Analisis : Ledakan Pandemi Akibat Ulah Manusia, PKT Perangi Langit dan Bumi Tapi Tak Mampu Kalahkan Virus

Song Tang & Yi Ru

Baru-baru ini Tiongkok mengalami blowout (ledakan, red.) pandemi, berbagai pemandangan memilukan sangat mengkhawatirkan. Penguasa PKT kukuh akan ideologi komunisnya dengan sikap “memerangi langit (virus) menghancurkan bumi (siklus alam) dan menentang manusia (negara Barat)”, telah mempolitisasi pencegahan pandemi, serta menolak menerima model pencegahan pandemi Barat juga bantuan obat-obatan dan vaksin Barat, sehingga terjadilah tragedi hari ini.

Pandemi ini bagi negara lain di dunia, adalah suatu bencana dan krisis kesehatan publik; sedangkan di Tiongkok, bencana justru bersumber dari filosofi pertarungan PKT sehingga menyebabkan malapetaka ini, dan juga akibat yang disebut “keunggulan sistem” PKT.

Blowout Pandemi Akibat Ulah Manusia

Setelah hampir tiga tahun menerapkan kebijakan “Nol-COVID”, justru terjadi tsunami pandemi COVID di Daratan Tiongkok, menjadikannya sebagai pusat terpapar virus yang terbesar di dunia. Perusahaan data kesehatan asal Inggris yakni Airfinity pada Jum’at (30/12) lalu merilis siaran pers yang menunjukkan, di Tiongkok setiap hari sebanyak 1,8 juta orang terpapar COVID-19, setiap hari sekitar 11.000 orang korban meninggal akibat wabah; angka kematian kumulatif pada Desember mencapai 110.000 orang meninggal, diperkirakan hingga akhir April mendatang, di Tiongkok akan ada sebanyak 1,7 juta orang meninggal dunia akibat COVID-19.

Jika demikian, mungkin ini adalah gelombang kematian terbesar yang dialami negeri tirai bambu itu sejak 3 tahun wabah kelaparan. Selama 3 tahun wabah kelaparan dari 1959 hingga 1961 silam, sebanyak 15 juta hingga 55 juta orang telah meninggal secara tidak wajar, terutama akibat PKT “memerangi langit”, melanggar siklus alam dengan menerapkan Gerakan Lompatan Jauh ke Depan, Gerakan Komune Rakyat, dan sebagainya.

Sama seperti wabah kelaparan, pandemi ini bagi negara lain di dunia, adalah suatu bencana dan krisis kesehatan publik; sedangkan bagi Tiongkok, bencana ini terutama berasal dari filosofi bertarung PKT yang menyebabkan malapetaka ini, serta yang disebut “keunggulan sistem” yang disombongkan PKT.

Seorang warganet mengkritisi, “Kontradiksi utama masyarakat saat ini adalah: Kontradiksi antara kecerdasan rakyat yang makin meningkat dengan kebohongan yang makin terbelakang”.

Sejak 2012 sepuluh tahun lalu, PKT mulai mempropagandakan “tiga percaya diri” yaitu “percaya diri (akan ) jalan (yang ditempuh), percaya diri akan teori, dan percaya diri terhadap sistem”, lalu sejak 2014, Xi Jinping menambahkan lagi “percaya diri akan budaya”, sehingga terbentuklah “empat percaya diri”. Setiap kali PKT mengalami krisis, selalu jadi ajang bagi PKT untuk “bertikai” dengan negara bebas dan mempropagandakan “keunggulan sistem”, mulai dari perang dagang AS-RRT, menindas gerakan demokrasi Hong Kong, sampai merebaknya pandemi sekarang, semuanya demikian.

Selama tiga tahun dilanda pandemi, PKT secara brutal melakukan lockdown, dan memaksakan “Nol-COVID”, bukannya memperluas sistem perawatan kesehatan, malahan terlalu percaya diri terhadap kebijakan Nol-COVID dan melakukan investasi terlalu berlebihan untuk kebijakan tersebut, ditambah lagi adanya tuntutan politik dan propaganda, sehingga membuat petugas medis tidak tahu mana yang harus diprioritaskan.

