Militer PKT Kurang Percaya Diri, Mendadak Akui “Posisi Dominan” AS

Yang Wei

Pada 3 Juni lalu, Menteri Pertahanan AS (Amerika Serikat) Lloyd Austin melontarkan pidato keras terhadap Beijing dalam forum Shangri-La Dialogue, hal ini membuat panik PKT (Partai Komunis Tiongkok). Malam itu juga pihak militer RRT (Republik Rakyat Tiongkok) merespon, dan berupaya melanjutkan propaganda anti-AS-nya, akan tetapi responnya adalah “dominan bukan berarti hegemoni”. Sikap militer RRT yang mendadak mengakui “posisi dominan” AS, telah menyingkap kekurang-percayaan diri PKT. Pidato Menteri Pertahanan RRT Li Shangfu terlebih menjadi sorotan, namun tidak ditangani dengan mencolok oleh media massa partai.

Militer PKT Kurang Percaya Diri, Mendadak Akui “Posisi Dominan” AS

Pada 3 Juni malam, kantor berita Xinhua News menerbitkan artikel berjudul “Pihak RRT Respon Pidato Menhan AS di Shangri-La Dialogue: Dominan Bukan Hegemoni, Posisi Menentukan Aksi, Tindakan Lebih Unggul Daripada Kata-Kata Kosong”. Pihak Kemenhan RRT juga mengeluarkan artikel yang sama, dengan mengutip pernyataan Wakil Kepala Staf Gabungan Komisi Militer Pusat RRT yakni Jing Jianfeng, yang dianggap sebagai respon terhadap pidato Menhan AS Lloyd Austin.

Artikel menyebutkan, “Menentang tegas tudingan Menhan AS Austin dalam pidatonya di forum terhadap pihak RRT”; dan menyebutkan “dominan tidak berarti hegemoni, posisi menentukan aksi, tindakan lebih unggul daripada kata-kata kosong.”

Respon oleh pihak militer RRT tersebut sejak awal telah mengakui “posisi dominan” AS, sekilas tampak seperti kelalaian memilih kata-kata, faktanya adalah terpaksa mengungkap kebenaran.

Tujuan akhir dari ekspansi militer Beijing di kawasan Samudera Pasifik adalah hendak menggantikan “posisi dominan” AS, tetapi langkah pertamanya adalah lebih dulu harus bisa “duduk sama rendah berdiri sama tinggi (setara)” dengan AS. Pemimpin RRT pernah berkata pada Presiden AS, “Samudera Pasifik begitu luas, cukup untuk menampung dua negara RRT dan AS”. Beberapa tahun terakhir persaingan AS dengan RRT terus meningkat, mulai dari bidang militer, politik, diplomatik, dan ekonomi terus mengarah pada konfrontasi penuh, Beijing dengan cepat telah berada di bawah angin. Kini Beijing tidak lagi mengulang perkataan serupa, seharusnya karena sudah menyadari bahwa RRT “tidak bisa setara” dengan AS.

Pada 19-21 Mei lalu, para pemimpin negara G7 dan Uni Eropa mengadakan KTT G7 di Hiroshima, Jepang, dan mengundang 8 pemimpin negara non-anggota untuk hadir. Pemimpin RRT tidak hadir pada KTT G7+9 ini, “status negara besar” Tiongkok di dunia telah sangat tertekan karena PKT. Pernyataan dalam Komunike G7 terhadap RRT sangat keras, Beijing terpaksa hanya merespon dengan nada rendah, dan dalam strategi terhadap luar negeri mengambil posisi bertahan.

Sebelumnya, militer RRT sempat mendelegasi seorang komentator militer menerbitkan artikel, yang menyatakan bila terjadi perang Selat Taiwan, PKT mungkin akan menghadapi “perang empat front”. PKT membiarkan media massa RRT untuk memuat ulang artikel ini, bahkan mengatakan orang yang menggoreng perang Selat Taiwan “memiliki tujuan lain”.

Pemimpin PKT merasakan bahaya di segala penjuru. Pada 30 Mei lalu, dalam rapat pertama Dewan Keamanan Nasional Xi Jinping mengatakan, “Tingkat kerumitan dan kesulitan masalah keamanan nasional yang kita hadapi jelas telah bertambah besar”, jadi harus “mempertahankan pemikiran batas bawah dan pemikiran ekstrem”; serta “Bersiap untuk menghadapi ujian berat berupa terpaan angin dan ombak bahkan badai besar”.

