Filosofi Perang dan Kebudayaan bagi Manusia Jawa Kuno

ISWAHYUDI

Manusia adalah produsen penderitaan yang paling ulung. Salah satu dari penderitaan itu diproduksi dari perang di antara sekolompok manusia. Jean Pictet dalam “The Geneva convention and Law of War: Revue International de la Croix Rouge” mengatakan bahwa suatu kenyataan yang menyedihkan tertulis dalam sejarah selama 3.400 tahun, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.

Banyak orang menganggap perang sebagai salah satu bentuk perwujudan dari naluri untuk mempertahankan diri yang dianggap baik dalam pergaulan antar manusia maupun antar bangsa. T. Jacob dalam bukunya “Tahun-tahun yang Sulit: Mari Mencintai Indonesia” menulis bahwa selama 5.600 tahun terakhir manusia telah menggelar 14.600 perang. Yang kesimpulannya adalah bahwa perang adalah bagian dari masalah, sejarah, peradaban, kenyataan kekinian, bahkan masa depan manusia, atau bahkan solusi bagi polemik di antara manusia. Dan tentunya dengan harga dan akibat penderitaan, nestapa, dan duka.

Definisi perang sangat dinamis. Dahulu perang mengacu pada pertikaian bersenjata yang berupa sebuah aksi fisik dan nonfisik antara dua atau lebih kelompok manusia untuk melakukan dominasi di wilayah yang dipertentangkan. Di era modern, perang lebih mengarah pada superioritas teknologi dan industri. Seperti adanya doktrin yang mengatakan bahwa “Barang siapa menguasai ketinggian maka menguasai dunia”.

Secara psikologis, perang adalah turunan dari sifat dasar manusia yaitu sense to power atau sense to hegemony. Sebagai mana seorang bayi yang begitu lahir langsung menangis, yang mana ada yang menerjemahkan tangisan tersebut sebagi tangisan untuk menguasai rasa belas kasihan orang tua dan keluarganya. Ketika seorang bayi manusia itu sudah menjadi manusia dewasa, pemimpin sekelompok orang atau bahkan pemimpin negara, nafsu untuk menghegemoni itu bisa diekspresikan dalam bentuk perang. Seperti yang akhir- akhir ini terjadi perang Ukraina versus Rusia yang membuat panas dingin dunia. Penyebab perang bisa bermacam-macam. Bisa karena perbedaan ideologi, ekspansi kekuasaan, perbedaan kepentingan, dan perampasan sumber daya alam.

Pertanyaannya, bagaimana pandangan orang Jawa kuno tentang perang, apakah seperti yang digambarkan dalam film-film yang berkisah tentang kerajaan-kerajaan di masa lalu yang mengambarkan bahwa orang kuno adalah orang barbar yang jika ada sedikit masalah selalu berakhir dengan solusi kekerasan? Dan bagaimana pandangan para raja-raja Jawa kuno tentang makna perang itu sendiri?

Seorang Filolog dari Universitas Gajah Mada, K.R.T Manu J. Widyaseputra menemukan sudut pandang unik tentang perang, ia menemukan sudut pandang berbeda setelah ia melakukan pergumulan panjang dengan naskah-naskah kuno. Ia mengungkapkan temuannya di Channel Youtube Caknun.com (19/7) berjudul Laku Perang Menurut Kerajaan Nusantara.

Menurutnya, di dalam tradisi Jawa kuno (Nusantara kuno) ada beberapa istilah yang menunjukkan pengertian perang yaitu yuddha, sanggrama, dan samara. Setiap istilah ini mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Yuddha adalah perang yang melibatkan para nayaka atau pahlawan atau kesatria. Misalnya dalam perang di era Majapahit perang antara Ranggalawe versus Kebo Anabrang, dalam Epos Mahabharata dalam perang Bharatayuddha ada laga antara Arjuna versus Adipati Karna, Bhima versus Duryudhana, dan lain-lain. Sedang perang jenis sanggrama adalah perang yang melibatkan seorang raja secara langsung di medan pertempuran. 

Contohnya adalah Raden Wijaya turun langsung ke medan pertempuran melawan tentara Mongol. Maka untuk mengenang kemenangan dalam perang ini, Raja Majapahit pertama ini mempunyai gelar Sang- gramawijaya. Sedang perang jenis samara adalah perang di mana seorang raja terjun langsung ke medan pertempuran namun dibimbing oleh seorang brahmana. Misalnya ketika Raja Airlangga berperang melawan Raja Wura Wari, Raja Airlangga dibimbing seorang brahmana yaitu Empu Kanwa yang kelak mendokumetasikan peristiwa ini dalam Kakawin Arjunawiwaha yang sebenarnya menceritakan laku perang Airlangga dalam mengalahkan musuh bebuyutannya, Raja Wura Wari.

