Mengapa Beijing Menyediakan Dana Besar untuk Memborong Pesawat Airbus ?

 oleh Wang He

Sehari setelah konsep strategis NATO untuk pertama kalinya menetapkan Partai Komunis Tiongkok (PKT) sebagai “tantangan sistemik”, Beijing kembali memainkan “diplomasi pesawat”. 

Pada 1 Juli malam, 3 maskapai penerbangan Tiongkok yakni China Southern Airlines, Air China dan China Eastern Airlines mengumumkan rencana pembelian sebanyak 292 unit pesawat penumpang jenis A320NEO buatan perusahaan Airbus Perancis, dengan harga price list total sebesar USD. 37,26 miliar (karena Airbus memberi diskon harga besar, jadi harga sebenarnya akan turun secara signifikan). Ini selain menjadi pesanan tunggal pembelian pesawat oleh ketiga maskapai BUMN yang jumlahnya terbesar dalam sejarah, juga merupakan pesanan pesawat penumpang jet besar pertama Tiongkok dalam 3 tahun terakhir. 

Namun, apa sebenarnya niat pemerintah Tiongkok membeli pesawat penumpang dari Airbus sebanyak itu ? Padahal pertumbuhan ekonominya terus menurun dan maskapai penerbangan juga menderita kerugian besar. Laporan ini mencoba memberikan tiga interpretasi.

Pertama, upaya menggenggam Uni Eropa

Dari 30 negara anggota NATO, sebagian besar adalah negara-negara yang berdomisili di Eropa. Meskipun kebijakan terhadap Tiongkok antara Eropa dengan Amerika Serikat ada konsistensinya, tetapi langkahnya masih ada perbedaan. Selama pengenalan “Konsep Strategis NATO 2022”, perbedaan pendapat dalam menerapkan strategi Tiongkok masih tetap muncul. Hal mana terlihat dari mekanisme pengambilan keputusan yang dinyatakan sebagai “memperoleh persetujuan bulat” itu ternyata masih menganggap PKT sebagai “tantangan” tetapi bukan “ancaman”, dan masih cenderung untuk menerapkan strategi yang “mendorong hubungan yang dilakukan secara konstruktif”. Beijing melihat ada kesenjangan antara AS dengan Eropa, dan ini memberi kemungkinan untuk diperlebar.  Bagaimana caranya ? Ada Dua.

Salah satunya adalah menunjukkan profil lemah kepada Eropa. Pada akhir 2020, sebelum Biden dilantik sebagai presiden, Tiongkok dan Eropa telah mencapai kesepakatan investasi. Namun, Beijing salah menilai situasi dan meluncurkan perang sanksi dengan Uni Eropa atas masalah Xinjiang pada Maret 2021, yang menyebabkan Parlemen Eropa membekukan kesepakatan investasi itu. Ditambah lagi dengan PKT baik secara diam-diam maupun terang-terang telah mendukung Rusia menyerang Ukraina, menyebabkan hubungannya dengan Eropa semakin menjauh. 

Beijing sendiri pun merasakan bahwa situasi yang terjadi kurang menguntungkan mereka, lalu berupaya untuk menyelamatkannya. 

Pertama, Beijing mengirim Huo Yuzhen, Perwakilan Khusus Kementerian Luar Negeri yang bertanggung jawab untuk Kerjasama Eropa Tengah dan Timur ke 8 negara di Eropa Tengah dan Timur, namun justru pulang dengan membawa malu karena penolakan. Setelah itu, Tiongkok mengirim utusan khusus Wu Hongbo (mantan Wakil Sekretaris Jenderal PBB) untuk mengunjungi Belgia, Siprus, Republik Ceko, Prancis, Hongaria, Jerman, Italia, dan lain-lain, untuk memperbaiki hubungan Tiongkok – Uni Eropa dengan menunjukkan profil rendah.