Pada 3 Juni, dalam pidatonya di Shangri-La Dialogue Menhan AS Austin langsung mengincar PKT, mau tidak mau Beijing harus merespon. Akan tetapi, pihak militer RRT hanya mengutus seorang Wakil Kepala Staf Gabungan Komisi Militer untuk menyatakan sikap, pangkatnya agak rendah, pidatonya tidak berbobot, isinya terutama hanya mengulang propaganda anti-AS sebelumnya, secara riil menghindar dari topik sesungguhnya yang diutarakan Austin.

Beijing mendadak mengakui “posisi dominan” AS, seharusnya bukan karena keteledoran atau ketidak-sengajaan, melainkan lebih seperti melontarkan semacam sinyal kepada AS, bahwa RRT sedang membatalkan niatnya berebut hegemoni dengan AS. Ini adalah sikap pemimpin PKT, dan bukan pernyataan dari seorang wakil kepala staf gabungan. Intinya, PKT takut rezimnya akan runtuh, sekarang tidak hanya tak berani mengobarkan perang Selat Taiwan, tapi juga takut akan digempur. Pihak militer RRT sedang menghindari menantang AS secara terang-terangan, sepertinya mulai melunak terhadap militer AS.

Pidato Menhan RRT Tidak Ditangani Secara Mencolok

Pada 4 Juni, Menhan RRT Li Shangfu menyampaikan pidatonya pada Shangri-La Dialogue. Malam itu, kantor berita Xinhua News menerbitkan pidato Li Shangfu, yang telah disensor hingga kurang dari 400 kata. Padahal malam sebelumnya yakni pada 3 Juni, artikel dari Wakil Kepala Staf Gabungan Komisi Militer RRT Jing Jianfeng merespon pidato Menhan AS, justru mencapai 1.200 kata panjangnya.

Kantor berita Xinhua News dan Kemenhan RRT menggunakan naskah umum, pidato Li Shangfu hanya menyinggung soal “Inisiatif Keamanan Global” dan “Komunitas Kesamaan Nasib Asia Pasifik” yang merupakan pemikiran Xi Jinping; serta menekankan masalah Taiwan. Di akhir artikel hanya dikatakan, “Juga dalam masalah Laut Tiongkok Selatan dan hubungan RRT-AS telah memaparkan posisi RRT.”

Pernyataan Menhan RRT oleh kalangan luar dianggap mewakili sikap Xi Jinping, dan menjadi sorotan semua menteri pertahanan. Selain Menhan, Li Shangfu hanya seorang anggota Komisi Militer, yang masih di bawah posisi Wakil Ketua Komisi Militer He Weidong dan Zhang Youxia, sama sekali tidak memiliki wewenang militer, dia hanya seorang penghubung militer, dan tidak kuasa menyampaikan pandangannya. Naskah pidatonya, pasti sebelumnya telah disetujui oleh Xi Jinping.

Pidato Li Shangfu dengan sengaja dilemahkan oleh media massa partai, untuk menghindari serangkaian masalah yang menjadi sorotan. Sehari sebelumnya, pidato Menhan AS mengincar PKT, pidato Li Shangfu berupaya memberikan penjelasan, tetapi pemimpin PKT memilih untuk merespon dengan skala rendah. Tindakan ini juga seharusnya juga mengurangi dampak bagi propaganda dalam negeri, jika tidak, pada masa sensitif “Peristiwa Pembantaian Tiananmen 4 Juni 1989” ini, rakyat mungkin akan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang telah terjadi pada Shangri-La Dialogue?

Situs Kemenhan RRT telah menyimpulkan sebuah “poin penting” dari pidato Li Shangfu, termasuk “saling menghormati menggantikan intimidasi dan arogansi”; “saling percaya dan berdialog menggantikan konfrontasi”; “keterbukaan dan toleransi untuk mencegah konfrontasi antar kubu”; “negara besar seharusnya berperilaku layaknya negara besar”; dan militer RRT “tidak takut siapapun lawannya”.

Konten semacam ini dijadikan bentuk gambar ilustrasi, setiap kalimat dibubuhi terjemahan dalam teks bahasa Inggris, jelas diperuntukkan agar dilihat oleh AS dan sekutunya. Akan tetapi, “poin utama” pidato Li Shangfu yang disimpulkan Kemenhan RRT, justru tidak digunakan Xinhua News, yang berarti tidak ingin diketahui oleh sebagian besar rakyat.

