Impor AS atas Komoditas Tiongkok Turun ke Level Terendah dalam 10 Tahun Terakhir Akibat Pergeseran Rantai Pasokan

 oleh Xia Yu

Data baru menunjukkan bahwa seiring dengan perusahaan-perusahaan Barat mengalihkan rantai pasokan mereka ke luar dari Tiongkok daratan, impor AS atas komoditas dari Tiongkok mengalami penurunan sampai lebih dari 50%. Ini adalah yang pertama kalinya terjadi dalam lebih dari satu dekade terakhir. Hal mana juga menunjukkan bahwa impor AS atas komoditas Tiongkok telah turun ke level terendah dalam satu dekade terakhir.

Financial Times pada 4 Juni melaporkan, bahwa berdasarkan data indeks reshoring tahunan yang diterbitkan perusahaan konsultan manajemen yang berbasis di Chicago, “Kearney”, impor AS sedang dialihkan ke produk berbiaya lebih rendah yang diproduksi oleh perusahaan di luar Tiongkok, karena upaya pemerintah AS untuk mengurangi ketergantungannya terhadap komoditas Tiongkok dan adanya dorongan dari konsumen AS yang kian sensitif terhadap harga.

Menurut Patrick Van den Bossche, salah seorang penulis laporan tersebut, bahwa hingga akhir tahun 2023, komoditas berbiaya rendah yang diimpor AS dari negara-negara Asia tidak termasuk Jepang dan Korea Selatan, bagian komoditas asal Tiongkok pasti turun menjadi di bawah 50%”. 

Berdasarkan data perdagangan AS indeks reshoring “Kearney” bahwa AS dan Tiongkok adalah mitra dagang terbesar. Komoditas asal Tiongkok menyumbang 50,7% dari total impor AS atas komoditas yang diproduksi oleh negara-negara Asia tahun lalu. Ini menunjukkan penurunan dari angka hampir 70% yang tercatat pada tahun 2013.

Walau terjadi penurunan pada komoditas yang diekspor Tiongkok ke AS, tetapi impor AS atas komoditas asal Vietnam meningkat dua kali lipat selama lima tahun terakhir, dan tiga kali lipat selama satu dekade terakhir. Demikian “Kearney” melaporkan. Komoditas buatan India, Taiwan, dan Malaysia yang diimpor AS juga menyumbang porsi yang lebih besar dari belanja konsumen AS terhadap produk Asia.

Menurut data yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Tiongkok untuk Impor dan Ekspor Komoditas Mesin dan Elektronik, pada Februari tahun ini, Amerika Serikat mengimpor 1,356 juta unit penyedot debu rumah tangga dari Vietnam, jumlah ini menunjukkan peningkatan sebesar 54,1% YoY. Sedangkan impor dari Tiongkok adalah 1,293 juta unit, atau menurun sebesar 51,7% YoY. Menurut data sajian bulanan, jadi ini adalah pertama kalinya ekspor mesin penyedot debu Vietnam melampaui Tiongkok, yang sekaligus menjadikan Vietnam sebagai negara terbanyak dalam mengekspor mesin penyedot debu rumah tangga ke Amerika Serikat.

Menurut Financial Times, Tu Xinquan, Direktur China WTO Research Institute di University of International Business and Economics, Beijing, mengatakan : “Impor AS dari Vietnam dan negara lain meningkat karena produsen mengalihkan produksi dari Tiongkok daratan”.

Dorongan untuk menggeser manufaktur dari Tiongkok berawal dari pengenaan tarif komoditas yang diekspor Tiongkok pada masa era Presiden Donald Trump, serta kekurangan tenaga kerja ahli di Tiongkok yang menaikkan upah dan biaya. Di bawah kepemimpinan pemerintahan Biden, decoupling perdagangan AS – Tiongkok semakin dipercepat, dan pemerintahan Biden terus mengejar agenda keamanan ekonomi di tengah ketegangan atas berbagai masalah mulai dari perang chip hingga niat Partai Komunis Tiongkok mencaplok Taiwan.

