukung Ukraina dan menghindari terjadinya fenomena “kelelahan Ukraina” (Ukraine Fatigue, red.) seiring dengan semakin panjangnya masa perang. Inggris telah memberikan banyak bantuan bagi Ukraina, termasuk persenjataan dan pelatihan bagi para prajurit Ukraina.

Saat ini Ukraina masih terus mendesak negara Barat untuk memberikan bantuan. PM Belanda, Mark Rutte di Den Haag mengatakan kepada wartawan, “Dalam hal senjata, kami di sini sepakat, adalah sangat penting untuk membuat Rusia kalah dalam perang ini, dan karena kami tidak dapat membuat pasukan NATO bentrok langsung dengan Rusia, maka kami harus melakukan apa pun untuk memastikan Ukraina mampu untuk terus berperang, Ukraina bisa mendapatkan segala senjata yang dibutuhkannya.”

Pemerintah setempat Ukraina memberitakan, semalam beberapa tempat di wilayah Luhansk dan Kharkiv di timur juga Poltava di sisi barat serta Dnipropetrovsk telah mengalami serangan beruntun oleh Rusia. Dan, sebuah roket telah menyerang kota di wilayah tengah yakni Kryvyi Rih pada Sabtu lalu, mengakibatkan sedikitnya dua orang tewas.

Seorang gubernur distrik mengatakan, pada Sabtu pagi, roket milik Rusia juga ditembakkan ke daerah pinggiran kota kedua terbesar Ukraina yakni Kharkiv, berhasil mengenai sebuah gedung  pemerintah kota, menyulut kobaran api besar, namun tidak ada korban jiwa. 

 The Epoch Times masih belum dapat memastikan tudingan Ukraina terhadap Rusia di atas secara independen. (sud)