Menilai Diplomatik G20 Beijing : Tekanan Multilateral dan Semakin Banyak Masalah

Wang He

Seusai Kongres Nasional ke-20, Partai Komunis Tiongkok (PKT) memainkan drama diplomatik kolosalnya. Putaran pertama, “negara asing datang menghadap”, dimana telah diatur pemimpin empat negara datang ke Tiongkok mulai dari Vietnam, Pakistan, Tanzania, dan Jerman. 

Putaran kedua, “kunjungan kepala negara”, dimana telah diatur mulai 14 hingga 19 November, Xi Jinping akan menghadiri KTT G20 Bali, disusul pertemuan tidak resmi pemimpin negara APEC sekaligus kunjungan ke Thailand. 

Pertama, Tekanan Dalam Hubungan Multilateral PKT

Dunia sekarang ini, sedang berevolusi dari pola strategis baru konfrontasi bipolar AS-RRT “pasca Perang Dingin”, nilai universal menjadi batu pondasi dalam membangun tatanan internasional yang baru. 

PKT tidak hanya terus memeluk paham ideologi sosialismenya yang telah usang, tetapi juga terus menyerang AS dan pihak Barat untuk memecah belah dunia, dengan membuat garis batas ideologi, memainkan politik berkelompok dan konfrontasi kubu, melimpahkan kesalahan pada negara tetangga dan membangun “tembok pembatas yang tinggi untuk halamannya yang sempit”. 

Ini benar-benar bergerak melawan arus, dengan sendirinya tekanan yang dirasakan menjadi sangat besar. 

Dalam KTT G20 kali ini, PKT mengalami tekanan terbesar dalam dua hal.

Pertama, sikapnya terhadap Perang Rusia-Ukraina. Kantor berita DPA menyebutkan, pada Jum’at lalu (11/11) pejabat diplomatik RRT masih bersikukuh agar dalam komunike tidak muncul kecaman apapun terhadap perang, namun dalam “Deklarasi KTT G20 Bali” yang dipublikasikan disebutkan, “invasi Rusia terhadap Ukraina sangat disesalkan, dan meminta Rusia agar menarik tuntas pasukannya tanpa syarat dari Ukraina”, “menjunjung tinggi hukum internasional”, dan “menggunakan atau mengancam akan menggunakan senjata nuklir adalah tidak diperbolehkan”. 

Ini mungkin menandakan, di bawah tekanan keras internasional, PKT telah mengambil langkah mengalah level tertentu. BBC menilai, “Dilihat dari KTT kali ini, setidaknya pada forum terbuka, PKT telah menjelaskan satu hal — tidak akan mendekat pada Rusia.”

Kedua, hutang negara berkembang. Saat ini, 30% negara pasar berkembang dan 60% negara yang berpenghasilan rendah sedang mengalami atau akan segera mengalami kesulitan membayar hutang. 

RRT adalah kreditur tunggal terbesar negara-negara berkembang itu, jika meletus krisis hutang internasional, maka RRT akan mengalami kerugian yang sangat besar. 

Seyogyanya, PKT bekerjasama erat dengan masyarakat internasional, terutama dalam hal ini dengan Paris Club dan IMF. Tetapi dalam hal memberi hutang PKT tidak transparan, perjanjian hutangnya pada umumnya melanggar “kesepakatan khusus” dalam praktik internasional, serta memasang “jebakan hutang” dengan memberikan hutang, serta mengekspor korupsi dan alat pemerintahan totaliter. Oleh sebab itu PKT tidak hanya menolak bergabung dalam Paris Club, juga tidak menerima alur pemikiran perestrukturisasian hutang internasional. 

Inilah yang menimbulkan konflik yang begitu besar antara PKT dengan negara debitur, dengan negara kreditur lain serta masyarakat internasional. 

Dalam KTT G20 kali ini, dilihat dari pidato Xi Jinping dan deklarasi KTT, dalam menyelesaikan masalah hutang negara berkembang tidak diperoleh perkembangan yang berarti.

