Lato-lato Sebagai Uji Coba Revolusi Budaya Tahun Baru 2023

WAN JAYA

Ada yang tak biasa di tahun baru 2023 ini. Trompet kalah viral dengan lato-lato, sehingga nyaring trompet tahun baru teredam lato-lato. Kalau kita jeli mengamati suasana, jelas tahun baru 2023 adalah tahun baru yang tak biasa. Tahun baru dengan lato-lato. Sebuah permainan yang terdiri dari dua pendulum bola yang dibentur-benturkan.

Lato-lato bukan mainan baru. Mainan lama yang digemari lagi. Kata latto-latto berasal dari Bugis, kalau di Makasar disebut katto-katto, dan di Pulau Jawa disebut dengan etek-etek. Mainan ini sebenarnya bukan mainan lokal tapi mainan impor. Muncul sekitar 1960-an dan populer pada 1970-an di Amerika dengan nama clankers, click-clacks, atau knockers.

Mainan ini sangat digemari anak-anak Indonesia pada 1990-an dan lenyap bak ditelan bumi pada 2000-an.

Namun permainan ini tak bertahan lama di negeri asalnya, Amerika. Di era itu lato-lato terbuat dari bahan kaca. Tak jarang, mainan ini pun menimbulkan cedera mata ketika dimainkan. Sejumlah anak anak di Amerika Serikat (AS) mengalami cedera. Akhirnya Badan Pengawas Obat dan Makan- an AS (FDA) pun melarangnya. Dan ini didukung sejumlah organisasi dan komunitas di AS untuk menghindari resiko kebutaan pada anak. Akhirnya lato-lato dibuat dengan bahan plastik agar lebih aman. Namun sayang, walaupun sudah terbuat dari plastik, lato-lato juga tetap membahayakan karena masih bisa pecah. Tapi tak seberbahaya ketika berbahan kaca.

Bukan hanya di AS lato-lato menimbulkan masalah, di Inggris juga sempat menjadi permasalahan nasional. Pemerintah menemukan bahwa bahwa pecahan bola kaca melukai anak, selain itu bentuknya yang seperti senjata bisa disalahgunakan, bisa membuat patah tulang, suara berisik yang ditimbulkan lato-lato juga lumayan mengganggu orang di sekitar dan bahkan bentuknya yang mirip dengan senjata koboi Argentina bernama bolas, sebuah senjata yang biasanya dipakai untuk berburu hewan Llama. Ditambah lagi banyak kasus kekerasan yang ditimbulkan lato- lato. Beberapa anak sempat dilukai menggunakan lato-lato.

Di Inggris pada 1971, permainan ini perlahan lenyap. Para produsen lato-lato  berhenti  memproduksi dan memulangkan karyawannya. Setidaknya sekitar 170 pekerja di pabrik produsen lato-lato di Inggris terdampak dan menyisakan 400 juta lato lato tak terpakai di gudang. Pada sekitar Desember 2022, demam lato-lato mencuat kembali. Ini dipicu video-video yang viral di Tiktok dan akhirnya menjadi “bola salju viralitas” yang membuat anak- anak bahkan orang dewasa ingin memainkan permainan ini. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, permainan lato-lato dikompetisikan hingga diadakan turnamen lato-lato terlama. Hingga muncul bocah dari Garut Jawa Barat yang dinobatkan sebagai pemenang pemain lato-lato terlama yakni 5 jam non-stop. Bahkan para publik figur dan pejabat seperti Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil dan Presiden Joko Widodo juga memainkan permainan ini. Walhasil, demamnya mungkin bisa mengalahkan demam virus corona varian delta.

Bermain lato-lato dipercayai berdampak positif bagi anak terutama untuk meningkatkan kemampuan motorik, konsentrasi, dan keseimbangan. Tapi juga ada anggapan mencuatnya permaian ini sebagai kode alam akan adanya adanya adu domba atau perbenturan dua kelompok yang mempunyai pandangan politik yang berbeda, apalagi 2023 -2024 adalah tahun politik, sebagaimana bola pendulum lato-lato yang berbenturan di atas dan bawah saat dimainkan. Tapi kita berharap hal itu jangan sampai terjadi.

Lantas bagaimana dengan sejarah trompet yang sudah ribuan tahun menandai pergantian tahun? Trompet menjadi salah satu tradisi perayaan tahun baru yang tidak boleh terlewatkan. Meniup trompet konon disebut datang dari tradisi masyarakat Yahudi yang menyambut perayaan Pada malam tahun baru, mereka melakukan evaluasi diri dengan meniup alat musik sejenis trompet dengan nama Shofar yang disebut sudah ada sejak 1.500 tahun sebelum masehi. Meski awalnya hanya digunakan saat ritual keagamaan dan kenegaraan, Shofar makin populer pada masa Renaisans hingga kini. Shofar memiliki bunyi yang sama dengan trompet masa kini yang selalu identik dengan perayaan tahun baru yang kaya akan nilai evaluasi diri menjadi lebih baik.

Selain trompet dalam tradisi merayakan tahun baru, selalu ada pesta kembang api. Kembang api berasal dari tradisi Tiongkok. Sekitar tahun 700-800 masehi, seorang ahli kimia di Tiongkok mencampurkan kalium nitrat, sulfur, dan arang. Ketiga zat ini menghasilkan bubuk mesiu yang dipercaya bisa mengusir roh-roh jahat. Cara menggunakannya yaitu dengan memasukkan bubuk ke dalam bambu, kemudian melemparkan bambu tersebut ke  permukaan api. DUARRR! Ledakan pun terjadi dalam hitungan detik.

Selang beberapa tahun, masyarakat Tiongkok menyadari bahwa mesiu juga dapat dimanfaatkan sebagai senjata perang. Mereka terbiasa menaruh mesiu di busur panah atau mencampurkannya ke bahan dasar pembuatan bom. Setelah itu penjelajah Marco Polo membawa bubuk mesiu dari Tiongkok ke Benua Eropa. Di sinilah kembang api mulai dikenal oleh masyarakat dunia. Ada yang menggunakannya sebagai bahan baku senjata perang, namun ada juga yang menjadikan kembang api sebagai simbol perayaan.

Uji Coba Revolusi Budaya?

Tiktok dianggap sebagai senjata yang serba mampu. Ada yang mengatakan sebagai alat revolusi kebudayaan, yaitu dengan melakukan patahan kebudayaan yang sudah mapan. Demam lato-lato yang dipicu viralitas di Tiktok ternyata bisa mengalahkan tradisi trompet yang digunakan selama ratusan tahun untuk menyambut datangnya tahun baru, bisa dimaknai sebagai bentuk uji coba revolusi kebudayaan yang terbukti efektif. Jika ditinjau dari makna dan sejarah setiap permainan (lato lato vs trompet) itu ada upaya merevolusi pemaknaan orang dari nilai instropeksi diri trompet menjadi nilai saling berbenturan atau filosofi pertempuran yang dilambangkan dari permainanannya. Pesannya adalah jangan mau dibentur-benturkan, biar kita tidak jadi permainan. Jaga harmoni dan persatuan, biar di tahun politik 2023-2024 tidak jadi bangsa yang centang-perenang. (et)