Seberapa Jauh Jarak Dunia Dari Perang Nuklir?

Shi Shan

 Pada 21 September sore, Presiden Rusia Putin mengumumkan, Rusia segera akan melakukan mobilisasi perang. Walaupun dia menyebutnya sebagai “mobilisasi perang parsial”, tapi aksi ini menandakan perang Rusia di Ukraina telah berubah dari “operasi militer khusus” meningkat menjadi suatu ajang perang terhadap sebuah negara, bahkan merupakan perang sekelompok negara terhadap kelompok negara lainnya.

 Tidak salah lagi, kita sedang menghadapi suatu ajang perang dunia, yakni bahaya perang dunia ketiga.

Penulis lantas teringat ada yang pernah bertanya pada Einstein tentang perang dunia ketiga, Einstein menjawab, saya tidak tahu bagaimana perang dunia ketiga akan dikobarkan, tetapi saya tahu, umat manusia akan menggunakan kayu dan batu dalam perang dunia keempat.

 Maksudnya sudah sangat jelas, yakni jika perang dunia ketiga meletus, maka perang nuklir tidak akan terhindarkan, peradaban umat manusia yang sekarang ini akan hancur, dan manusia yang bertahan hidup (dari perang nuklir itu) jika berperang lagi, hanya akan bisa menggunakan benda-benda yang paling primitif untuk dijadikan sebagai senjata.

 Pada saat anak-anak penulis duduk di bangku sekolah menengah, penulis sering menyampaikan sebuah pertanyaan pada mereka, yakni bagaimana hidup di tengah dunia yang liar dan primitif,dengan maksud mengajarkan pada mereka cara untuk mengenali arah (agar tidak tersesat), mengajarkan pada mereka pengetahuan untuk bertahan hidup di alam liar. Kemudian hal itu telah menjadi bahan candaan mereka yang menertawakan daya imajinasi ayah mereka yang terlalu kaya.

 Orang yang hidup di era damai, sangat sulit membayangkan jika terjadi perang nuklir, akan menjadi apakah dunia ini. Masyarakat di zaman pasca industri sekarang ini, telah membentuk suatu struktur sosial yang teramat kompleks dan saling bergantung satu sama lain. Bahkan mendadak mati listrik pun akan menimbulkan perubahan yang dapat mengacaukan kehidupan umat manusia modern ini. Jika kekurangan energi, bahan bakar, bahkan bahan pangan, maka struktur peradaban modern yang menampung 7 milyar orang ini dikhawatirkan akan runtuh. Segala sesuatu yang kita kenal, mulai dari sandang, pangan hingga papan, sampai model berjalannya sistem tatanan masyarakat ini, dikhawatirkan akan berubah total.

 Justru karena kita tidak menginginkan perang, maka kita cenderung akan berpikir tidak akan ada perang.

 Ratu Inggris Elizabeth II meninggal dunia pada 8 September lalu, dia menduduki tahta selama 70 tahun, dan menjadi saksi sebuah era yang pada dasarnya berlangsung damai, hal ini sangat menyerupai yang dialami nenek buyutnya yakni Ratu Victoria.

 Ratu Victoria dinobatkan sebagai Ratu Inggris pada 1836, setelah 65 tahun menduduki tahta, mangkat pada tahun 1901. Selama berkuasa, tidak hanya negara Britania Raya sedang menuju masa keemasan, apalagi di bawah hegemoni Inggris, Eropa telah mengalami periode yang cukup damai. Periode tersebut kemudian disebut era Victoria, atau disebut juga era damai Victoria. Ratu Victoria memiliki 9 orang anak, generasi cucunya lebih banyak lagi, lewat perkawinan antar keluarga kerajaan, negara-negara monarki di Eropa hampir semua adalah keturunannya, maka Ratu Victoria juga dijuluki sebagai “nenek bangsa Eropa”.