 Kedua, Bersikap Mendominasi Diplomatik Bilateral

KTT G20 adalah ajang penting bagi Xi Jinping dalam melakukan diplomatiknya. Sejak menghadiri KTT G20 ke-8 di St. Petersburg Rusia pada September 2013 lalu, Xi selalu hadir atau memimpin rapat. Kali ini dalam KTT di Bali, digencarkanlah olehnya diplomatik kepala negara yang intens.

Menurut berita resmi RRT, di luar acara penting pertemuan pemimpin AS dan RRT, Xi Jinping juga menemui Presiden Prancis Emmanuel Macron, PM Spanyol Pedro Sanchez, Presiden Argentina Alberto Fernandez, Presiden Senegal Macky Sall, Presiden Korea Selatan Yoon Suk-Yeol, PM Australia Anthony Albanese, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa, PM Belanda Mark Rutte, PM Italia Giorgia Meloni, serta Sekjend PBB Antonio Guterres, dan lain-lain.

Satu detail kecil bisa terlihat sikap mendominasi diplomatik bilateral dari sisi PKT: Dalam semua perundingan bilateral, menurut foto yang dipublikasikan oleh kantor berita Xinhua News, selain Biden, Xi Jinping selalu berdiri di posisi utama, sementara pemimpin lain berdiri di posisi tamu, menunjukkan merekalah yang datang mengunjungi Xi Jinping.

 Dan di antara sekian banyak pemimpin negara yang menghadiri KTT tersebut, dipilihnya orang-orang tersebut di atas oleh Beijing, adalah berdasarkan pertimbangan yang sangat cermat. 

Contohnya, pertemuan dengan Macron, adalah “berharap pihak Prancis dapat mendorong Uni Eropa agar bersikap independen dan membuat kebijakan yang proaktif terhadap RRT”, dan melobi Prancis dengan kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz sebelumnya ke Tiongkok yang telah mendapat manfaat tidak sedikit; menemui Yoon Suk-Yeol, adalah agar Korea Selatan menjaga keseimbangan antara AS dengan RRT, menahan Korea Selatan untuk bergabung dalam aliansi “Chip4” dan membentuk “aliansi militer AS-Jepang-Korsel”; menemui Albanese karena hendak memanfaatkan sanksi ekonomi untuk memaksa PM Australia itu mengalah.

Ketiga, “Negara Bermasalah” Semakin Banyak

Akan tetapi, media massa resmi RRT tidak memberitakan Xi Jinping telah menemui PM Kanada Justin Trudeau (pertemuan pertama kali sejak tiga tahun terakhir). 

Pada tanggal 15 lalu, keduanya “secara kebetulan bertemu” sekitar belasan menit, media resmi PKT hanya menyebutkan satu kalimat “pemimpin negara RRT dan Kanada berdialog singkat”, pemerintah Kanada justru seperti biasanya menerbitkan naskah pers kepada media massa, mengungkapkan konten inti dari pembicaraan tersebut, di antaranya termasuk Trudeau menyampaikan “keprihatinan serius” terhadap tindakan PKT yang telah campur tangan dalam pemilu federal Kanada. 

Hari berikutnya wartawan foto Kanada menangkap pemandangan di lokasi G20, kedua tokoh kembali bertemu di aula tempat banyak orang berlalu Lalang.

Diplomatik kepala negara G20 Xi Jinping, juga mengalami kegagalan yang tidak besar juga tidak kecil, yakni pertemuan dengan PM Inggris Rishi Sunak dibatalkan. 

Pertemuan yang tadinya akan menjadi pertemuan pertama pemimpin Inggris dan RRT sejak lima tahun terakhir terus menegangnya hubungan kedua negara, juga merupakan salah satu pertemuan terpenting bagi PM Inggris yang baru dilantik pada akhir Oktober lalu itu selama KTT G20, tapi seorang juru bicara wanita Inggris memberitahu kantor berita AFP, pertemuan kali ini “dibatalkan karena masalah pengaturan jadwal”.

