Selandia Baru, Negara Pertama di Dunia yang Larang Tembakau Seumur Hidup pada Kaum Muda

Rebecca Zhu

Selandia Baru telah mengesahkan undang- undang pertama di dunia yang melarang kaum muda membeli tembakau seumur hidup karena undang-undang tersebut bertujuan untuk menjadikan negara itu “bebas rokok” pada 2025.

Undang-undang melarang semua anak muda yang lahir pada atau setelah 1 Januari 2009 untuk membeli tembakau seumur hidup, yang berarti usia minimum untuk membeli sebungkus rokok akan terus meningkat.

Menteri Riset, Teknologi, dan Inovasi, Ayesha Verrall mengatakan, undang-undang tersebut mempercepat kemajuan menuju masa depan yang bebas rokok dan lebih sehat untuk generasi berikutnya.

“Ribuan orang akan hidup lebih lama, hidup lebih sehat, dan anggaran sistem kesehatan akan menjadi $3,2 miliar lebih baik karena tidak perlu mengobati penyakit akibat merokok, seperti berbagai jenis kanker, serangan jantung, stroke, amputasi,” ujarnya.

Saat ini, delapan persen orang dewasa Selandia Baru adalah perokok harian, setengah dari tingkat jika dibandingkan dengan satu dekade lalu.

“Kami telah melakukannya dengan baik sebagai negara untuk sampai ke ti- tik ini, tetapi masih banyak yang harus dilakukan. Itu sebabnya undang-undang yang disahkan hari ini sangat penting, di mana dapat menempatkan kami dengan kuat di jalur Smokefree 2025,” kata Verrall.

RUU tersebut disahkan dengan dukungan dari Partai Buruh, Partai Hijau, dan Te Pati Maori (Partai Maori), sementara Partai Nasional dan ACT menentangnya. Brooke van Velden, wakil ketua Partai ACT, mengatakan, tujuan untuk mengurangi rokok adalah salah satu yang kedengarannya bagus secara teori tetapi sebaliknya akan membuat toko serba ada lokal gulung tikar dan menciptakan pasar gelap untuk tembakau.

“Tidak ada yang ingin melihat orang merokok … tetapi kita hidup dalam kenyataan, dan kita tahu itu terjadi, dan beberapa orang akan merokok,” katanya kepada Parlemen.

“RUU ini, bukannya membantu masyarakat kita, hanyalah larangan negara yang akan menimbulkan lebih banyak masalah di masyarakat kita karena pada kenyataannya, efeknya akan menciptakan pasar gelap yang besar, itu akan membunuh toko serba ada di masyarakat kita, dan itu akan meningkatkan aktivitas ilegal dan bahaya di masyarakat.”

Dia juga mencatat bahwa RUU tersebut, yang juga menetapkan batasan jumlah nikotin dalam setiap batang rokok, akan menyebabkan orang yang kecanduan menghabiskan lebih banyak uang untuk barang tersebut.

“Efeknya adalah jika mereka  merokok  lebih  banyak  untuk  mendapatkan hit yang sama, mereka akan meningkatkan asupan tar mereka, yang sebenarnya lebih buruk bagi kesehatan mereka. Ini akan meme-ngaruhi keluarga yang  paling tidak mampu membelinya,” kata van Velden.

Partai   Nasional   mendukung   pengurangan nikotin dan tujuan masa depan bebas asap rokok tetapi tidak setuju dengan garis waktu Partai Buruh yang terburu-buru untuk mencapainya, dengan mengatakan bahwa pengecer kecil akan terpukul paling keras di bawah undang- undang baru itu.

Nicola Willis, wakil ketua Partai Nasional mengatakan, dia ingin melihat pengurangan penggunaan tembakau secara bertahap dari waktu ke waktu untuk meminimalkan kerusakan tambahan.

“Kami pikir denikotisasi produk tembakau harus dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian dihapus dari ritel,” katanya kepada Radio NZ.

“Saat ini, usulannya adalah mengurangi jumlah pengecer produk tembakau dari 6.000 menjadi 600 tahun depan. Itu adalah … pengurangan yang  dramatis, dan kami khawatir belum ada upaya per- tama untuk mengatasi permintaan nikotin dalam produk.”

Kaum Muda Lebih Tertarik dengan Vape

Namun undang-undang itu hanya memengaruhi rokok tembakau dan tidak mencakup vape, yang lebih menarik bagi kaum muda.

Sebuah survei terhadap  siswa  kelas 10 oleh Asthma and Respiratory Foundation NZ (ARFNZ) menemukan bahwa 1,1 persen siswa yang disurvei adalah perokok harian, sementara satu dari sepuluh orang menggunakan vape.

Yayasan itu turut menyambut baik berita bahwa pengguna vape reguler sedikit menurun — untuk pertama kalinya — dari 20 persen pada 2021 menjadi 18 persen pada 2022.

Letitia Harding, kepala eksekutif ARFNZ mengatakan, upaya berkelanjutan yang ditargetkan akan diperlukan untuk “mengubah arus” kegiatan vape kaum muda.

“Kita tidak bisa berhenti sekarang,” katanya pada 1 Desember. “Kita perlu memastikan bahwa inisiatif bebas vape juga memiliki sumber daya yang baik dan didukung untuk melindungi kesehatan generasi muda kita.”

Pada 2021, Harding mengatakan bahwa vape dapat menjadi alat yang berguna bagi orang dewasa untuk membantu berhenti merokok, tetapi akses yang mudah ke vape untuk kaum muda “sangat mengkhawatirkan”.

Kardiolog Prof. Scott Harding mengatakan, meskipun vape  mungkin kurang berbahaya daripada rokok yang mudah terbakar, vape masih membuat pengguna terpapar zat beracun yang telah menunjukkan efek kesehatan yang merugikan.

Bahan kimia adiktif seperti nikotin sangat berisiko bagi remaja. Karena otak mereka masih berkembang, khususnya bagian yang bertanggung jawab untuk pengambilan keputusan dan logika. Nikotin dapat menghambat perkembangan saraf, menempatkan mereka pada risiko kecanduan yang lebih tinggi.

Di Amerika Serikat, wabah EVALI (e- cigarette atau vaping acute lung injury) muncul, memuncak pada 2019, dengan beberapa laporan anekdot remaja yang membutuhkan transplantasi paru-paru dipublikasikan.

Di Australia, sebuah survei oleh Biro Statistik Australia dari usia 18 hingga 24 tahun mengungkapkan bahwa lebih dari satu dari lima orang telah mencoba alat vape, sementara lebih dari 83 persen tidak pernah merokok.

Harding menyerukan pengetatan peraturan vape dan “segera” ingin melihat tingkat maksimum nikotin yang diperbolehkan dalam vape dikurangi  dari  50mg/ ml menjadi 20mg/ml, sejalan  dengan tingkat yang telah berlaku di Uni Eropa. (osc)