Penelitian Terbaru : Setelah Terinfeksi COVID-19 RNA Akan Tetap Berada Dalam Tubuh Selama 2 Tahun

oleh Ren Hao

Laporan akademis “medRxiv” pra-cetak terbaru menunjukkan bahwa setelah seseorang terinfeksi COVID-19, asam ribonukleat / RNA tersebut akan tetap berada dalam tubuh manusia hingga dua tahun. Penelitian ini menjelaskan mengapa banyak orang terus mengalami gejala medis setelah sembuh dari COVID-19.

Sekitar 15% orang yang terinfeksi mengembangkan penyakit kardiovaskular, gangguan koagulasi, reaktivasi virus laten, diabetes, atau kondisi lain setelah pulih dari COVID-19. Gejala-gejala ini mempengaruhi kesehatan fisik dan mental seseorang dan disebut gejala sisa COVID-19 atau COVID-19 Jangka Panjang.

Lebih dari tiga puluh peneliti dari Universitas California, San Francisco dan lembaga penelitian lainnya menerbitkan studi pracetak “medRxiv” yang menyebutkan bahwa melalui pemindaian tomografi emisi positron (PET) terhadap pasien COVID-19 yang telah sembuh, para peneliti menemukan bahwa virus korona jenis baru (COVID-19) secara sistematis telah mengubah sistem kekebalan tubuh pasien. 

Ada sebanyak 24 orang yang pernah terinfeksi COVID-19 menjalani pemindaian PET dalam penelitian tersebut, mereka adalah bekas pasien yang dinyatakan telah pulih kesehatannya dari 27 hari hingga 910 hari sejak tertular.

Apa yang disebut pemindaian PET melibatkan penyuntikan obat radioaktif yang disebut pelacak ke dalam pembuluh darah di lengan atau punggung tangan mantan pasien COVID-19. Melalui aktivitas pelacak di dalam tubuh yang digambarkan oleh alat pemindai, maka aktivitas metabolisme dan biokimia sel tubuh orang bersangkutan ditentukan.

Dalam pemindaian PET ini, para peneliti menggunakan obat radioaktif jenis baru dan menemukan bahwa kondisi kesehatan orang yang telah terinfeksi COVID sangat berbeda dengan orang tersebut sebelum pandemi. Yang paling jelas adalah pelacak yang diserap oleh batang otak, sumsum tulang belakang, sumsum tulang, dan sumsum tulang belakang. nasofaring dan hilus, jaringan jantung dan paru-paru serta dinding usus meningkat secara signifikan. Adapun perbedaan antara pria dan wanita yang dipindai terletak pada pelacak yang diserap pharyngeal tonsil, dinding rektal, dan jaringan limfoid hilus pria lebih tinggi daripada wanita.

Ketika peneliti melakukan biopsi pada jaringan usus terhadap tubuh mantan pasien COVID-19 yang menjalani pemindaian, mereka menemukan adanya RNA SARS-CoV-2 yang tertinggal. Ketika mereka menjalani biopsi, sudah berjarak antara 158 hingga 676 hari sejak mereka terinfeksi. Oleh karena itu, tim peneliti percaya bahwa virus COVID mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia.

Kabar baiknya adalah tim peneliti menemukan bahwa jumlah pelacak yang diserap secara bertahap menurun seiring berjalannya waktu, namun beberapa pasien yang terinfeksi virus COVID-19 akan mengalami kerusakan sistem kekebalan yang berlangsung selama bertahun-tahun.

Untuk mengetahui hubungan antara sel T dalam sel darah putih dan COVID-19, para peneliti membandingkan perbedaan antara orang yang memiliki gejala COVID-19 dan mereka yang tidak memiliki gejala COVID-19. Mereka menemukan bahwa orang dengan gejala COVID-19 memiliki penyerapan lebih banyak di sumsum tulang belakang, kelenjar getah bening hilus, dan dinding usus besar/rektum.

Para peneliti menemukan pada tubuh mantan pasien yang memiliki 5 gejala peninggalan COVID-19, bahwa tingkat peradangan bagi orang-orang ini lebih tinggi dibandingkan dengan pasien COVID-19 yang pulih sepenuhnya atau hasil tes sebelum pandemi. Ternyata aktivasi sel T di sumsum tulang belakang dan dinding usus pasien COVID-19 Jangka Panjang lebih tinggi.

Para peneliti berharap hasil penelitian mereka tidak terpengaruh oleh vaksin, Jadi hanya satu orang peserta pemindaian yang menerima vaksinasi dalam 6 hari sebelum menjalani PET scan. Peserta lainnya menerima vaksinasi lebih dari 60 hari setelah vaksinasi terakhir. Karena itu, para peneliti membagi subjek uji dalam 2 golongan dengan batasan 180 hari setelah vaksinasi untuk studi perbandingan.

Para peneliti mengakui bahwa penelitian ini memiliki banyak keterbatasan, termasuk ukuran sampel yang kecil, kegagalan memperhitungkan varian virus, dan perbedaan vaksin yang diterima oleh mereka yang diuji. Selain itu, karena sulitnya menemukan orang yang belum pernah tertular virus corona pascapandemi, para peneliti menggunakan data sebelum pandemi sebagai perbandingan.

Namun melalui analisis terhadap hasil tes dari keduapuluhempat orang partisipan tersebut, peneliti meyakini bahwa RNA virus COVID-19 akan ada di jaringan usus pasien selama kurang lebih 2 tahun. (sin)