 Perdamaian yang dijaga oleh nenek tua ini dihancurkan setelah 13 tahun dirinya mangkat. Perang Dunia I menewaskan belasan juta jiwa di Eropa, dan lebih dari dua puluh juta orang luka-luka. Banyak negara utama yang ikut berperang seperti Inggris, Jerman, Austria-Hungaria, Belgia, dan Tsar Rusia, para penguasanya pada dasarnya adalah sanak keluarga dari Ratu Victoria. Seperti tiga orang raja yakni Raja George V Inggris, Raja Wilhelm II Jerman, dan Tsar Nicholas II dari Rusia, pada dasarnya adalah saudara sepupu, ibu mereka adalah cucu perempuan Ratu Victoria. Itu sebabnya ada sejarawan yang mengatakan, PD-I sebenarnya adalah suatu ajang “pertikaian internal keluarga”.

 Membuka kembali halaman sejarah, hubungan antar kerabat ini termasuk sangat baik, tapi tetap saja tidak luput dari konflik kepentingan dan kekuasaan. Hal ini sama sekali tidak asing bagi orang Tiongkok, dalam sejarah Tiongkok, terdapat banyak sekali cerita tentang ayah dan anak yang saling membunuh demi memperebutkan kekuasaan, ibu dan anak saling mencelakakan dan lain sebagainya. Tentu saja kondisi di Eropa tidak semuanya sama dengan apa yang terjadi di Tiongkok, seperti Raja Inggris tidak bisa menentukan perang negaranya, penguasa Inggris menyusun konstitusi, dan menetapkan hanya Majelis Rendah yang memiliki kekuasaan ini.

 Namun bagaimanapun, perang ini telah menghancurkan Eropa, dan telah menanamkan benih kebencian antara suku bangsa dan negara. Benih ini terus bertumbuh subur, hingga akhirnya telah menyulut meletusnya PD-II.

 Menjelang ajalnya, Ratu Victoria melihat cucu-cucunya mengelilinginya, dia pasti merasa sangat terhibur dan menenangkan, tidak pernah terbayangkan olehnya sepuluh tahun kemudian mereka akan saling bertikai, dan saling membantai, sehingga menimbulkan lebih dari 30 juta orang korban tewas dan luka-luka.

 Ratu Elizabeth II yang baru saja mangkat, sangat menyerupai kondisi nenek buyutnya. Pada 1952, seusai PD-II dirinya dinobatkan sebagai Ratu Inggris, walaupun setelah itu ada Perang Dingin, tapi Eropa pada dasarnya cukup damai, total 70 tahun berkuasa, dia telah melalui masa Perang Dingin, dan telah melalui runtuhnya komunis Soviet. Tapi baru saja dia wafat, dunia ini segera menghadapi ancaman perang dunia. Apakah ini semacam takdir yang dialami oleh Kerajaan Inggris?

 Sebaiknya kita kembali ke topik yang lebih nyata.

Rusia menginvasi Ukraina, bagi penulis terutama ada tiga penyebab: Pertama, hendak merebut Donbas dan Semenanjung Krimea milik Ukraina, karena pelabuhan Krimea pada dasarnya sangat penting bagi Rusia sebagai negara kekuasaan darat, sementara Donbas dapat memberikan suatu ruang aman yang lebih luas lagi bagi ibukota Moskow.

 Kedua, sama halnya dengan PKT (Partai Komunis Tiongkok), Rusia mengandalkan sukuisme bahkan nasionalisme dalam menyikapi bekas ideologi komunis peninggalan bekas Uni Soviet, oleh sebab itu wilayah Donbas yang mayoritas didiami warga etnis Rusia (Donbas mencakup dua negara bagian yakni Donetsk dan Donbask, artinya dua negara republik yang diakui oleh Rusia, yang telah ‘memerdekakan diri’ dari Ukraina) dan Krimea, menjadi penanda bagi sukuisme. Etnis Rusia setempat merasa didiskriminasi oleh etnis Ukraina.

