Bagaimana Melihat Biden Sebut Xi Jinping “Diktator”?

Wang Youqun

Setelah Menlu AS Blinken mengakhiri kunjungannya ke Tiongkok, pada 20 Juni lalu saat Presiden Biden menghadiri acara penggalangan dana kampanye, ia mendadak mengatakan kepada para peserta bahwa Xi Jinping adalah “diktator”.

Biden mengatakan, pada Februari lalu ia memerintahkan agar balon mata-mata Beijing di wilayah udara AS ditembak jatuh, “Xi Jinping sangat tidak senang, ia merasa sangat canggung, karena ia tidak mengetahui dimana balon udara itu berada, ia bahkan tidak tahu balon itu ada disana dan mengingkarinya, bagi seorang diktator, ini adalah suatu hal yang sangat memalukan”. 

Pernyataan Biden itu membuat Partai Komunis Tiongkok (PKT) sangat marah. Juru bicara Kemenlu RRT Mao Ning 21 Juni lalu mengecam pernyataan Biden tersebut sebagai “sangat konyol, dan merupakan provokasi politik secara terbuka”.

Pada hari yang sama, juru bicara Kemenlu AS Vedant Patel saat menjawab pertanyaan wartawan mengatakan, AS tidak akan menarik kembali pernyataannya yang mengatakan Xi Jinping adalah “diktator”. 

Patel berkata, “Presiden dan Menlu telah dengan sangat jelas menyatakan, kami akan terus menangani hubungan AS-RRT dengan penuh tanggung jawab… tetapi ini tidak berarti kami tidak bisa secara lugas menyampaikan perbedaan pendapat kami.” 

Sedangkan perbedaan pendapat AS dengan RRT, adalah perbedaan antara “negara demokrasi dan negara otokrasi”. Pernyataan Patel ini secara langsung merefleksikan pandangan sesungguhnya Biden pada Xi Jinping, juga merefleksikan sikap pemerintah AS.

Sejak 25 Maret 2021 lalu, pada konferensi pers Biden setelah menjabat pernah mengatakan, dirinya adalah seorang pemimpin negara-negara di dunia yang paling lama berinteraksi dengan Xi Jinping, ia sangat memahami Xi, “Di dalam tulang sumsum Xi tidak ada sedikitpun demokrasi”. 

Disini, Biden tidak secara jelas mengatakan Xi Jinping adalah diktator, tetapi maksudnya sudah sangat jelas, Xi Jinping adalah diktator.

Sejak Biden mulai menjabat, ia selalu berusaha mempererat kekompakan dan persekutuan AS dengan negara-negara dan kawasan yang memiliki nilai demokrasi dan kebebasan. 

Pada 9-10 Desember 2021 lalu, AS telah mengadakan Summit of Democracy yang pertama kalinya secara daring, tujuannya adalah “memperbarui demokrasi di dalam negeri, dan melawan otokrasi di luar negeri”. Perwakilan dari 110 negara dan kawasan telah diundang untuk hadir, hanya PKT yang tidak diundang.

Saat berbicara bagaimana memperlakukan hubungan antara AS dengan RRT, Biden menyatakan, “Ini adalah perang antara rezim demokrasi pada abad ke-21 melawan rezim otokrasi”. Dengan kata lain, di mata Biden, AS adalah rezim demokrasi, RRT adalah rezim otokrasi. Hubungan AS dan RRT adalah pertandingan antara demokrasi melawan otokrasi. Kalau begitu, lalu seperti apakah Xi Jinping selaku pemimpin PKT? 

Jelas Xi Jinping adalah seorang diktator otokrasi.

Pada 29-30 Maret 2023 lalu, bersama dengan Korea Selatan, Belanda, Costa Rica, dan Zambia bersama-sama mengadakan Summit of Democracy yang kedua, dengan dihadiri oleh perwakilan dari 121 negara dan kawasan yang diundang, lagi-lagi hanya RRT yang dikecualikan.

“Summit of Democracy Declaration” yang dideklarasikan pada 29 Maret tersebut menyatakan: Demokrasi “memiliki ciri keunikan yang sama, termasuk kebebasan dan pemilu adil yang yang bertoleransi dan dapat diakses; desentralisasi dan check & balances; peralihan kekuasaan secara damai; independensi media massa dan keselamatan para jurnalis; transparansi; hak memperoleh informasi; akuntabilitas; toleransi; kesetaraan gender; partisipasi sipil; perlindungan kesetaraan hukum; menghormati HAM, termasuk kebebasan berpendapat, berkumpul secara damai dan kebebasan berorganisasi.” Semua karakteristik tersebut sama sekali tidak dimiliki oleh pemerintahan RRT.

