Dilema Konsumen: Studi Mengungkap Bahan Kimia PFAS Beracun dalam Kemasan Makanan Cepat Saji ‘Dapat Dikomposkan’

Liasa Bian

Zat per- dan poli-fluoroalkil (PFAS) adalah sekelompok bahan kimia sintetis yang banyak digunakan di seluruh dunia dan banyak ditambahkan ke dalam kemasan makanan karena sifatnya yang tahan terhadap minyak dan air. 

Sebuah penelitian terbaru  mengungkapkan keberadaan PFAS yang berbahaya dalam kemasan makanan, yang menimbulkan risiko bagi kesehatan manusia melalui kontaminasi makanan dan lingkungan.

Untuk penelitian yang diterbitkan dalam jurnal internasional Environmental Science and Technology Letters ini, para peneliti mengumpulkan 42 kertas kemasan makanan dan mangkuk dari restoran cepat saji di Toronto, Kanada. Mereka mengukur kandungan total fluorin – sebuah indikator PFAS – pada benda-benda tersebut. Analisis terperinci dilakukan terhadap delapan sampel dengan kandungan fluorin total tinggi, yang menemukan bahwa mangkuk berbahan dasar serat yang dipasarkan sebagai “kompos” memiliki tingkat PFAS tiga hingga 10 kali lebih tinggi daripada kantong donat dan kue kering.

Studi ini juga mengidentifikasi 6:2 FTOH (6:2 fluorotelomer alcohol) – senyawa PFAS yang dikenal beracun – sebagai senyawa yang paling banyak terdeteksi dalam sampel.

PFAS, yang juga dikenal sebagai “bahan kimia selamanya,” mencakup ribuan bahan kimia sintetis dan tidak hanya ada dalam kemasan makanan seperti kertas tahan panas, wadah makanan cepat saji, kertas kado, kantong berondong jagung microwave, kotak pizza, dan pembungkus permen, tetapi juga pada peralatan masak antilengket, kosmetik, pakaian tahan air, dan busa pemadam kebakaran.

Penguraian PFAS sangat lambat, yang menyebabkan akumulasi pada manusia, hewan, dan lingkungan dari waktu ke waktu. Paparan PFAS pada tingkat tertentu dapat menyebabkan hasil kesehatan yang merugikan, termasuk efek reproduksi dan perkembangan, peningkatan risiko kanker dan obesitas, serta penurunan fungsi kekebalan tubuh.

Pada 2022, 11 negara bagian di AS telah menerapkan peraturan untuk melarang penggunaan PFAS dalam kemasan makanan. Pada tahun 2020, McDonald’s dan Restaurant Brands International berjanji untuk menghilangkan semua PFAS dari bahan kemasan konsumen mereka pada 2025.

Miriam Diamond, seorang profesor dari Departemen Ilmu Bumi di Universitas Toronto dan salah satu penulis laporan penelitian tersebut mengatakan:

“Karena Kanada membatasi plastik sekali pakai dalam peralatan layanan makanan, penelitian kami menunjukkan bahwa apa yang kita anggap sebagai alternatif yang lebih baik ternyata tidak begitu aman dan ramah lingkungan. Faktanya, mereka dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan kita dengan menyediakan jalur langsung menuju paparan PFAS – pertama-tama dengan mencemari makanan yang kita makan, dan setelah dibuang, mencemari udara dan air minum kita.”

Diamond juga menekankan:

“Penggunaan PFAS dalam kemasan makanan adalah substitusi yang disesalkan karena menukar satu opsi berbahaya – plastik sekali pakai – dengan opsi lainnya. Kita perlu memperkuat manajemen bahan kimia untuk meningkatkan tanggung jawab perusahaan dan peraturan pemerintah.”

Selain itu, dalam laporan yang diterbitkan di jurnal yang sama pada September 2022, tim peneliti Diamond menganalisis pakaian anak-anak di Kanada dan Amerika Serikat dan menemukan tingkat PFAS yang sangat tinggi dalam seragam sekolah, sarung tangan dengan jari-jari yang terintegrasi, dan produk lain yang dipasarkan sebagai produk yang tahan noda.

Selain itu, dalam laporan lain yang diterbitkan di jurnal yang sama pada Juni 2021, tim peneliti Diamond menguji kadar PFAS pada 231 kosmetik, menemukan konsentrasi tertinggi pada alas bedak, maskara, dan produk bibir, terutama yang berlabel “tahan lama”, “tahan air”, atau “tahan noda”.

“Masalah dengan PFAS adalah bahwa ia tidak diberi label sebagai bahan, jadi jika Anda ingin membatasi penggunaan produk tertentu yang mengandung bahan kimia ini, Anda biasanya tidak tahu apa itu,” kata Diamond. 

“Saat itulah kata kunci akan memberi tahu Anda -seperti tahan noda dan tahan air. Tetapi kewaspadaan ini seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab konsumen,” pungkasnya.  (asr)