Kapal Perang Tiongkok Mengitari Jepang di Tengah Pengerahan Sistem Pertahanan Rudal

Aldgra Fredly – The Epoch Times

Kapal-kapal Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) terlihat mengitari Jepang selama berhari-hari dalam unjuk kekuatan di tengah-tengah pengerahan sistem pertahanan rudal Jepang di sebuah pulau di dekat Taiwan.

Kementerian pertahanan Jepang mengatakan pada 11 Mei bahwa armada angkatan laut Tiongkok, yang dipimpin oleh kapal perusak rudal berpeluru kendali Tipe 055 Lhasa milik PLA,  terlihat berlayar di sekitar pulau-pulau yang dikuasai Jepang sejak 30 April.

Armada ini pertama kali terlihat melintasi Selat Tsushima Jepang pada  30 April. Kementerian menyatakan bahwa kapal-kapal perang Tiongkok berlayar melalui Selat Tsugaru dari 5 hingga 6 Mei dan kemudian di rantai pulau Izu, yang terletak di selatan Tokyo, pada tanggal 11 Mei.

Hal ini terjadi ketika Jepang mengerahkan sistem pertahanan rudal permukaan-ke-udara PAC-3 di Pulau Miyako, yang terletak di dekat Taiwan, pulau yang memiliki pemerintahan sendiri yang diklaim oleh Tiongkok sebagai wilayahnya dan telah bersumpah untuk merebutnya dengan cara apa pun yang diperlukan.

Jepang juga menempatkan rudal PAC-3 di Pulau Ishigaki dan Yonaguni, demikian ungkap Kepala Sekretaris Kabinet Hirokazu Matsuno kepada para wartawan pada tanggal 8 Mei. Pemerintah mengatakan bahwa penempatan rudal ini dimaksudkan untuk menangkal ancaman rudal Korea Utara.

“Kami akan melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah dan mengerahkan sistem ini di lokasi-lokasi yang membutuhkan, kami akan benar-benar siap.” kata seorang pejabat kementerian pertahanan pada 24 April, Jiji Press melaporkan. 

Akan tetapi, surat kabar milik pemerintah Tiongkok, Global Times, mengkritik langkah Jepang itu sebagai “provokatif,” dan menyatakan bahwa langkah itu tidak ditujukan untuk melawan ancaman dari Semenanjung Korea, tetapi lebih dimaksudkan untuk “mempersiapkan diri menghadapi intervensi militer dalam masalah Taiwan.”

Dalam laporan lain, outlet berita tersebut mengatakan bahwa pengerahan armada baru-baru ini oleh Tiongkok dapat mengirim “pesan yang kuat” kepada Jepang sebagai tanggapan atas apa yang disebutnya sebagai “pernyataan provokatif Jepang” tentang Taiwan.

Laporan tersebut juga menuduh Jepang “membesar-besarkan ancaman Tiongkok.”

Menjelang KTT G-7

Insiden ini terjadi menjelang KTT G-7 di Hiroshima, Jepang, pada 19 Mei, yang akan dihadiri oleh para pemimpin negara-negara industri terkemuka dalam kelompok tersebut, termasuk Presiden AS Joe Biden dan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan pada tanggal 15 Mei bahwa para pemimpin G-7 ingin menegaskan kembali bahwa setiap “upaya sepihak oleh Tiongkok dan Rusia untuk mengubah status quo secara paksa” tidak akan diterima, demikian dilaporkan Kyodo News.

Pernyataan Kishida menggemakan seruan para menteri luar negeri G-7 pada tanggal 16 April untuk “resolusi damai atas isu-isu lintas Selat” antara Cina dan Taiwan.

Para menteri mengatakan bahwa persatuan negara-negara G-7 “sangat penting” dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi kawasan Indo-Pasifik, termasuk ancaman yang ditimbulkan oleh komunis Tiongkok dan Korea Utara, demikian menurut kementerian luar negeri Jepang.

Menteri Luar Negeri Jepang Yoshimasa Hayashi menekankan perlunya “melanjutkan dialog dengan Tiongkok” dan juga “secara langsung mengungkapkan” keprihatinan serta mendesak Tiongkok untuk “bertindak sebagai anggota komunitas internasional yang bertanggung jawab.”

Dalam pertemuan bilateral di Beijing pada  2 April, Hayashi menyuarakan keprihatinannya atas “intensifikasi kegiatan militer Tiongkok di sekitar Jepang” – khususnya di dekat Kepulauan Senkaku yang dikuasai Jepang yang juga diklaim oleh Tiongkok sebagai miliknya – dan kerja sama Tiongkok dengan Rusia.

Menanggapi hal ini, Menteri Luar Negeri Tiongkok Qin Gang memperingatkan Jepang untuk menahan diri dari “campur tangan dalam masalah Taiwan atau merongrong kedaulatan Tiongkok dalam bentuk apa pun.”

Dia mengatakan bahwa masalah Taiwan adalah “inti dari kepentingan utama Tiongkok.”

Qin mengatakan bahwa Beijing bersedia bekerja sama dengan Tokyo untuk “mengelola perbedaan dengan baik, menghilangkan hambatan, dan meringankan beban untuk hubungan bilateral, dan membangun hubungan Tiongkok-Jepang yang memenuhi persyaratan era baru.” (asr)