Menurut ketaatan pada etika atau aturan perang, yudha dibagi menjadi dua macam yaitu Dharmayudha dan Kuthayudha. Dharmayudha adalah perang yang berdasarkan dharma, kebajikan, hukum, atau aturan. Jadi tidak boleh sembarang membunuh, waktunya ditentukan, ada kode etik atau aturan perang yang disepakati bersama. Sedangkan Kuthayudha adalah perang tanpa aturan seperti yang banyak terjadi di era modern ini. 

Menurut Filolog Manu, perang model Kuthayudha ini mulai bermunculan di Jawa semenjak kedatangan bangsa barat yang memperkenalkan persenjataan jarak jauh seperti senjata api, meriam, dan bom.

Dharmayudha dalam tradisi kerajaan Jawa dilakukan sebenarnya bukan untuk perebutan kekuasaan dengan cara kekerasan, tapi sebagai bentuk Yadnya (pengorbanan atau ritual). Mereka meyakini raja adalah titisan Dewa, di mana seseorang tidak bisa menjadi raja atau turun dari tahta kecuali atas kehendak Sang Pencipta.

Dalam tradisi kerajaan Jawa kuno, seorang raja ketika naik tahta harus melewati tiga tahapan Yadnya (ritual upacara/ nyadnya/pengorbanan) yaitu Rajasuya Yadnya, Rana Yadnya, dan Aswameda Yadnya. Rajusuya Yadnya yaitu penobatan seorang raja. Suya adalah sejenis minuman keras yang berasal dari tanaman sejenis jamur bernama soma. Yang dipercaya di dalam suya itu mengandung amerta (air suci/keabadian para Dewa). Seorang raja harus meminum air amerta tersebut, bila tidak ia tidak akan memerintah. Sedangkan Rana Yadnya yaitu upacara ritual di medan perang. Rana Yadnya ini harus dilakukan oleh seorang raja. Dalam medan pertempuran nantinya terdapat pembagian peran yang akan dimainkan oleh setiap kerajaan yang sedang berperang, di mana ada yang berperan sebagai Yadnya (yang dikorbankan) dan Yajamana (Sang Pengorban). 

Peran sebagai Yadnya terjadi bila seorang raja atau tokoh-tokohnya menjadi yang dikorbankan (yang dikalahkan). Ada yang dipenggal kepalanya atau diminum darahnya atau dipotong anggota tubuhnya.

Sedang peran sebagai Yajamana adalah sebaliknya. Ia berperan sebagai algojo yang memenggal kepala, meminum darah, atau mengambil bagian tubuh. Mungkin sudut pandang orang sekarang, jenis upacara (Yadnya) ini kelihatan sadis, tapi karena setiap raja sebelum menjadi raja telah melakukan Rajasuya Yadnya dan telah meminum amerta. Maka peran seorang sebagai korban (yadnya) akan menjadi sarana untuk peningkat taraf kondisi atau spiritualnya. Semisal dengan upacara itu ia naik tingkat menjadi Dewa atau meningkat ke status kadewatan.

Sebagai seorang filolog, Manu tidak menemukan bekas-bekas kesadisan perang dalam relief dan narasi di naskah- naskah kuno, karena perang dipandang sebagai cara untuk meningkatkan harkat, martabat, dan status sebagai manusia. Mulai dari tataran manusia, butha, pitara (leluhur), resi, dan Dewa. Jadi tujuan perang adalah untuk meningkatkan status manusia dalam enam jalur reinkarnasi bahkan demi moksa, pencerahan, atau kesempurnaan. Dalam perpektif filosofi raja-raja Jawa bahwa hidup dunia bukan tujuan akhir, memimpin kerajaan bukan segala-galanya, tapi semua itu dilalui untuk mencapai tingkat atau taraf kondisi spiritual atau perang sebagi jalan pencerahan. Menjadi raja bukan sebuah tanda titik, melainkan sebuah proses perjalanan menuju kesampurnaan atau moksa. Raja besar seperti Airlangga, Hayam Wuruk begitu mereka turun tahta ia menjadi pertapa (mandeg pandito).

Filolog Manu juga menemukan bahwa dalam relief kuno tidak ditemukan gambar kapal perang, yang ada hanyalah kapal dagang atau ekspedisi, relief yang bercerita tentang aksi bunuh-membunuh dalam medan pertempuran tidak ditemukan. Tidak juga ditemukan relief mayat yang dibuang begitu saja atau bangkai-bangkai hewan korban perang. Ini menandakan bahwa para raja Jawa kuno atau bahkan Nusantara menganut filosofi perang Dharmayudha atau perang sebagai bentuk Yadnya/laku spiritual.