 Ketiga, adalah dikarenakan sikap lembek AS di Afghanistan, telah membuat Putin menilai ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk membangun kembali hegemoni global Uni Soviet zaman dahulu.

 Namun Rusia telah terjebak perang di Ukraina dan dirundung kesulitan, bukan hanya tidak mencapai sasaran, sebaliknya justru mengalami kegagalan militer yang memalukan. Terutama bagi Putin, pondasi kekuasaan otoriter pada dasarnya adalah mengendalikan kekuasaan mutlak di tangan individu, begitu supremasinya rusak, tidak hanya akan kehilangan kekuasaan, keselamatan jiwanya pun bisa terancam, bahkan dapat menyebabkan runtuhnya sistem pemerintahannya. Akibat seperti ini sangat besar kemungkinannya akan terjadi, apabila Ukraina terus melanjutkan dengan membalas menyerang serta merebut kembali Donbas dan Krimea.

 Di sisi lain, saya menilai dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO), sikap Tiongkok sepertinya menimbulkan dampak yang sangat besar. Dalam KTT tersebut permintaan Putin pada Xi Jinping telah ditolak secara halus, Xi Jinping tak lagi memperlihatkan wibawa dan karakter sebagai seorang “pria tulen”, melainkan mengambil sikap semu dan berkelit, yang tadinya bekerjasama tanpa batas, kini telah berubah menjadi hanya manis di mulut tanpa tindakan nyata. Yang paling dibutuhkan Rusia saat ini adalah dukungan penuh Beijing di bidang ekonomi dan militer, tetapi RRT jelas tidak melakukan tindakan nyata apapun.

 Sengitnya pertempuran modern, cukup untuk menguras sejumlah besar sumber daya dan perlengkapan militer suatu negara dalam waktu singkat. Seperti prediksi yang dilakukan badan intelijen Inggris, sejak menginvasi Ukraina, Rusia telah menembakkan lebih dari 2.000 unit rudal taktis, pada dasarnya telah menghabiskan persediaannya. Tank dan kendaraan lapis baja Rusia banyak yang hancur, bahkan telah mulai dikerahkan T-72 yang sudah bertahun-tahun dipensiunkan dengan memodifikasinya. Lainnya seperti roket, meriam dan lain sebagainya, karena Rusia menggunakan taktik cakupan pengeboman massiv ala PD-II, oleh sebab itu banyak amunisi telah terkuras nyaris habis, maka beredar kabar harus mendatangkan amunisi dari Korea Utara.

 Di saat seperti sekarang ini, yang paling mampu membantu Rusia seharusnya adalah RRT yang telah menyanggupi “bekerjasama tanpa batas”. Akan tetapi bantuan yang diberikan oleh RRT, hanya dukungan moril yang memahami secara verbal, serta “penanggulangan” dalam banyak aspek seperti yang dikatakan Li Zhanshu (Ketua Kongres Nasional RRT, red.), dengan kata lain menjaga sikap “netral” dalam urusan diplomatik, tidak mengutuk juga tidak ikut serta dalam “sanksi”. Tetapi PKT juga tidak akan mengambil risiko dikenakan sanksi oleh AS dan dunia Barat, benar-benar secara “tanpa batas” membantu Rusia.

Coba bayangkan, Rusia milik Putin, seperti seorang ketua mafia yang menantang dunia persilatan seorang diri, yang dalam menghadapi sekelompok jagoan, terus menerus menelan kekalahan, sementara seorang boss mafia lainnya yang sempat berjanji akan datang dan berjuang bersamanya, sekarang hanya berdiri di kejauhan sambil berseru memberi semangat, seakan-akan malah sedang bersiap melarikan diri.

