Umat Katolik Terbelah Karena Seruan Paus Fransiskus Izinkan Pemberkatan Pasangan Sejenis

Paus Fransiskus menimbulkan kontroversi sesaat sebelum liburan Natal dengan dokumen Vatikan yang baru dirilis

Alice Giordano

Umat ​​Katolik di seluruh dunia terbelah atas pernyataan Paus Fransiskus baru-baru ini bahwa para Imam dapat memberkati pasangan homoseksual. Para pendukung pernyataan tersebut menyebutnya sebagai langkah yang tepat, sementara mereka yang menentangnya melihatnya sebagai sebuah tanda kematian dan sebuah tanda bahwa  ideologi gender telah menggantikan prinsip-prinsip suci gereja.

Dalam sebuah pernyataan pada Rabu, Chris Vella, salah satu ketua Jaringan Global Katolik Pelangi, menyebut deklarasi yang dikenal sebagai Dicastery for the Doctrine of the Faith (DDF)—”sebuah tonggak sejarah dalam perjalanan panjang menuju kesetaraan.”

“Sebagai seorang LGBTIQ+ Katolik yang menikah dengan pasangan saya selama lima tahun terakhir, keputusan DDF ini merupakan tonggak sejarah besar yang menegaskan apa yang selama ini kami ketahui di dalam hati: bahwa hubungan kami bisa diberkati, memang suci dan bisa menjadi sebuah berkat bagi keluarga dan komunitas kami serta Gereja,” kata Vella.

“Pengumuman ini datang pada malam kencan pertama dengan calon suamiku sepuluh tahun yang lalu. Sungguh hadiah yang luar biasa!”

Saat memuji deklarasi pemberkatan sesama jenis oleh Paus, Francis DeBernardo, Direktur Eksekutif New Ways Ministry, yang mengadvokasi penyertaan komunitas LGBT dalam gereja Katolik, mengatakan bahwa “Paus Fransiskus memberikan umat Katolik LGBTQ+ hadiah Natal awal tahun ini dengan menyetujui pemberkatan bagi pasangan sesama jenis.”

Dia menambahkan, “Klaim kantor doktrin Vatikan sebelumnya bahwa ‘Tuhan tidak memberkati dosa’ telah tercabut oleh seruan baru, ‘Tuhan tidak pernah menolak siapa pun yang mendekati Dia!'”

Di Massachusetts, negara bagian paling Katolik ke empat di Amerika Serikat, Kardinal Sean O’Malley, Uskup Agung Boston, juga memuji doktrin tersebut.

“Kami berterima kasih kepada Bapa Suci atas cinta dan kepeduliannya terhadap semua umat,” katanya dalam sebuah pernyataan kepada The Boston Globe.

Boston Globe memenangkan Hadiah Pulitzer pada  2003 karena mengungkap skandal seks pendeta Katolik di awal tahun 2000-an dan dikenal kritis terhadap gereja dalam opininya.

Bagi orang lain seperti C.J. Doyle, Direktur Eksekutif Catholic Action League di Massachusetts, dikasteri adalah tanda bahwa gereja sedang mengalami kemunduran di bawah perintah Paus dan woke ideology sedang dipaksakan tidak hanya kepada umat paroki tetapi juga para imam.

“Tidak ada pendeta Katolik yang boleh dipaksa, bertentangan dengan hati nuraninya, untuk memberkati dosa berat. Tidak ada pendeta Katolik yang boleh dipaksa melakukan tindakan yang bertentangan dengan Alkitab, Katekismus, dan ajaran Katolik yang berusia dua ribu tahun,” katanya dalam sebuah postingan di situs kelompoknya.

Dia menyebut pernyataan Kardinal O’Malley “memalukan”.

Mr Doyle menunjuk pada tindakan Paus baru-baru ini terhadap dua uskup, seorang kardinal, dan sebuah ordo biarawan Fransiskan karena perbedaan pendapat terhadap dukungannya yang semakin besar terhadap komunitas LGBT. 

“Mengingat pemecatan Uskup Joseph Strickland dan Daniel Torres, tindakan hukuman terhadap Kardinal Raymond Burke, dan sanksi yang dijatuhkan kepada Franciscan Friars of the Immaculate, maka masuk akal untuk bertanya apakah Deklarasi “Fiducia Supplicans” akan menjadi satu lagi alasan untuk membersihkan Gereja dari musuh ideologis Papa Bergoglio.”

Doyle mengacu pada nama lahir Paus, Jorge Mario Bergoglio, dan nama Latin dikasteri tersebut, “fiducia supplicans”, yang berarti “memohon kepercayaan”.

Sebuah Gereja Katolik di Santa Fe, New Mexico, pada 4 Desember 2021. (John Fredricks / The Epoch Times)

‘Revolusi Seksual Baru’

Di New Jersey, yang memiliki populasi Katolik terbesar di Amerika Serikat, Gregory Quinlan, Presiden The Center For Garden State Families and Pro-Family Network, menawarkan sudut pandang sebagai seorang Kristen dan mantan homoseksual, mengenai keputusan Paus untuk membalikkan posisi gereja yang dulu sangat menentang pernikahan gay. 