Beberapa waktu lalu, seorang komedian talkshow RRT bergurau “anjing liar bergaya bagus, bisa memenangkan perang”, yang kemudian oleh PKT dianggap sebagai “menghina tentara”, perusahaan itu pun dibredel dan didenda, mendadak bergejolak. Sekarang, begitu low profile-nya media massa partai menghadapi militer AS, bahkan tak lebih dari seorang komedian talkshow, sama sekali tidak terlihat “bergaya bagus, bisa memenangkan perang”. Namun sikap low profile PKT sepertinya agak terlambat. Saat Wakil Kepala Staf Gabungan Komisi Militer Jing Jianfeng merespon pidato Austin, sejumlah fakta telah terungkap.

Laut Tiongkok Selatan Menjadi Fokus Yang Sama Dengan Selat Taiwan

Artikel kantor berita Xinhua News pada 3 Juni lalu menyebutkan, Wakil Kepala Staf Gabungan Komisi Militer RRT Jing Jianfeng mengatakan, “Beberapa tahun belakangan ini, AS terus campur tangan dalam masalah Laut Tiongkok Selatan”; “meningkatkan penempatan insidentil, dan penempatan secara bergiliran, menambah pangkalan militer, pelanjutan peningkatan keberadaan kekuatannya di kawasan Laut Tiongkok Selatan”; “negara di kawasan ini mampu, yakin, dan memiliki kebijaksanaan mengatasi masalah Laut Tiongkok Selatan, tidak membutuhkan campur tangan negara asing dalam masalah ini.”

Jika militer RRT benar-benar berani menantang AS, seharusnya secara langsung menunjukkan pulau karang basis militer yang dikuasainya di Laut Tiongkok Selatan, dan menyatakan mampu membalas intervensi militer AS. Akan tetapi, Jing Jianfeng tidak mengatakan demikian, malahan mengatakan “tidak membutuhkan campur tangan negara asing dalam masalah ini”. Jelas, militer RRT menyadari tidak berdaya menghadapi militer AS di Laut Tiongkok Selatan. Artikel Xinhua News juga menyebutkan, “Terhadap tudingan Menhan AS yang mengatakan ‘aksi penghadangan militer RRT yang tidak profesional’ itu”, Jing menyatakan, “adalah pihak pengintai AS yang lebih dulu intervensi…”.

Pada 31 Mei lalu, Komando Palagan Selatan RRT secara terbuka mengakui, pesawat pengintai AS telah “mengintai dan mengacaukan” armada ke-17 AL RRT, yakni armada kapal induk Shandong; RRT mengirim jet tempur J-16 untuk menghadangnya, tapi setelah itu tidak berani menyebut “menghadang” atau “mengusir”, melainkan hanya “mengikuti dan mengawasi”. Beijing mengakui dengan skala rendah, bahkan lebih memalukan daripada candaan seorang komedian acara talkshow.

Di bawah deterensi kuat militer AS dan para sekutunya, saat ini RRT tidak berani gegabah mengobarkan perang di Selat Taiwan, tapi di Laut Tiongkok Selatan masih saja terus memojokkan negara-negara di sekitarnya. Militer AS meningkatkan deterensi di Laut Tiongkok Selatan, dan mendapat dukungan bersama dari sekutu Indo-Pasifik serta NATO, juga sedang menggandeng lebih banyak negara ASEAN untuk semakin mengucilkan RRT. Low profile-nya Beijing, seharusnya hanya semacam tindakan sementara untuk menghindari konflik, tetapi sebenarnya PKT belum secara sungguh hati membatalkan niatnya untuk berkonfrontasi melawan AS dan para sekutunya.

PKT Cemas Akan Menjadi Rusia Yang Kedua

Pidato Menhan AS Austin telah memaparkan kondisi nyata konfrontasi militer Indo-Pasifik saat ini, ini yang mencemaskan pemimpin PKT. Austin mengatakan, “Jangan dikira keamanan atau kemakmuran di kawasan Indo-Pasifik terjadi dengan sendirinya; lihat saja krisis yang ditimbulkan akibat Rusia menginvasi Ukraina tanpa alasan”; “Jika sebuah negara besar bisa seenaknya mencaplok negara tetangganya, maka dunia kita akan menjadi sangat berbahaya. Invasi Rusia telah menunjukkan kepada kita harga yang sangat mahal dari semua bahaya dan kekacauan yang timbul.”

Perkataan ini tidak hanya mengungkap kekhawatiran yang dialami Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Australia, dan India, serta mencerminkan kekhawatiran negara NATO, juga mengungkapkan kekhawatiran negara-negara ASEAN, Filipina adalah untuk yang pertama kali berpihak pada AS. Saat ini, jika PKT terus bersikap keras, hanya akan membuat semakin banyak negara di sekitarnya berpihak pada AS.

