Perdagangan Satwa Liar yang Terorganisir dan Masif

AMELIA WULAN

Indonesia merupakan negara dengan memiliki kekayaan alam yang luar biasa termasuk satwanya yang khas. Namun sayang beberapa satwa khas tersebut mengalami kepunahan atau yang rentan punah. Hal ini bisa dikarenakan ekosistem yang dirusak, pemburuan liar  yang tak kalah ganasnya adalah perdagangan satwa.

Asia adalah pusat perdagangan beragam satwa liar yang dilindungi secara global sebagai sumber, jalur transit, dan pasar penjualan satwa liar yang terancam punah dan bernilai tinggi. Menurut International Enforcement Agency, tindak  kejahatan ini pasalnya berada di peringkat keempat sebagai kejahatan transnasional terorganisir, setelah perdagangan narkotika, perdagangan manusia, dan perdagangan senjata. Indonesia masih menjadi salah satu negara tertinggi dalam hal perdagangan satwa liar. Beberapa pasar ekspor utama  antara lain adalah Eropa, Amerika Serikat, Hong Kong, Malaysia, dan Singapura.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam  buku  Potret  Perdagangan  Satwa  Liar di Indonesia (2016) yang ditulis Arief Santosa dan kawan kawan, menyebutkan bahwa perputaran uang terhadap perdagangan ilegal satwa liar di pasar gelap diperkirakan mencapai nilai AS $ 7,8 – 19 miliar setiap tahunnya. 

Pemerintahan Indonesia melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam menyatakan bahwa nilai kerugian Negara akibat tindak kejahatan ini mencapai lebih dari 9 triliun per tahun (PHKA, 2009). Bisnis jutaan dolar ini mengancam keberlangsungan kehidupan satwa panji seperti harimau, gajah, semua jenis badak, dan satwa lain yang memiliki fungsi kunci bagi ekosistem dan keanekaragaman hayati.

Penyebab utama maraknya perdagangan satwa dilindungi adalah  masih  tingginya  permintaan dari masyarakat akan konsumsi satwa liar, baik yang masih hidup maupun bagian tubuhnya.  Tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan memelihara satwa liar atau mengonsumsi bagian tubuh satwa liar, baik dimakan, mengoleksi, atau pun menjadikannya pajangan masih dianggap sebagai sesuatu yang dapat dibanggakan dan menjadi bagian dari gaya hidup berkelas. 

Bagian tubuh satwa liar juga banyak dipercaya sebagai obat tradisional yang mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit, padahal tidak terbukti secara klinis. Tidak hanya itu, permintaan bagian tubuh satwa juga kerap muncul untuk kebutuhan hal-hal magis dan berkaitan dengan ilmu hitam.

Penyelundupan satwa yang dilindungi disinyalir tersistematisasi yang melibatkan pihak-pihak berwenang  dan  merugikan  negara  hingga   angka miliaran rupiah.  Seperti  yang  dikemukakan oleh Singky Soewadji,  Koordinator  Aliansi  Pecinta Satwa  Liar  Indonesia  (APECSI)  dan  Pemerhati Satwa Liar, saat wawancara dengan koran The Epoch times.

“Jika Anda mendengar soal perdagangan satwa itu sebenarnya masih belum seberapa. Namun coba perhatikan, ada perdagangan liar yang lebih besar. Anda tahu kan komodo satwa khas Indonesia, lalu koala satwa khas Australia dan panda satwa khas Tiongkok. Pada 6 -7 tahun lalu Indonesia meminjam sepasang Panda dari Tiongkok untuk 10 tahun diletakkan di Taman Safari,” ujarnya.

“Proses peminjaman tersebut memakan waktu 4 tahun. Biaya peminjaman untuk 10 tahun itu kita harus membayar kepada pihak Tiongkok sebesar 150 miliar rupiah. Selama proses kita juga perlu menyiapkan tempat yang cocok dengan panda tersebut, menghabiskan dana kurang lebih sebesar 100 miliar. Sekarang Anda bandingkan dengan komodo yang saat ini juga ada di beberapa kebun binatang di beberapa kota besar di dunia. Bagaimana prosesnya? Apakah sama dengan panda tersebut? Yang tentunya tanpa izin resmi dari negera tidak bisa dilaksanakan,” katanya.

Singky juga menyoroti pertukaran satwa antar lembaga konservasi baik dalam maupun luar negeri, “Satwa yang dipertukarkan antar lembaga konservasi baik dalam dan luar negeri tanpa izin kementerian KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) tentu tidak dapat dilakukan. Seperti 5 atau 6 tahun yang lalu Taman Safari me ngirim gajah ke Australia. Atau kebun binatang Surabaya yang grade C dimana aturannya tidak boleh melakukan pertukaran satwa. Tapi kemudian kebun binatang Surabaya over populasi, lalu bagaimana? Maka saya katakan terjadinya pertukaran satwa terjadi merupakan pelanggaran aturan yang dilakukan oleh lembaga konservasi dibantu oleh instansi terkait.”

Sanksi hukum

Meskipun sudah ada Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE), tetapi pada kenyataanya tetap saja masih banyak satwa dilindungi yang di- tangkap, dibunuh, dipelihara (tanpa izin), dikem- bangbiakkan dan bahkan diperjualbelikan. Hal ini sudah sangat jelas merupakan kegiatan melanggar hukum yang dapat mengakibatkan kepunahan pada satwa-satwa tertentu, sehingga harus segera ditindaklanjuti.

Di dalam UU KSDAHE sudah tercantum peraturan secara tegas mengenai sanksi pidana terkait dengan perdagangan satwa ilegal. Ketentuan sanksi pidana perdagangan satwa ilegal tersebut dapat di- lihat pada undang-undang dalam BAB XII tentang Ketentuan Pidana yang terdapat pada Pasal 40 UU KSDAHE. Dalam pasal 40 Ayat (2) UU KSDAHE disebutkan bahwa hukuman pidana bagi pihak-pihak yang memperjualbelikan satwa dilindungi secara ilegal dijatuhi hukuman kurungan penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak 100 juta rupiah. Sanksi tersebut cukup untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar hukum  khususnya para pedagang dan pemburu liar.

Kasus perdagangan satwa ilegal merupakan kejahatan yang hanya bisa diselesaikan dengan pendekatan-pendekatan strategis karena kasus perdagangan satwa ilegal merupakan kejahatan yang terindikasi. Artinya, meskipun perdagangan ilegal tersebut terlihat jelas di depan mata, akan tetapi tidak mudah untuk menjerat dan memberikan sanksi hukuman kepada pedagang karena terlalu banyak yang berjualan baik itu secara langsung ataupun melalui pasar online.