“Deklarasi” itu juga menjelaskan: “Untuk menghadapi tantangan kian berat yang dihadapi demokrasi seluruh dunia, kita harus berupaya memperkuat sistem serta kemajuan demokrasi, dan menciptakan ketahanan demokrasi. Kita harus memahami, lewat kerjasama dapat memperkuat kebebasan dan demokrasi, kami berjanji membangun hubungan kemitraan dalam negeri, regional, dan internasional yang lebih kokoh, semakin teguh dalam melawan despotisme dan korupsi, membuktikan bahwa demokrasi dapat membawa perdamaian, stabilitas, dan juga kemakmuran.” 

Dengan kata lain AS akan mempererat kerjasama dengan negara dan kawasan yang menganut demokrasi dan kebebasan, bersama-sama menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh rezim RRT dan negara otokratis lainnya. Inilah hasil mutlak setelah politisi AS berulang kali merefleksi sejarah hubungan AS-RRT dalam beberapa tahun terakhir ini.

Pada 24 Juni 2020, O’Brien yang kala itu menjabat sebagai penasihat keamanan AS, menyampaikan pidato berjudul “The Chinese Communist Party’s Ideology and Global Ambitions” di Phoenix, Arizona. Pidato ini telah merefleksi secara tajam, sekali demi sekali kesalahan penafsiran AS terhadap PKT sejak era 1930-an abad lalu.

O’Brien berkata, “Mengapa kita selalu mengulang kesalahan yang sama? Mengapa kita tidak bisa melihat sifat asli PKT? Jawabannya sangat sederhana, karena kita tidak memperhatikan ideologi PKT. Sekarang, kita harus secara jelas mengatakan, PKT adalah sebuah organisasi Marxisme-Leninisme. Sekjend PKT Xi Jinping menganggap dirinya sebagai penerus Joseph Stalin.”

Pada 23 Juli 2020, Pompeo yang kala itu menjabat sebagai Menlu AS, saat menyampaikan pidatonya yang berjudul “Communist China and the Free World’s Future” di depan Richard Nixon Library & Museum California secara lugas mengatakan, “Sekjend Xi Jinping adalah penganut sejati ideologi totaliterisme yang telah bangkrut”. Apa wujud manifestasi ideologi Marxisme-Leninisme dalam bidang politik? Yaitu: otokratis, diktator, dan totaliter.

Dunia saat ini, perlawanan antara demokrasi kebebasan dengan diktator otokratis, menjadi sangat mendesak dan sangat penting, karena PKT telah memaksa Hong Kong dari “satu negara dua sistem” menjadi “satu partai otokratis”, PKT melakukan “tekanan maksimum” terhadap demokrasi kebebasan di Taiwan, PKT mengobarkan Perang Dingin Baru terhadap AS dari luar angkasa, darat, sampai laut, dan PKT tidak hanya tidak mengutuk aksi invasi Rusia terhadap Ukraina tetapi juga terus “memberi pasokan” bagi Rusia.

Inilah alasan penting Biden terus memperkuat kerjasama aliansi dengan negara G7, Uni Eropa, NATO, AS-Jepang-Korsel, AS-Jepang-India-Australia, AS dengan ASEAN, dengan Afrika, dan dengan Amerika Latin. Biden mengutus Blinken berkunjung ke Tiongkok, hanya untuk menjaga hubungan AS-RRT agar tak berubah menjadi bentrokan dan perang, serta membuat krisis dapat terkendali. Ini sama sekali tidak mengubah tren utama saling berseberangannya AS dengan Beijing dan tentu akan terus berkompetisi karena perbedaan nilai-nilai tersebut.

Ketika Menlu Blinken baru saja mengakhiri kunjungannya ke Tiongkok, mendadak Biden mengatakan Xi Jinping adalah “diktator”, kemungkinan besar hal ini mengungkapkan ketidakpuasan atas perlakukan PKT terhadap Blinken dalam kunjungannya ke Tiongkok barusan ini. Misalnya, perlakuan tidak setara terhadap Blinken saat ditemui Xi Jinping, sikap Wang Yi yang arogan saat menemui Blinken, dan saat Blinken tiba di Beijing dari pihak PKT hanya mengutus seorang pejabat setingkat biro untuk menjemputnya.