Di Eropa, Wu mengatakan bahwa Beijing telah membuat salah penilaian dalam banyak hal, mulai dari penanganan wabah COVID-19, diplomasi serigala perang hingga salah urus ekonomi. Meskipun tidak secara langsung membahas soal perang Rusia – Ukraina, tetapi ia telah mengirim pesan yang bertujuan meyakinkan orang Eropa, bahwa dibandingkan dengan Amerika Serikat, Beijing lebih condong untuk memilih Eropa sebagai mitra kerja sama.

Cara yang kedua yaitu melalui godaan ekonomi. Pesanan dengan Airbus kali ini, meskipun sebelumnya sudah ada komunikasi dan negosiasi jangka panjang, tapi niatnya sudah jelas terlihat, karena Beijing mengumumkan rencana pembelian pesawat penumpang itu segera setelah berakhirnya KTT NATO. Beijing menilai bahwa perbedaan anugrah atas sumber daya alam antara Eropa dengan Tiongkok ikut menentukan komplementaritas hubungan ekonomi  dan perdagangan Tiongkok – Eropa yang diperkirakan tidak akan berubah dalam jangka pendek. Sejak awal 2020, Tiongkok telah menjadi mitra terbesar Uni Eropa melampaui Amerika Serikat, dalam 6 tahun terakhir, Tiongkok juga selalu menjadi mitra dagang terbesar Jerman. Apa lagi di saat harga barang sedang melonjak, Eropa lebih-lebih sulit dipisahkan dari barang-barang buatan Tiongkok yang relatif masih lebih murah.

Kedua, menyakiti Amerika Serikat

Pesanan ini secara langsung menghantam pesaing lama perusahaan Airbus, yakni Boeing Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui bahwa kedua pabrik pesawat terbang ini memonopoli pasar pesawat penumpang besar global.

Bloomberg menyebutkan bahwa pesanan pembelian pesawat tersebut berdampak cukup besar terhadap dominasi Boeing di sektor pesawat sipil Tiongkok. 

Dalam menanggapi situasi ini, perusahaan tersebut menyatakan : “Boeing sebagai eksportir AS terbesar yang memiliki hubungan 50 tahun dengan industri penerbangan Tiongkok, merasa kecewa bahwa perbedaan geopolitik terus membatasi ekspor pesawat AS”. Kemudian ia menambahkan : ” Boeing akan terus mendesak pemerintah Amerika Serikat dan Tiongkok untuk melanjutkan dialog yang produktif agar pesanan dan pengiriman pesawat dapat dilanjutkan dengan cepat, karena penjualan pesawat Boeing ke Tiongkok secara historis telah memberikan kesempatan kepada puluhan ribu tenaga kerja Amerika Serikat”. Dan inilah statement yang diharapkan oleh pemerintah Tiongkok.

Untuk waktu yang lama, pemerintah Tiongkok telah memainkan “kartu komersial” untuk mencoba menggiring Amerika Serikat dalam menentukan jalannya kebijakan Tiongkok. 

Ambil kasus Boeing sebagai contoh. Pada 1972, kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok mencairkan hubungan tegang AS – Tiongkok. Salah satu tindakan Tiongkok untuk menunjukkan etikat baik pada saat itu adalah dengan cara memesan 10 buah pesawat Boeing jenis 707. 

Pada November 2018, Boeing mengirimkan pesawat ke-2.000 yang dipesan oleh Tiongkok. Dalam sebuah laporan yang disajikan pada Maret tahun ini oleh situs web daratan Tiongkok “New Fortune”, disebutkan bahwa dari tahun 2012 hingga 2020 Boeing berhasil menggaet keuntungan sebesar USD. 83,7 miliar dari penjualan pesawatnya ke Tiongkok, menyumbang 10,74% dari total pendapatan Boeing yang sebesar USD. 779 miliar year over year (YoY).  

Pada 2015, 2017 dan 2018, Tiongkok bahkan melampaui Eropa menjadi penyumbang pendapatan terbesar kedua dari penjualan pesawat Boeing di luar Amerika Serikat. Tidak sulit untuk membayangkan bahwa selama 50 tahun, Boeing telah menjadi salah satu pendukung utama peningkatan hubungan AS – Tiongkok.