Selama tiga tahun terakhir sebagian besar waktu itu dimanfaatkan oleh penguasa PKT untuk melakukan propaganda kasar dengan mengatasnamakan pandemic: Yakni bahwa negara lain di dunia terutama negara Barat terseret ke dalam samudera virus, sedangkan Tiongkok tidaklah demikian.

Selama tiga tahun tersebut, berbagai propaganda seperti “perjuangan melawan pandemi telah menonjolkan keunggulan sistem PKT”, “krisis milenial sistem negara Barat di bawah pandemi dan keunggulan sistem PKT” dan lain sebagainya telah memenuhi semua media massa PKT.

Berangkat dari ideologi bertikai dengan dunia Barat, PKT terus mendoktrin masyarakatnya dengan nasionalisme yang melenceng dan dungu, penguasa bersikukuh harus ada cara penyelesaian lokal, tidak mau menyerap vaksin mRNA dari Barat yang lebih efektif, walaupun negara lain sudah lebih awal menyelesaikan masalah.

Paxlovid adalah semacam obat anti-virus yang digunakan untuk mengobati COVID-19, karena fungsi kuat mampu menurunkan risiko penyakit berat, sehingga dianggap sebagai pengubah permainan dalam wabah ini. Walaupun PKT mengizinkan pemakaian Paxlovid, tapi karena berasal dari negara Barat, maka tidak mengimpor atau memproduksi atau menjualnya dalam jumlah besar.

Pada Maret 2022 lalu, karena pandemi merebak di Shanghai, RRT mengimpor Paxlovid untuk pertama kali sebanyak 21.200 kotak, tapi yang dikeluarkan sangat sedikit, sangat tidak mencukupi kebutuhan, penguasa khawatir Paxlovid akan merugikan kompetitor lokal.

Rumah sakit swasta maupun pemerintah di Tiongkok mengatakan, stock obat itu sudah kosong, hanya tersisa sedikit untuk pasien yang kondisi kesehatannya kronis. Fenomena sulitnya mendapatkan Paxlovid, telah melambungkan harganya di pasar gelap hingga mencapai USD 3.000 per kotak (46.842.900,00 rupiah). 

Sebaliknya, selama beberapa bulan terakhir, walaupun kurang dukungan data uji klinis, Beijing masih saja terus menerus mempromosikan khasiat “Lianhua Qingwen” [semacam obat tradisional yang mengandung Japanese Honeysuckle (Lonicera Japonica), Licorice Root (Glycyrrhiza glabra), dan Goldenbell (Forsythia suspensa), red.] dan Azvudine (semacam obat AIDS buatan RRT) sebagai metode pengobatan yang efektif. 

Adjunct Professor di Graduate Institute of Development Studies National Chengchi University Taiwan yakni Li Youtan menyatakan kepada The Epoch Times, “Ini lagi-lagi adalah nasionalisme sebagai panglima. Vaksin Kexing produk RRT bermakna Kemakmuran Ilmu Pengetahuan dan teknologi (RRT), pengobatan nasional, pengobatan Tiongkok, Lianhua Qingwen, dan lain sebagainya, mereka berpikir bahwa pengobatan nasional Komunis Tiongkok pasti lebih efektif daripada pengobatan asing. Fakta membuktikan, tidak ada dasar ilmiahnya, seperti diketahui, Eropa dan Amerika telah membuka stadion sepak bola yang memuat 80.000 orang, tanpa harus memakai masker, juga tidak perlu tes PCR, mereka telah hidup berdampingan dengan virus, karena vaksin dan obat-obatan mereka efektif.”

Politisasi Virus, Pertarungan Antara Dua Jalur Pencegahan Pandemi

Pada Mei 2020 lalu WHO menyatakan, virus COVID mungkin akan seperti HIV dan menjadi epidemi, mungkin selamanya tidak akan hilang. Pada Januari 2021, jurnal ilmiah Nature telah mewawancarai lebih dari seratus orang ahli imunologi, virologi, dan pakar kesehatan di seluruh dunia, apakah virus COVID dapat dilenyapkan hingga ke akarnya? Hampir 90% koresponden mengatakan “tidak bisa”.