 Akan tetapi, masalahnya mungkin tidak sesederhana itu. Reuters memberitakan, dalam pesawat khususnya saat terbang menuju KTT G20 Sunak ditanya apakah Inggris seharusnya memasok senjata bagi Taiwan, Sunak menjawab, Inggris sedang mengevaluasi segala kebijakan terkait, “Kebijakan kami terhadap Taiwan sangat jelas, yakni tidak seharusnya secara sepihak mengubah kondisi yang ada, harus menyelesaikannya dengan cara damai. Seperti kami menentang invasi PKT, kami sewaktu-waktu bersiap membantu Taiwan.”

Selain itu, pada jamuan makan malam pertama pada KTT G20, Xi Jinping dan PM India Modi melakukan perbincangan yang panjang, media massa RRT juga tidak memberitakannya. India akan menjadi tuan rumah KTT G20 pada 2023. 

Di tengah situasi besar konfrontasi AS dengan PKT, bagaimana memperbaiki hubungan RRT dengan India, juga sangat memusingkan bagi PKT.

 Kesimpulan

Krisis moneter yang meletus pada 2007, telah membuat AS memohon bantuan pada PKT, Obama yang waktu itu menjabat sebagai presiden AS mengembangkan forum kerjasama ekonomi internasional 7 negara (G7) berubah menjadi 20 negara (G20), pengaruh internasional PKT pun meningkat pesat sejak saat itu. 

PKT juga menyombongkan diri: “Akan menyumbangkan kebijakan dan program Tiongkok untuk menyelesaikan masalah besar dunia”, dan “menunjukkan arah bagi dunia yang sedang mengalami kekacauan”. 

Tetapi dilihat dari KTT G20 kali ini, dalam banyak ajang diplomatik multilateral PKT relatif sangat pasif, peningkatan pengaruhnya sudah berakhir. 2022 ini tidak hanya merupakan titik balik bagi memburuknya perekonomian Tiongkok dan politik PKT, mungkin juga merupakan titik balik bagi menurunnya pengaruh internasional PKT.

 Menurunnya pengaruh internasional PKT, adalah karena masyarakat internasional semakin mengenali sifat asli PKT, contohnya dari hal-hal kecil berikut ini: Sehari sebelum KTT G20, di tempat pertemuan Biden dan Xi Jinping, pada saat para wartawan akan meninggalkan tempat, seorang wartawati AS bertanya dengan suara lantang pada Biden: Apakah Anda akan mengemukakan masalah HAM pada Xi Jinping? Waktu itu tiba-tiba seorang pejabat PKT yang tidak diketahui identitasnya, mendadak menarik keras tas punggung wartawati itu, menyebabkannya kehilangan kesimbangan, lalu si wartawati didorong keras ke arah pintu. Seketika itu dua orang petugas Gedung Putih ikut mencampuri dan menyebutkan wartawati itu tidak seharusnya diintervensi.

Di Daratan Tiongkok, pejabat melakukan tindakan fisik bahkan memukul, adalah hal yang lumrah terjadi, penguasa PKT juga acap kali menghukum dan menahan wartawan yang tidak mereka sukai. 

Kali ini di ajang internasional pertemuan Biden dan Xi Jinping yang menjadi sorotan internasional secara terbuka dilakukan tindak kekerasan, apa makna dari kejadian ini? Ini tidak hanya serangan fisik terhadap seorang reporter Amerika, juga tidak hanya tantangan dan pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat Dunia Barat, melainkan merupakan pelecehan atas nilai-nilai universal, adalah paparan besar sifat otoritarian rezim RRT.

Negara normal manakah yang hendak berjalan bersama dengan PKT? Dan sosok seperti apakah mereka yang mau berdansa bersama PKT? (sud)