Kematian Mantan Pemimpin PKT Jiang Zemin Mendesak Agar Rezim Bertanggung Jawab atas Warisan Penganiayaan Berdarah

Eva Fu

Kematian mantan pemimpin partai komunis Tiongkok Jiang Zemin, yang meluncurkan salah satu kampanye paling berdarah melawan kelompok spiritual dalam sejarah modern, membawa seruan terbaru dari para pembela hak asasi manusia untuk meminta pertanggungjawaban rezim Tiongkok atas pelanggaran yang meluas.

Jiang berkuasa setelah pembantaian Lapangan Tiananmen 1989, memimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) dari tahun 1993 hingga 2003, meskipun pengaruhnya di dalam Partai bertahan selama bertahun-tahun setelah dia secara resmi mengundurkan diri.

Kematiannya pada 30 November karena leukemia dan beberapa kegagalan organ telah menjadi fokus kekejaman Beijing, menurut kritikus Tiongkok dan pembela hak asasi manusia, yang menganggap legacy utamanya sebagai arsitek dari serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang terus mengancam hak dasar jutaan orang di Tiongkok pada saat ini.

Mantan diktator Tiongkok Jiang Zemin di Aula Besar Rakyat di Beijing, Tiongkok, pada 8 November 2012. (Feng Li/Getty Images)

“Jiang Zemin meninggal dunia sebagai tukang jagal yang memalukan,” kata Chen Yonglin, mantan konsul politik di Konsulat Tiongkok di Sydney yang membelot ke Australia pada 2005, kepada The Epoch Times.

Penindasan Berdarah

Di antara komunitas hak asasi manusia, Jiang paling dikenal karena meluncurkan penganiayaan  yang menargetkan kelompok spiritual Falun Gong—sebuah kampanye penindasan yang masih berlanjut hingga hari ini.

Selama 1990-an, disiplin yang melibatkan latihan meditasi dan ajaran moral berdasarkan prinsip-prinsip Sejati, Baik, dan Sabar sangat populer menyebabkan sekitar 100 juta praktisi yang berlatih di Tiongkok. Popularitas ini dianggap Jiang sebagai ancaman terhadap pemerintahan otoriternya.

Aksi di kawasan monumen Kencana Arjuna Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015). Aksi ini digelar dengan tuntutan kepada bekas pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT) Jiang Zemin ke pengadilan sebagai aktor utama penganiayaan dan kejahatan genosida kepada praktisi Falun Gong di Tiongkok (Epoch Times)

Pada 1999, Jiang menciptakan organisasi mirip Gestapo yang disebut Kantor 610 yang mengesampingkan kerangka hukum Tiongkok untuk melakukan kampanye luas untuk memberantas Falun Gong. Pada tahun-tahun berikutnya, pengikut Falun Gong menjadi sasaran kampanye kebencian yang meluas dan jutaan orang-orang menderita pemenjaraan dan penyiksaan di kamp kerja paksa, penjara, pusat rehabilitasi narkoba dan bangsal psikiatri Tiongkok.

Para penyelidik internasional  menyimpulkan bahwa telah terjadi pengambilan organ secara paksa secara luas dari para praktisi Falun Gong yang ditahan di bawah perintah rezim,  dimulai pada awal tahun 2000-an dan masih terus berlanjut.

Eulogi di media pemerintah Tiongkok memuji peran Jiang dalam memadamkan protes Tiananmen tahun 1989 dan menggambarkan kematiannya sebagai kerugian  tak ternilai bagi Partai. Tetapi Chen, yang secara pribadi menyaksikan pembantaian berdarah di Beijing pada tahun 1989 dan kehilangan ayahnya selama 10 tahun Revolusi Kebudayaan yang mana menghancurkan negara tersebut pada dekade sebelumnya, memiliki pemahaman yang berbeda.

‘Bawa Jiang Zemin ke Pengadilan’ menjadi tuntutan masyarakat Tiongkok dan internasional. (foto Dai Bing/Epoch Times)

“Partai Komunis Tiongkok adalah sindikat kejahatan,  dia adalah juru mudinya, dia memiliki segunung hutang darah padanya,” ujarnya. 

Awal dari Akhir?

Bagi Erping Zhang, juru bicara Falun Dafa Information Center,  kematian Jiang menawarkan jendela untuk refleksi. Meskipun, kata dia, dapat memberikan sumber pelipur bagi para pembangkang dan korban yang mengalami penindasan di bawah pemerintahannya, berita tersebut juga menandai hilangnya kesempatan untuk menyeretnya ke pengadilan. 

Zhang mengatakan bagi para pengikut setia Jiang di Tiongkok, sekarang mungkin sudah saatnya berdiri dengan kebenaran. 

Ketua Himpunan Falun Dafa Indonesia (HFDI) Gatot Machali di Depan Kedubes RRT di Jakarta 18 Juli 2020 (Epoch Times)

Kematian Jiang terjadi pada saat yang bergejolak,  ketika PKT menghadapi tantangan terberatnya dalam beberapa dekade.

Selama seminggu terakhir, aksi protes pecah di lebih dari selusin kota di Tiongkok menyerukan diakhirinya kebijakan rezim nol-COVID yang kejam, dengan beberapa demonstran bahkan menyerukan partai yang berkuasa untuk mundur.

Bagi Zhang, perkembangan tersebut mengingatkannya kepada apa yang biasanya terjadi menjelang perubahan dinasti selama sejarah panjang Tiongkok. Pada saat itu, negara terbelah dan permusuhan meningkat dari semua sisi.

“Ketika penganiayaan terhadap Falun Gong pertama kali dimulai, targetnya sekitar 100 juta orang,  beberapa orang menghindar karena mereka pikir itu tidak ada hubungannya dengan mereka,” katanya mengutip perkiraan pada saat itu. 

Aksi damai dan teatrikal di kawasan monumen Kencana Arjuna Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Sabtu (5/12/2015). Aksi ini digelar dengan tuntutan kepada bekas pejabat Partai Komunis Tiongkok (PKT) Jiang Zemin ke pengadilan sebagai aktor utama penganiayaan dan kejahatan genosida kepada praktisi Falun Gong di Tiongkok.

“Tapi kemudian [PKT] mengejar orang Kristen, pengacara hak asasi manusia, dan Uighur Xinjiang. Sekarang kebijakan nol-COVID menyentuh semua orang. Tak ada yang tertinggal.”

Senada dengan Chen. “PKT telah jatuh dari puncak kekuasaannya dan sekarang berada di tempat yang genting,” katanya. Ia  percaya bahwa kematian Jiang bisa menjadi awal dari kejatuhan rezim tersebut.

Tetapi kematian seharusnya tidak menandai akhir dari pertanggungjawaban. Cepat atau lambat, dia berekspektasi untuk melihat “penyelesaian” —dengan Jiang dan PKT. (asr)