PKT justru mempolitisasi tindakan pencegahan pandemi, antara “Nol-COVID” dan “hidup berdampingan dengan virus” telah menjadi pertarungan antara sistem PKT dengan sistem Barat, “hidup berdampingan dengan virus”, sebelum awal Desember 2022 adalah sebuah diskusi yang terlarang di Tiongkok.

Pada suatu rapat pada 5 Mei 2022 lalu, Xi Jinping kembali menekankan terus memperketat kebijakan pencegahan pandemi dewasa ini, dan mengatakan “harus gigih melawan segala pernyataan yang mendistorsi, meragukan, atau menyangkal kebijakan pencegahan pandemi negara kita”.

Pada Oktober 2022 lalu, pakar Komisi Kesehatan Nasional RRT yakni Liang Wannian pada saat membicarakan mengapa tidak bisa “hidup berdampingan” dengan virus, dikemukakannya lima alasan, dan alasan pertama ternyata adalah slogan propaganda politik PKT yakni “rakyat di atas segalanya dan kehidupan di atas segalanya”.

Terhadap slogan PKT “rakyat di atas segalanya”, Li Youtan mengatakan, “Di negara demokrasi HAM selalu diutamakan, nyawa manusia nomor satu, namun, rezim partai komunis Tiongkok sejak awal sampai sekarang, pada dasarnya selalu menganggap nyawa manusia ibarat nyawa semut.”

Hingga sebelum 7 Desember 2022, PKT masih tidak mengakui “hidup berdampingan dengan virus”. Setelah 7 Desember 2022, walaupun pada praktiknya sudah “hidup berdampingan dengan virus”, tetapi slogan dalam propaganda pemerintah, tetap bersikukuh mengatakan “mengoptimalkan pencegahan pandemic (melalui Nol-Covid)”.

Kebijakan “Nol-COVID” PKT pada akhirnya tidak mampu “mengalahkan langit”, tingkat penularan varian virus Omicron terlalu kuat, tidak mampu dilenyapkan hingga nol, pada akhir tahun lalu pandemi di Tiongkok telah kehilangan kendali; lockdown dalam skala besar telah meruntuhkan ekonomi Tiongkok, biaya tes PCR sehari-hari telah sangat menguras asuransi kesehatan dan keuangan pemerintah daerah, penjagaan ketat dan Nol-COVID sudah tidak mampu dilanjutkan lagi.

Akibat yang lebih parah lagi adalah, PKT mengira Nol-COVID dapat mengakhiri pandemi, maka itu semua sumber daya yang ada diinvestasikan untuk alat tes PCR, membuat kabin medis, dan lockdown, sementara cadangan obat-obatan yang dibutuhkan setelah lockdown dicabut, ranjang pasien untuk ICU, dan vaksin tidak dipersiapkan dengan baik, sehingga mengakibatkan kondisi tragis seperti sekarang ini.

Direktur kantor cabang Taipei surat kabar Sankei Shimbun yakni Akio Yaita menyatakan pada The Epoch Times, “Saya merasa masalah utamanya adalah kakunya sistem PKT, karena semua yang diputuskan petingginya adalah keputusan politik, dan bukan keputusan yang profesional.”

“Politik berkuasa di atas segalanya, Xi Jinping tidak mendapatkan pengetahuan profesional sesungguhnya, semua pakar selalu menebak maksud para petinggi, hanya memberitahu hal-hal yang suka didengar para petinggi itu (asal bapak senang). Jadi dalam kondisi seperti ini, saya merasa Xi Jinping melakukan kesalahan teramat besar dalam mengambil keputusan, dia tidak menghormati ilmu pengetahuan, dan menganggap politik dapat menyelesaikan semua permasalahan.”