Selanjutya tahapan Yadnya yang harus dilakukan seorang raja adalah Aswameda Yadnya. Ketika perang (Rana Yadnya) berakhir seorang raja pemenang melepaskan kuda untuk menentukan luas kerajaannya. Yaita sejauh mana kuda itu berlari itulah luas kerajaannya. Filolog Manu meng- ungkapkan ada teks (naskah kuno) yang khusus untuk melatih kuda-kuda itu agar mengerti apa yang harus dilakukan ketika Rana Yadnya berakhir yaita Serat Aswasiksa. Kesimpulanya adalah orang kuno tak sebarbar seperti yang digambarkan di film- film, atau bahkan lebih beradab daripada kebudayaan kita sekarang.

Tiga Kata Kunci Kebudayaan Jawa kuno: Wayang, Sesaji, dan Sastra

Banyak raja-raja Jawa atau pujangga- pujangga yang mengidentifikasi karakter rajanya lewat simbolisme tokoh-tokoh pewayangan dalam Mahabharata atau Ramayana. Pengaruh tokoh-tokoh pewayangan seolah begitu menyusup dalam DNA orang Jawa. Banyak raja versi kisah Mahabharata yang disadur ulang untuk menggambarkan karakter raja-raja Jawa, seperti kisah Raja Airlangga yang berhasil mengembalikan kerajaan pendahulunya yang dihancurkan oleh Raja Wura Wari. Empu Kanwa menulis kisah Raja Airlangga dalam Kakawin Arjunawiwaha.

Dalam siklus kehidupan tradisi Jawa tidak bisa lepas dari yang namanya sesaji, sebagai bentuk komunikasi dengan kehidupan tingkat lebih tinggi yang mempunyai kekuataan adi kodrati yang memengaruhi kehidupan manusia. Dalam Channel Citraleka Nusantara (15/3) Filolog K.R.T Manu J. Widyaseputra mengupas seluk beluk tentang sesaji berjudul “Makna Sesaji Berdasarkan Literasi”. Menurutnya, pemaknaan tentang sesaji dibagi menjadi dua versi yaitu versi kosmosentris (sebelum abad ke-17) dan versi antroposentris (pasca abad ke-17). Dari perspektif kosmosentris, sesaji bermakna apa manfaat sesaji bagi alam semesta secara keseluruhan. Sedangkan dari perspektif antroposentris, sesaji dimaknai sebagai apa manfaatnya bagi diriku, manusia saja. Sesaji sebenarnya bentuk dari Yadnya. Menurut naskah Agastiya Parwa dikenal konsep Triloka Mandala (tiga lingkungan); swaloka (dunia dewa), buahloka (dunia manusia), burloka (dunia bawah).

Ada lima Yadnya yang ada dalam tradisi Jawa kuno sebagai bentuk komunikasi antara setiap unsur Triloka Mandala yang dikenal sebagai Panca Yadnya yaitu Dewa Yadnya, Rsi Yadnya, Viter Yadnya, Manusa Yadnya, dan Butha Yadnya.

Dalam pengertian antroposentris setiap dari Panca Yadnya bermaksud memberi persembahan agar memperoleh keselamatan pada manusia. Tapi dari sudut pandang kosmosentris mempunyai makna yang berbeda. Semisal Dewa Yadnya dimaknai sebagai upacara sesaji yang dilakukan oleh para Dewa. Bagaimana Dewa melakukan upacara? Yaitu mereka menggunakan taila (kemenyan). Ketika taila dinyalakan asapnya akan membentuk mandala (lingkungan religius) yang menggambarkan bagaimana para Dewa menata alam semesta ini. Manusia bisa melakukan Dewa Yadnya ini dengan menggunakan sesaji yang digunakan oleh para Dewa itu dengan menggunakan representasinya, alam semesta dihadirkan kembali pada saat Dewa-Dewa itu ada. Dan kita mengikuti apa yang dilakukan para Dewa itu. Dalam adat Jawa ada bentuk sesaji berbentuk tumpeng robyong yang sebenar- nya merupakan representasi dari legenda Samudramantana ketika para Dewa dan Asura mengaduk samudra untuk mengeluarkan air kehidupan (amerta).

Selain wayang dan sesaji, hal yang menjadi inti kebudayaan Jawa kuno adalah sastra. Yang mewakili jalan suci yang membimbing manusia mencapai tingkat kesempurnaan di levelnya masing-masing. Pesannya, sesuatu yang nampaknya sangat primitif, ternyata itu sebuah bahasa lebih tinggi yang mencerminkan intelektualitas dan spiritual yang lebih tinggi. Bahasa bukan hanya pakai kata-kata, bisa jadi pakai bunga, palawija, dan harum dupa. (et)