“Pertanyaannya adalah—apa yang coba dilakukan Paus Fransiskus dan kelompoknya terhadap gereja Katolik?” “Bagi saya, sepertinya dia mencoba meruntuhkannya dan membangunnya sesuai citranya.”

Quinlan, yang meninggalkan gaya hidup homoseksualnya pada  1992, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa meskipun “gadar”-nya tidak menunjukkan bahwa Paus sendiri adalah seorang homoseksual, ia berpendapat bahwa hal tersebut patut dicurigai bahwa ia “sangat pro-LGBTQ.”

“Dia tentu saja sangat menyukai ideologi LGBTQ,” kata Quinlan.

Berdasarkan pengalaman, Quinlan melihat homoseksualitas sebagai gangguan kesehatan mental atau kondisi yang lahir dari era seksual. Baginya, revolusi seksual tahun 1960-an adalah saat erotika dipromosikan sebagai gaya hidup normal.

Paus, katanya, sedang mempromosikan revolusi seksual baru, “yang lebih berbahaya,” tambah Quinlan, karena hal ini sejalan dengan dorongan yang jelas-jelas meresahkan untuk menormalisasi pedofilia dan mutilasi gender.

Dia menyebut Paus Fransiskus “jahat” dan menyamakannya dengan “Don Corleone”—karakter utama dalam film mafia “The Godfather”.

“Saya akan bersembunyi jika saya adalah salah satu uskup dan kardinal yang tidak setuju dengannya,” kata Quinlan.

Uskup Agung Salzburg (Austria) yang baru, Franz Lackner, menerima Pallium dari Paus Fransiskus dalam sebuah misa di Basilika Santo Petrus di Vatikan pada 29 Juni 2014. (Vincenzo Pinto / AFP via Getty Images)

Secara global, ada juga perpecahan mengenai masalah ini. Dalam perayaan dikasteri, Uskup Agung Franz Lackner, kepala Konferensi Waligereja Austria, mengatakan kepada Österreichischer Rundfunk, bahwa meskipun “hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah ‘ideal’, namun hubungan antara dua jenis kelamin yang sama tidak sepenuhnya tanpa kebenaran: cinta, kesetiaan, dan bahkan kesulitan saling berbagi.”

Uskup Agung Perancis Hervé Giraud dikutip oleh outlet berita Perancis La Croix menyebutnya sebagai “ide yang indah.”

Namun, jumlah pejabat tinggi gereja yang secara terbuka menentang gagasan tersebut tampaknya terus bertambah.

Pada  Kamis, beberapa pejabat tinggi gereja di negara-negara termasuk Ukraina dan Zambia mengecam seruan Paus untuk memberkati pasangan sesama jenis, yang hanya dapat dilakukan dalam arti non-liturgi—artinya secara pribadi dan bukan sebagai bagian dari ritus atau sakramen.

Pensiunan Uskup Agung Carlo Maria Vigano dari Italia, yang menyebabkan skandal di gereja dengan menuduh Paus Francies dan pemimpin gereja lainnya menutupi pelecehan seksual yang dilakukan oleh mantan kardinal, menulis dalam sebuah opini yang diterbitkan di situs berita Katolik internasional LifeSiteNews, bahwa “Pemberkatan baru yang disetujui Paus untuk ‘pasangan’ homoseksual menunjukkan bahwa dia adalah “hamba Setan”.

Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan di beberapa media Katolik, Kardinal Jerman Gerhard Müller, yang menjabat sebagai prefek kardinal Kongregasi Ajaran Iman, mengatakan bahwa “pemberkatan” terhadap pasangan homoseksual merupakan “penistaan” dan dokumen tersebut “bertentangan dengan iman Katolik”.

Di Inggris, ratusan pastor juga mendukung deklarasi yang dikeluarkan oleh The British Confraternity of Catholic Clergy.

“Dengan parrhesia yang jujur dan dari pengalaman kami sendiri sebagai pendeta, kami menyimpulkan bahwa pemberkatan seperti itu [untuk pasangan sesama jenis] secara pastoral dan praktis tidak dapat diterima,” demikian pernyataan deklarasi tersebut.

Pada episode 19 Desember dari podcast Katolik “Godsplaining,” Pastor Bonaventure Chapman, asisten profesor di Catholic University of America dan Pastor Patrick Briscoe, seorang pengkhotbah Konferensi Kebangkitan Ekaristi Para Uskup Katolik Amerika Serikat, menganalisis secara panjang lebar alasan di balik posisi Paus yang menyetujui pemberkatan sesama jenis dan membuat argumen yang mendukung dan menentangnya.

Namun ketika mereka menjawab pertanyaan dari para hadirin, Pastor Chapman setuju bahwa itu mungkin bukan langkah terbaik bagi gereja Katolik.

“Sungguh sulit untuk berjalan di atas tali,” katanya. (asr)

Alice Giordano adalah reporter lepas untuk The Epoch Times. Dia adalah mantan koresponden berita untuk The Boston Globe, Associated Press, dan biro New England The New York Times