Jumlah kematian akibat pandemi juga dipolitisir, hingga saat ini, jumlah kematian yang diumumkan resmi oleh PKT masih di angka 5.200-an orang, dan hanya kematian akibat gagal nafas yang diakibatkan oleh virus yang dihitung, dan kematian yang disebabkan penyakit Riwayat/dasar lain (komorbid) tidak dihitung.

Cara penentuan Amerika (dan internasional) adalah, selama di tubuh jasad itu terdapat virus COVID, terpapar virus menjadi salah satu faktor penyebab kematian (bukan penyebab mematikan), maka akan dihitung sebagai kasus kematian akibat terpapar virus.

Seorang warganet mengatakan, menurut statistik CDC Amerika pada Agustus 2020 lalu, kasus kematian akibat COVID di AS, sebanyak 94% memiliki penyakit dasar (asumsi rasio ini tidak banyak berubah setelah tiga tahun), jika berdasarkan standar definisi kematian terbaru yang ditetapkan PKT, maka angka kematian di AS pada saat itu akibat terpapar COVID bukan 1,1 juta orang, melainkan 6% x 1,1 juta = 66.000 orang saja!

Li Youtan menyatakan, “Karakter pemerintahan PKT pada dasarnya adalah kekerasan ditambah dengan kebohongan. Jika PKT tidak menggunakan ketentuan seperti ini, berapa banyak orang meninggal dunia di Wuhan tidak akan bisa diatasi. Jadi PKT menggunakan metode ini, yaitu hanya menghitung kematian langsung yang disebabkan penyakit pernafasan.”

“Saya ada satu kasus pribadi, bibi yang paling menyayangi saya dalam keluarga saya, meninggal dunia di awal tahun 2022, meninggal karena terpapar virus. Dia memiliki penyakit dasar/riwayat, dan tidak divaksin. Lalu adik sepupu saya membawa virus ke rumah, 4 hari kemudian bibi saya tersebut meninggal dunia lantaran tertular. Kalau berdasarkan pernyataan PKT, bibi saya bukan meninggal karena COVID. Tapi faktanya dia meninggal setelah terpapar virus, karena jika dia tidak terpapar virus, walaupun mempunyai penyakit dasar, tidak akan meninggal pada waktu itu. Jadi pernyataan PKT tersebut adalah sangat absurd.”

“PKT memang berniat menggunakan cara semacam ini untuk membohongi rakyat, mengatakan korban meninggal di Tiongkok tidak banyak, kematian di AS mencapai 1 juta orang lebih, begitulah PKT selalu menciptakan kebingungan, semua itu demi menjaga stabilitas kekuasaan politiknya.”

Filosofi Bertarung PKT, Tak Mampu Kalahkan Virus

Sekali demi sekali gerakan politik PKT, dengan mengayunkan gada politik, merusak siklus alam, sekali demi sekali terus menciptakan malapetaka bagi manusia.

Slogan pada gerakan Lompatan Besar ke Depan pada 1958 adalah: “Seberapa besar nyali seseorang, sebanyak itulah tanah bisa menghasilkan padi”, “potensi tanah tak terbatas, berapa banyak dihasilkan sepetak tanah tergantung upaya manusia yang menggarapnya”, “tiga tahun melampaui Inggris, lima tahun melampaui Amerika”, “buruh tambang minyak meraung, bumi akan memuntahkan minyak”. Akibatnya sejak 1959 hingga 1961, Tiongkok dilanda wabah kelaparan yang mengerikan dan telah menewaskan 15 juta hingga 55 juta warga Tiongkok secara tidak wajar.

Akio Yaita menyatakan, “Mao Zedong adalah orang yang berpikiran tidak waras, inilah tradisi PKT selama bertahun-tahun, yaitu tidak menghormati pengetahuan alam ilmiah, ideologi mereka di atas segalanya, Xi Jinping sekarang juga kembali ke model pemerintahan negara seperti itu. Ideologi bagi penguasa adalah semacam cara (kekuasaan) yang lebih gampang, yaitu semua orang harus tunduk kepada kepemimpinannya, maka segala masalah akan dapat diatasi.”

