Temuan Ilmuwan : Autisme Mungkin Berasal dari Nenek Moyang

Jessie Zhang

Baru-baru ini, para ilmuwan dari University of Utah menyimpulkan bahwa nenek moyang seseorang-khususnya di mana dan kapan kakek-nenek dan anak-anak mereka dilahirkan-dapat berkontribusi pada peningkatan risiko autisme.

Penelitian yang baru-baru ini diterbitkan dalam International Journal of Health Geographics ini mengungkapkan bahwa genetika nenek moyang membawa risiko yang signifikan terhadap Autism Spectrum Disorder (ASD) -dengan sinyal terkuat yang diidentifikasi dari kelahiran dan masa kanak-kanak kakek-nenek dari pihak ayah.

Nutrisi kakek-nenek dari pihak ayah, misalnya, secara langsung berdampak pada hasil kesehatan pada cucu-cucunya.

“Melihat kembali keluarga dan di mana serta kapan mereka tinggal membantu kami mendeteksi kelompok individu yang tampaknya memiliki risiko autisme yang lebih tinggi di antara keturunan mereka,” kata penulis senior dan ahli epidemiologi lingkungan James VanDerslice dari Universitas Utah.

Para peneliti mengidentifikasi informasi dari 7.900 orang tua dan 31.600 kakek-nenek dari anak-anak autis yang lahir antara tahun 1989 dan 2014 berdasarkan data geografis dan populasi keluarga di Utah.

Pemimpin penelitian Rebecca Richards-Steed mengatakan bahwa apa yang mereka temukan sesuai dengan pemahaman ilmiah saat ini tentang genetika ayah yang menjadi kunci perubahan dan adaptasi evolusioner.

“Jadi, sangat mungkin dalam kasus autisme, sebuah sinyal, sebagian dibentuk oleh pengalaman lingkungan, berasal dari garis keturunan ayah, yang diturunkan melalui keluarga,” ujar Richards-Steed, yang juga seorang lulusan geografi di University of Utah.

Sebaliknya, temuan mereka di daerah pedesaan menunjukkan pola yang berbeda. Dari 20 kelompok utama autisme, para peneliti mengidentifikasi tujuh kelompok dari daerah pedesaan yang memiliki risiko rendah untuk menurunkan autisme ke dalam silsilah keluarga.

“Kami benar-benar tidak yakin mengapa beberapa daerah pedesaan tampaknya memiliki apa yang bisa disebut sebagai efek perlindungan,” kata Richards-Steed.

“Tentu saja ada kemungkinan bahwa orang tua dan kakek-nenek yang tinggal di daerah perkotaan memiliki paparan atau pengalaman lingkungan yang berbeda.”

“Apa yang dapat kami katakan, berdasarkan temuan kami, adalah apa yang kita alami sekarang mungkin tidak hanya memengaruhi kita atau bahkan anak-anak kita, tetapi mungkin juga anak-anak dari anak-anak kita.”

Gambaran yang Tak Sempurna

Meski demikian, peningkatan dramatis autisme dalam enam dekade terakhir masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Angka autisme adalah satu dari 10.000 pada  1960-an. Pada  2021, angka ini meningkat menjadi satu dari 44 anak berusia 8 tahun. Di California, di mana angka kejadiannya paling tinggi, satu dari 28 anak berusia 8 tahun didiagnosis autisme.

Menurut  U.S. Centers for Disease Control and Prevention atau Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, peningkatan tajam ini sebagian disebabkan oleh identifikasi dan diagnosis yang lebih komprehensif.

Joseph Mercola mengatakan bahwa peningkatan diagnostik semata tak dapat menjelaskan tren peningkatan yang signifikan.

“Satu dari 44 anak tidak mengalami autisme pada tahun 1980-an, dengan atau tanpa diagnosis. Ada sesuatu yang sedang terjadi. Satu atau beberapa faktor lingkungan jelas berdampak buruk pada anak-anak kita,” tulis Mercola.

“Suspek utama termasuk vaksin masa kanak-kanak, bahan kimia beracun (khususnya glifosat), antibodi autoimun, radang usus, retrovirus, dan paparan medan elektromagnetik,” ujarnya. 

“Tidak ada jawaban tunggal untuk masalah ini. Karena banyak toksin yang berbeda dapat berkontribusi, mencegah autisme harus mencakup penghapusan sebagian besar paparan toksik,” tambahnya.