Namun, Boeing hanyalah sebuah pion yang digenggam di tangan Beijing. Pemesanan pesawat penumpang terakhir Boeing dari Tiongkok adalah pada Oktober 2017 (termasuk 260 unit pesawat jenis 737,  40 buah pesawat jenis 787, dan 777). 

Sejak itu, perang dagang AS – Tiongkok meletus, dan Tiongkok tidak lagi memesan pesawat Boeing, ganti memberikan pesanan kepada Airbus. Pada tahun 2019, Tiongkok menandatangani perjanjian pembelian 300 buah pesawat Airbus dengan Perancis.

Tidak hanya itu, setelah dua kali jatuhnya pesawat Boeing jenis 737MAX yang sedang bersaing dengan Airbus jenis A320NEO, Beijing adalah yang pertama kali mengumumkan larangan terbang pesawat jenis ini pada Maret 2019. Meskipun lebih dari setahun telah berlalu dan pesawat Boeing jenis 737MAX telah dinyatakan layak terbang kembali oleh pemerintah AS. Tetapi otoritas penerbangan Tiongkok hanya mengatakan bahwa izin penerbangan kembali pesawat 737MAX sudah hampir disetujui (dikutip dari pernyataan CEO Boeing Brian West dalam bahasa Jepang pada 11 Mei tahun ini). Di samping itu, menurut laporan Bloomberg, bahwa akibat tidak jelasnya jadwal pengiriman dari pihak Boeing, maskapai penerbangan Tiongkok China Southern Airlines telah membatalkan pesanan pembelian 100 unit pesawat jenis 737MAX.

Upaya Beijing tak lain adalah untuk menyakiti Boeing dan menggunakannya sebagai pion untuk menekan pemerintah AS. 

Para ahli dari Tiongkok secara terbuka mengatakan : Jika perusahaan Boeing benar-benar ingin mendapat untung dari pasar Tiongkok, lebih baik memanfaatkan sepenuhnya departemen hubungan pemerintah dari perusahaan Boeing untuk memberikan sumbangsih bagi pembangunan kepercayaan politik antara AS dengan Tiongkok

Ketiga, menggerogoti perusahaan Airbus

Pesanan terbaru yang berjumlah besar ini membantu mengkonsolidasikan posisi Airbus di pasar penerbangan Tiongkok. Perusahaan Airbus mengatakan bahwa pada akhir 2018, jumlah pesawat sipil Airbus yang terlibat dalam layanan aktif di Tiongkok mencapai 1.700 lebih, dan jumlah total pesawat yang dikirim ke Tiongkok menyumbang hampir seperempat dari jumlah total pengiriman pesawat Airbus. Tercatat hingga akhir Mei 2022, total pesawat buatan Airbus termasuk pesawat jet dan helikopter yang dioperasikan oleh maskapai penerbangan Tiongkok telah mencapai lebih dari 2.070 unit. 

Bahkan, pada akhir tahun 2020, jumlah pesawat Airbus aktif menyumbang 51% dari pasar penerbangan sipil domestik Tiongkok, dan Tiongkok telah menjadi pasar terbesar Airbus di satu negara melampaui Amerika Serikat. 

Perlu diketahui bahwa sejak akhir abad ke-20, pangsa pasar global Airbus sudah mendekati 50%, dan pangsa pasarnya di Tiongkok hanya 30%. Perusahaan Airbus sudah sejak lama menghadapi kesulitan untuk meningkatkan omzet penjualan pesawatnya ke pasar Tiongkok. 

Bagaimana mereka membalikkan keadaan ini ? Selain pengaruh politik dari kedua negara tersebut. perusahaan Airbus sendiri juga telah membayar harga yang mahal, yakni membarter teknologi dengan pasar.