Austin juga mengatakan, “Hubungan persekutuan dan kemitraan membuat kita semua menjadi lebih kuat”; “Ini termasuk Australia, Jepang, Korea, Filipina, dan Thailand sebagai negara sekutu yang teguh”; “Juga termasuk India, Indonesia, dan Vietnam sebagai negara mitra kerjasama yang penting, jelas juga tuan rumah kita kali ini yakni Singapura”; “Semakin lama semakin banyak negara berjalan searah dengan prinsip kebersamaan kita.”

Perkataan ini seharusnya membuat pemimpin PKT semakin tegang. AS memperlihatkan kemampuan kepemimpinannya pada Shangri-La Dialogue, pertemuan intens antara Austin dengan menhan berbagai negara dan perundingan kerjasama menghadapi Beijing, dan telah menggeser Menhan PKT ke pinggir lapangan.

Mantan Dubes RRT untuk AS Cui Tiankai telah menyingkap uneg-uneg di hati pemimpin PKT, “Kami tidak membutuhkan NATO versi Asia, kami tidak berharap melihat NATO berekspansi di kawasan kami ini.” Pernyataan ini telah mengungkap kekhawatiran Beijing diincar oleh seluruh dunia Barat, dan menjadi Rusia yang kedua. Oleh sebab itu, disebutkan dalam rapat Dewan Keamanan Nasional RRT bahwa masalah keamanan yang dihadapi “jelas menjadi semakin besar”.

Austin juga menyebutkan, AS “sedang berinvestasi dengan berani di bidang kekuatan udara”, termasuk “menambah 61 milyar dolar AS (906 triliun rupiah, kurs per 06/06) untuk jet tempur F-35, F-22, dan pesawat nirawak, juga bomber siluman B-21”, serta “menambah armada kapal selam, kapal induk, dan kapal perusak”; “meningkatkan kekuatan senjata luar angkasa, internet, dan jarak jauh”; “Kami akan terus dengan tegas menentang segala aksi sepihak yang hendak mengubah kondisi saat ini”; “Kekuatan deterensi saat ini sangat besar — pekerjaan kami adalah mempertahankan deterensi seperti ini.”

Militer AS tengah memperlihatkan serangkaian keunggulannya, yang tak mampu ditandingi oleh militer RRT. Terakhir Menhan AS Austin juga menekankan dialog, ia mengatakan PKT “selama ini tidak bersedia secara serius mengambil bagian dalam mekanisme manajemen krisis yang lebih baik antara militer kedua negara”; “Negara besar harus transparan dan menjadi mercusuar yang bertanggung jawab”; “Konflik dan sengketa bukan tidak bisa dihindari; tapi perdamaian dan keamanan tidak timbul dengan sendirinya”.

Tentu saja PKT tidak berani transparan, terlebih lagi tidak mau bertanggung jawab, untuk sementara melunak dan low profile adalah satu-satunya taktik yang bisa dilakukan saat ini. Pada 3 Juni lalu, armada AS dan Kanada telah melintas di Selat Taiwan, saat dibuntuti oleh sebuah kapal perang RRT, secara mendadak kapal perang itu melintas memotong jalur kapal pertama armada AS, dengan jarak terpendek hanya 150 yard. Ini sangat bertolak belakang dengan sikap PKT yang tampak low profile.

Kesimpulan

Masalah antara RRT dan AS masih menggantung dan belum terselesaikan, risiko konfrontasi sulit dihilangkan, namun PKT malah menolak berdialog dengan militer AS. Pihak militer AS akan terus meningkatkan kesiagaan perang, negara di sekitar RRT juga akan terus melawan perlombaan senjata Beijing, dan pemimpin PKT hanya bisa merasakan semakin tidak aman.

Relatif banyak warga di daratan Tiongkok yang mungkin masih terkelabui dalam kegelapan, atau melihat adanya bahaya tertentu, tapi tidak banyak yang diketahui. Konfrontasi secara membabi buta oleh PKT, semakin nyata mendatangkan bahaya bagi Tiongkok, dan pemimpin PKT sendiri telah merasakan adanya mara bahaya; tapi tidak berani mengakuinya, dan hingga kini masih saja berusaha menutupinya, bahkan masih dengan sengaja memperlihatkan sikap melawan AS dan negara sekitarnya, hanya pada saat terpaksa akan berpura-pura low profile.

Tiongkok sangat membutuhkan jalan keluar dari mara bahaya, maka itu bawalah PKT secepatnya mundur dari pentas sejarah, hal ini adalah jalan keluar dengan pengorbanan paling sedikit bagi rakyat Tiongkok. (Sud/whs)