 Bagi Putin, ini adalah suatu kondisi yang membuatnya sangat putus asa. Pertanyaannya adalah, hutang darah sebelumnya terlalu banyak, mundur selangkah saja, dirinya tidak akan selamat. Ia tidak memiliki Nenek Bangsa Eropa sebagai backing, tak bisa pula seperti William II yang hidup menyepi di Belanda, maka itu ia harus mengeluarkan jurus pamungkasnya.

 Jurus pamungkas itu adalah senjata nuklir!

Sebelum memobilisasi perang, dua negara republik yang “memerdekakan diri” dari kawasan Donbas, yakni Donetsk dan Luhansk hingga Kherson, minggu ini (23 – 27 September) akan menggelar referendum, untuk menentukan apakah akan bergabung dengan federal Rusia atau tidak. Referendum di bawah todongan senjata seperti ini, diperkirakan tidak akan ada hasil- nya, sementara Rusia akan segera mengumumkan penerimaan anggota baru.

Dalam pidato mobilisasi perangnya, selain mengumumkan akan segera merekrut 300.000 tentara cadangan, dan meminta agar industri militer memaksimalkan produksi mereka, Putin juga membicarakan senjata nuklir. Dia menyatakan, beberapa presiden federal Rusia pernah mengumumkan kebijakan nuklir Rusia, yakni begitu wilayah federal Rusia diserang oleh negara lain, maka Rusia akan mengambil posisi melakukan serangan nuklir sebagai “aksi pre-emptif”.

Kedua hal ini jika ditempatkan bersamaan, itu berarti Krimea, Donetsk, dan Luhansk, begitu diserang oleh pasukan negara asing, maka Rusia berhak menggunakan senjata nuklir untuk membela diri. Inilah makna sebenarnya dari perkataan dalam pidato Putin “Barat sedang menghancurkan Rusia”. Di mata Rusia, Ukraina hanyalah adik kecil, tidak perlu ditakuti, tapi di baliknya ada Amerika dan negara Barat lain- nya, inilah penyebab sebenarnya kekalahan Rusia dalam perang di Ukraina.

Masalahnya adalah, begitu Rusia menerapkan undang- undang perangnya, dan meng- umumkan kondisi perang, maka serangan Ukraina terhadap Do- netsk dan Luhansk berarti “telah menginvasi wilayah Rusia”, juga merupakan  kemungkinan   sasaran “aksi pre-emptif” senjata nuklir Rusia.

Senjata nuklir milik Rusia yang aktif sebanyak 2.100 unit, sistem serangan terpadu 3 in 1 Rusia masih utuh, juga merupakan satu-satunya alasan negara itu disebut sebagai kekuatan militer kedua terbesar dunia. Maka apabila negara NATO mengalami serangan nuklir, maka menurut Ketentuan No. 5 NATO, AS harus mengintervensi.

Satu peran terbesar AS di NATO adalah memberikan perlindungan nuklir. Payung perlindungan nuklir semacam ini bukan berarti menjamin suatu negara tidak akan diserang nuklir, melainkan menjamin apabila suatu negara diserang nuklir, maka AS akan melakukan serangan nuklir balasan. Oleh sebab itu jika Rusia menggunakan senjata nuklir, khususnya terhadap negara anggota NATO, itu berarti perang nuklir secara resmi meletus.

Senjata nuklir digunakan dalam jumlah besar, tanpa mempertimbangkan ledakan nuklir berikut kerusakan akibat efek radiasinya, hanya musim dingin nuklir saja, hanya dua tahun gagal panen global, hanya rantai pasokan global yang lumpuh, hanya semua produksi industri terhenti, hanya kehancuran struktur sosial dan pemerintahan negara, akibatnya sudah cukup mengakibatkan serangkaian kekacauan besar, dan mega bencana bagi umat manusia.

Jadi, 3.000 unit rudal nuklir milik AS, ditambah 2.000 unit rudal nuklir milik Rusia, begitu semuanya diluncurkan, peradaban umat manusia sekarang ini, boleh diumumkan secara resmi bahwa ia telah berakhir. (sud)