Sebagai contoh. Pada Oktober 2006, ketika Presiden Prancis Jacques Chirac mengunjungi Tiongkok, Tiongkok dan Airbus menandatangani perjanjian kerangka kerja sama untuk memesan 150 unit pesawat jenis A320 dan letter of intent untuk memesan 20 unit pesawat berbadan lebar A350. Pesanan itu kemudian menjadi pesanan tunggal dalam pembelian pesawat dalam sejarah penerbangan sipil Tiongkok. Namun sebagai bagian dari perjanjian, Airbus perlu menandatangani kesepakatan dengan pihak-pihak terkait di Tiongkok untuk bersama-sama membangun jalur perakitan akhir pesawat seri A320 di Kota Tianjin, Tiongkok, yang kemudian menjadi lini produksi pertama Airbus di luar Eropa saat itu.

 Menurut data, sejak pengiriman pesawat pertama A320 pada tahun 2009 hingga akhir tahun 2021, Pangkalan perakitan pesawat Airbus di Tianjin telah menyelesaikan pengiriman total 555 unit pesawat jenis A320, atau rata-rata hampir 50 unit pesawat setiap tahunnya.

Pada 24 Juni, satu minggu sebelum penandatanganan pesanan besar terbaru ini, perusahaan Airbus dan Suzhou Industrial Park telah secara online menandatangani perjanjian kerja sama untuk mendirikan Pusat Litbang Airbus Kota Suzhou.

Beijing mendorong perusahaan Airbus melakukan hal ini tak lain adalah untuk membangun citra industri pesawat besar. Di era Mao, Beijing ingin membangun pesawat jet, meluncurkan Y-10, tetapi berhenti setelah 10 tahun berlalu. 

Pada Maret 2007, Beijing mengumumkan peluncuran proyek pesawat besar, lalu mendirikan perusahaan kedirgantaraan COMAC(Commercial Aircraft Corporation of China), membidik pesawat Boeing 737MAX dan Airbus A320, untuk mengembangkan pesawat penumpang buatan Tiongkok sendiri C919. Prototipe pertama pesawat C919 yang dijadwalkan untuk terbang perdana pada tahun 2014 dan dikirimkan ke maskapai pada tahun 2016. Tetapi terpaksa berulang kali diundur karena fondasi dan teknologi industri terkait  yang terus bermasalah. Pada 14 Mei tahun ini, pesawat berbadan lebar C919 yang dikirim pertama kali baru berhasil mengudara. Hal ini membuat Tiongkok sangat bergantung pada ekstraksi teknologi Airbus untuk mendukung peningkatan berkelanjutan dari C919.

Epilog

Beijing mengeluarkan jumlah uang besar untuk membeli pesawat dari perusahaan Airbus dengan niat yang sebenarnya tidak sulit terlihat oleh semua pihak. Namun bagi semua pihak terkait, kuncinya adalah bagaimana mengenali esensi Partai Komunis Tiongkok. 

Jika berfantasi untuk hidup berdampingan dengan PKT, atau bahkan ingin menari bersama serigala, alih-alih menemukan cara yang efektif untuk mencegahnya, maka hasilnya tidak sulit diprediksi.

Misalnya, dengan mengesampingkan hal yang berkaitan dengan politik antar negara, kita hanya berfokus pada segi untung rugi bagi perusahaan Airbus, membarter teknologi dengan pasar sebagaimana yang dikehendaki Beijing juga mengandung risiko.

 Menurut situs resmi Airbus, hingga Mei 2022, jumlah pesawat jenis A320NEO yang dipesan oleh 130 perusahaan maskapai di dunia telah mencapai lebih dari 8.000 unit. Dari sudut pandang ini, pesanan besar terbaru Tiongkok tidak cukup berarti untuk dibarterkan dengan teknologi. 

Coba bayangkan, jika pesawat berbadan besar C919 itu sepenuhnya dapat diandalkan untuk penerbangan, bagaimana jadinya posisi pasar Airbus ? Bukannya kasus rel KA berkecepatan tinggi telah memberikan pelajaran buruk itu ? (sin)