Biden bicara soal balon udara PKT memasuki wilayah AS, ternyata Xi Jinping tidak tahu menahu, “Ini adalah hal yang memalukan bagi seorang diktator”.

Bagi Xi, kalimat ini sangat menusuk hati, tidak enak didengar, tapi justru mengungkap satu fakta, yakni Xi Jinping yang sekarang, walaupun telah sukses mewujudkan “tiga kali berturut-turut menjabat”, berada di puncak kekuasaan PKT, tapi sangat sulit mendengar kata-kata yang benar. Beberapa tahun terakhir ini, Xi Jinping salah tafsir terhadap berbagai masalah besar dalam maupun luar negeri RRT, mungkin ada kaitannya dengan hal ini.

Kali ini, Xi tak tahu menahu tentang balon mata-mata PKT terbang ke wilayah AS, berikutnya mungkin juga akan terjadi masalah serius yang tidak diketahui Xi. Ini adalah situasi yang pasti akan terjadi di bawah politik totaliter PKT. Apa yang dikatakan rakyat Tiongkok: “Atasan menekan bawahan, setingkat menekan setingkat, menekan sampai yang menanam padi; bawahan menipu atasan, setingkat menipu setingkat, terus menipu sampai ke Sekjen.”

Dilihat dari Biden yang tiba-tiba mengatakan Xi adalah diktator pada saat yang sensitif bahkan menyingkap kelemahan besar Xi tidak menerima laporan yang benar, AS mungkin telah sangat paham reaksi yang akan ditimbulkan oleh PKT, dan tidak begitu peduli terhadap reaksi Beijing, karena paling-paling yang dilontarkan PKT hanya lagu lama seperti “intervensi serius”, “protes keras”, “menentang keras”, “jika tidak, akan menanggung segala akibatnya” dan lain-lain.

Lebih jauh lagi, AS mengetahui di tangan PKT tidak banyak kartu as bisa dimainkan. Usai mengucapkan kalimat itu, Biden bahkan menambahkan lagi, di Tiongkok sedang terjadi “kesulitan ekonomi yang sesungguhnya”. Hal yang memusingkan kepala Xi semakin banyak saja. Biden mengatakan Xi adalah “diktator”, PKT berang bukan kepalang, juga merefleksikan betapa rapuhnya hubungan AS-RRT. Pada November tahun lalu, setelah Xi “tiga kali menjabat kembali” pada Kongres Nasional ke-20, untuk pertama kalinya Xi berdialog tatap muka dengan Biden di Bali, Indonesia. Kedua belah pihak berniat memperbaiki hubungan AS-RRT.

Setelah itu, kedua pihak telah melakukan sejumlah upaya. Pada Februari tahun ini, menjelang keberangkatan Blinken ke Tiongkok, mendadak terjadi peristiwa balon udara milik RRT melanggar wilayah AS, satu kejadian kecil yang tiba-tiba, membuat hubungan AS-RRT kembali merosot.

Kali ini, Blinken baru saja menemui Xi Jinping, Menlu RRT Qin Gang berjanji akan berkunjung ke AS pada saat yang tepat, baru saja hubungan AS-RRT mulai membaik, Biden mendadak menyebut Xi adalah “diktator”, langsung menorehkan bayangan hitam pada hubungan kedua negara.

Surat kabar Wall Street Journal melaporkan, walaupun pemimpin PKT yang tidak (benar-benar) dipilih dan memegang kekuasaan tertinggi mungkin sesuai dengan deskripsi tentang diktator pada buku pelajaran, tapi analis menyatakan, kata ini mengandung makna yang kaya, sangat sedikit presiden AS menggunakannya dalam menggambarkan pemimpin yang mereka harapkan berurusan soal diplomatik. Satu kata mungkin tidak akan merusak langkah berikutnya dalam rencana AS-RRT, tetapi mungkin akan merusak hubungan individu Xi dan Biden.

Dari kata diktator yang dilontarkan Biden kepada Xi pada saat yang sensitif bisa disimpulkan, sebelum KTT APEC yang akan diadakan di San Francisco pada November mendatang, AS dan RRT kemungkinan akan mengalami banyak konflik adu mulut, konfrontasi kedua belah pihak pada berbagai aspek akan terus naik turun, dan terjadi terus menerus. (Sud/whs)