Patrick Van den Bossche mengatakan bahwa undang-undang AS yang baru akan terus mendorong peningkatan investasi alihan dari Tiongkok ke AS dan Meksiko. Dan, manufaktur semikonduktor dan baterai EV (kendaraan listrik) adalah contoh realitanya. Dia mengacu pada undang-undang AS yang baru seperti Undang-Undang Menurunkan Inflasi (Inflation Reduction Act), yang memberlakukan aturan ketat tentang sumber bahan baterai untuk kendaraan listrik bersubsidi di AS, dan Undang-Undang Chips dan Sains (CHIPS and Science Act), yang memberikan subsidi kepada pembuat chip demi mendorong kegiatan operasi pabrik mereka di AS.

Dalam sebuah laporan di Maret tahun ini, analis Morgan Stanley mengatakan bahwa kenaikan biaya tenaga kerja di Tiongkok, ketegangan geopolitik, dan masalah hak asasi manusia mendorong perusahaan luar negeri untuk mengurangi ketergantungan mereka pada manufaktur Tiongkok.

“Pemisahan kedua ekonomi (AS dan Tiongkok) telah mengakibatkan berpulangnya pabrik utama (ke AS), dan impor komoditas yang tadinya dari Tiongkok beralih ke negara ASEAN, India juga Meksiko”, demikian bunyi laporan itu.

Lalu lintas peti kemas juga mencerminkan pergeseran impor AS dari Tiongkok ke pasar Asia lainnya yang berbiaya rendah, dalam hal ini Tiongkok-lah yang paling dirugikan. Demikian Financial Times melaporkan.

Menurut Descartes, sebuah perusahaan teknologi logistik yang berbasis di Kanada, bahwa total barang asal Tiongkok yang diimpor AS dengan peti kemas telah turun dari puncaknya yang 42,2% pada Februari tahun lalu menjadi 31,6% pada bulan Maret tahun ini, meskipun ada sedikit kenaikan setelah Maret. Antara Februari 2022 dan April 2023, portfolio peti kemas untuk barang dari India dan Thailand yang diimpor AS, masing-masing juga telah naik tipis menjadi 4,1% dan 3,8%.

Kini tahun 2023 telah memasuki paroh kedua yang throughtput peti kemas global justru menunjukkan tren anjlok, dan masih belum ada tanda-tanda adanya lonjakan throughput peti kemas dari Tiongkok. Jumlah pemesanan peti kemas untuk pengangkutan laut dari Tiongkok ke Amerika Serikat saat ini menunjukkan bahwa permintaan impor AS memang sedang menurun. Purchasing Managers’ Index (PMI) Tiongkok di Mei turun dari 49,2% di April menjadi 48,8%. Jika data ini lebih rendah dari 50% garis yang mewakili kemakmuran dan kontraksi, berarti manufaktur berada dalam periode kontraksi dan aktivitas industri menurun. Laporan Nomura Research Institute memperkirakan, PMI Tiongkok bulan Juni mungkin masih berada di bawah garis kemakmuran dan kontraksi.

Selain itu, beberapa pabrikan Tiongkok juga memperluas operasi mereka di Asia Tenggara dan sekitarnya karena kenaikan inflasi global dan upah di daratan Tiongkok. Menurut pihak berwenang di pabrik pembuat mesin pemanas air “Vanward” di Guangdong, pihaknya berencana mendirikan pabrik di Mesir dan Thailand untuk memenuhi permintaan pelanggan di AS.

“Pilih, berdekatan dengan pasar atau berdekatan dengan sumber daya Anda,” kata Simon Goh, Direktur Pelaksana Arise IIP China. Perusahaan tersebut telah mengoperasikan zona industri manufaktur dalam kemitraan dengan pemerintah daerah di Afrika.

Sebuah studi Deutsche Bank tahun 2019 terhadap 719 produk AS yang bergantung pada Tiongkok menemukan, bahwa 95% dari produk tersebut dapat dipasok dari berbagai tempat di Asia. Sisanya 38 item itu “terutama terdiri dari bahan kimia dan komoditas terkait” kata laporan itu. (sin)