Pemerintahan Xi Jinping kembali lagi ke ideologi Mao Zedong, berusaha menggerakkan sistem seluruh negara melalui propaganda, memaksa populasi dan keuangan Tiongkok yang besar itu untuk “melawan langit (virus) menghancurkan bumi (siklus alam), dan bertarung dengan manusia (negara Barat)” sebagai filosofi bertarungnya. Akibatnya serangkaian proyek raksasa seperti strategi milenium kawasan baru Xiong’an, komunitas manusia senasib, Belt Road Initiative (BRI), semua menjadi proyek mangkrak.

Ketua Partai Rakyat Mongolia Dalam, Ketua Kongres Mongolia Selatan Temtsiltu Shobtsood kepada surat kabar The Epoch Times menyatakan, “PKT berniat manusia mengalahkan langit, akhirnya ekosistem pun rusak, termasuk Mongolia Dalam kami ini, tadinya seluruh Pegunungan Khingan kami ini adalah hutan, dulu orang Jepang datang menebangnya tapi tidak habis, begitu PKT datang seluruh gunung menjadi gundul dibabat, karena Pegunungan Khingan adalah sebuah sabuk padang rumput Mongolia Dalam, yang memastikan keseimbangan air, tanah, dan alam. Akibatnya setelah habis mereka tebang, keseimbangan ekosistem padang rumput di timur laut Khingan menjadi rusak, tanah berubah menjadi pasir.

“Belum lagi badai pasir, padang rumput adalah tempat yang tidak cocok untuk bercocok tanam, PKT hendak mengalahkan langit lalu mengirim pasukan, sebagian dari mereka membuka lahan untuk bercocok tanam, awalnya berjalan baik, mungkin karena zat mineral tanah masih tersisa di dalam tanah, selang beberapa tahun kemudian menjadi seperti di Bayannur, tanah berubah mengalami salinisasi.”

“Jadi dari makna ini, kejahatan PKT semacam ini akhirnya membahayakan seluruh dunia, dan membahayakan umat manusia, jadi selama PKT tidak runtuh, tidak hanya rakyat Tiongkok yang akan ditindasnya, kami orang Mongolia pun diperbudak; jika PKT tidak runtuh, dunia tidak akan pernah damai. Virus terbesar umat manusia, bukan virus Wuhan, melainkan virus yang paling jahat yaitu PKT sendiri.”

“Rakyat Tiongkok tidak bisa mengikuti kelompok kejahatan partai komunis itu, apa itu memerangi langit dan menghancurkan bumi, mereka tidak akan menang, cepat atau lambat akan menuai akibatnya, akibatnya akan sangat tragis, hanya akan ada bencana. Saya merasa masyarakat seharusnya kembali normal, kembali pada agama kepercayaan, dan bukan dikendalikan oleh kelompok roh jahat yang ateis itu.”

Li Youtan menyatakan, “Karena virus tidak dapat terlihat mata? Virus tidak bisa diperangi, virus tidak bisa dikalahkan dengan pertarungan, melawan langit dan melawan bumi menentang manusia, sepertinya asyik, bisa melawan manusia, bisa melawan binatang, yang bisa terlihat bisa dilawan, yang tidak bisa dilihat seperti virus, maka saya katakan, rezim PKT pada akhirnya akan hancur oleh virus yang tidak terlihat.”

“Melihat kondisi saat ini, rezim Xi Jinping ini kemungkinan tidak akan bertahan lama, sekarang saya melihat semakin banyak pandangan semacam ini, sebelum 2025 PKT mungkin akan runtuh. Saya merasa rakyat Tiongkok, sudah tidak seperti rakyat Tiongkok di masa Mao Zedong dulu, karena Tiongkok sudah pernah reformasi membuka diri, keluarga dan teman mereka di luar negeri sewaktu-waktu bisa dihubungi, bisa mengetahui situasi di luar negeri. Maka, terjadilah peristiwa aksi protes di Jembatan Sitong Beijing, terjadilah Gerakan Kertas Putih, saat ini kondisi pandemi begitu parah, besar kemungkinan rezim PKT tidak mampu bertahan lagi.” (Sud/whs)