6 Pemilu Akbar 2024 yang Berdampak bagi Dunia

Pinnacle View

Akan ada 6 pemilu pada 2024 yang sangat menyentuh hati banyak orang, termasuk Taiwan, Amerika Serikat, Uni Eropa, Rusia, India, dan Meksiko. Bisa dikatakan hasil dari enam pemilu ini akan berpengaruh sangat mendalam terhadap arah pergerakan dunia di masa mendatang. 

Dalam pemilu di Argentina dan Belanda belum lama ini, fenomena belok kanan yang direpresentasikan oleh Trump telah menjadi dominan, pemimpin kedua negara yang terpilih disebut-sebut sebagai “Trump” di negara-negara itu. 

Fenomena Trump mulai berkembang luas, dan sedang memengaruhi Eropa, Amerika Serikat, Meksiko, dan juga India. 

Apa sebenarnya esensi dari fenomena Trump? Mengapa dunia politik Eropa dan Amerika mengalami tren belok ke kanan?

“Perang Utara-Selatan Global” Berlanjut, Fenomena Trump Menyebar di Eropa dan Amerika

Guo Jun, pemimpin redaksi The Epoch Times menyatakan, hasil pilpres AS pada November tahun depan akan menimbulkan pengaruh yang teramat besar bagi situasi dunia. Kaum sayap kiri internal Partai Demokrat sangat cemas Trump akan terpilih kembali, itu sebabnya Trump dililit oleh begitu banyak gugatan hukum.

Surat kabar New York Times belum lama ini melansir hasil survei warga yang menunjukkan, lima dari enam swing state cenderung memilih Trump, sementara Partai Demokrat dan Joe biden telah kehilangan dukungan dari warga kaum muda dan juga minoritasnya. 

Kantor berita CBS dalam acaranya “Sunday Morning” mengumumkan hasil survei warga yang menunjukkan, Trump dengan dukungan 51% telah mengungguli Biden yang hanya 48%. Sementara hasil survei warga oleh kantor berita ABC menunjukkan, 76% warga AS merasa negaranya sedang berkembang ke arah yang salah, jadi jika sekarang dilakukan pemilu, peluang kemenangan Trump sangat besar, jika Trump kembali menjabat, maka banyak sekali kebijakan AS yang mungkin akan mengalami perubahan besar.

Shi Shan, Editor senior sekaligus penulis utama The Epoch Times menyatakan, kebijakan Biden terhadap Tiongkok saat ini pada dasarnya adalah kesepakatan antara kedua partai. Masih ingat dengan jelas, saat Trump baru menjabat, terhadap seluruh kebijakan Partai Demokrat ia memberikan suara menentang, hanya ada satu macam kebijakan yang tidak ditentang, yaitu kebijakan terhadap Tiongkok, kebijakan terhadap PKT, kebijakan terhadap Taiwan, kebijakan terhadap Jepang, tidak ada yang ditentangnya, juga semua orang mendukungnya, mengapa demikian? 

Karena hal ini telah menjadi masalah yang paling serius bagi AS beberapa dekade ke depan, dan kalangan elite AS telah membentuk kesepakatan bipartisan untuk hal ini. Jadi jika Trump kembali menduduki Gedung Putih, kebijakan terhadap Tiongkok tidak akan terlalu banyak berubah, tapi kebijakan dalam hal lain mungkin akan berubah, misalnya terhadap Perang Rusia-Ukraina, dan kebijakan terhadap Timur Tengah, kemungkinan akan berubah, tentu saja juga terhadap kebijakan imigran, karena semua bidang ini tidak ada kesepakatan bipartisan. 

Jadi kawasan yang akan terdampak paling besar karena pemilu AS tahun depan, justru bukan PKT, melainkan Eropa dan Timur Tengah, saya percaya yang sekarang berkeringat dingin adalah Eropa dan Israel, mereka sangat khawatir.

Wu Jialong, pakar makro ekonomi sekaligus komentator Taiwan, menyatakan, pemilu AS dimulai sejak saat terpilihnya Trump (2016) sampai sekarang, masih memiliki konteks yang sama, dan saya menyebutnya Perang Utara-Selatan yang bersifat global. Yang diwakili oleh Trump adalah para korban akibat globalisasi, yang diwakili oleh Partai Demokrat Biden adalah semua pihak yang mendapat keuntungan dari globalisasi. 

Lihat saja perolehan suara Biden di kawasan Atlantik dan Pasifik, di kedua pesisir timur dan barat AS, mayoritas yang bermarkas disini adalah perusahaan multi-nasional, atau yang telah mendunia, juga sejumlah tokoh profesional, keuangan, teknologi dan lain-lain, mereka semua adalah yang mendapatkan keuntungan dari globalisasi. Lumbung suara Trump lebih mengarah ke pedalaman, yang mayoritasnya adalah pekerja properti dan industri, kalangan buruh dan lain-lain, mereka semua adalah korban dari globalisasi.

Ini ibarat perang utara-selatan (Perang Sipil, red.) AS pada masa itu, orang-orang di selatan menanam kapas, yang didorong oleh industri tekstil yang bangkit setelah Revolusi Industri di Inggris pada masa itu, jadi kapas dari AS memiliki daya saing internasional, mereka tidak merasa butuh perlindungan. Tetapi orang-orang di utara adalah kalangan industri manufaktur, waktu itu industri manufaktur AS masih terbelakang dibandingkan Eropa, mereka butuh perlindungan, dan harus membayar pajak, sedangkan pihak selatan tidak butuh perlindungan, dan tidak mau membayar pajak, jadi adalah masalah pajak dan kebutuhan akan perlindungan yang membuat utara dan selatan kemudian berperang, yang tak berapa lama lagi berkembang menjadi perlindungan budak kulit hitam, dan membebaskan budak kulit hitam, itu adalah kejadian setelahnya. 

Jadi konflik pada perang utara-selatan sekarang telah berubah menjadi global, Anda bisa melihat dari Eropa, sampai India, Meksiko dan lain-lain, semua seperti itu, konfrontasi antara proteksionisme dan liberalisme, konfrontasi antara masyarakat kalangan bawah dengan kalangan atas, konfrontasi antara kaum elite dengan kaum akar rumput, di dalamnya terdapat konflik antar kelas, tapi disini tidak bisa menggunakan logika pertarungan antar kelas, terdapat perbedaan besar antara keduanya.

Jadi sekarang baik pemilu di Eropa maupun Amerika Selatan, seperti di Argentina, Javier Milei yang terpilih disebut sebagai “Trump dari Argentina”, lalu di Belanda Geert Wilders yang terpilih disebut sebagai “Trump dari Belanda”, sebenarnya yang diwakili oleh Trump adalah masyarakat kelas bawah yang berbicara di tengah era globalisasi ini, inilah kekuatan yang mendorong Trump ke atas. Trump sendiri bukan berasal dari masyarakat kelas bawah, dia adalah seorang kaya, tapi kebijakannya, dan suaranya adalah berbicara bagi masyarakat kelas bawah, kalangan masyarakat bawah ini bisa mengerti begitu mendengarnya, mereka mengatakan Trump adalah bagian dari kami. 

Sampai tahap tertentu globalisasi telah mengalami berbagai macam celah, mulai dari celah pendapatan, celah kelas, celah kawasan, jadi yang direpresentasikan oleh fenomena Trump adalah suatu penyesuaian yang bersifat global, sekarang logika ini diaplikasikan ke seluruh dunia akan sama hasilnya, mulai dari Argentina, Belanda, Italia juga demikian, berikutnya adalah Yunani, Spanyol, dan Prancis.

Eropa Kembali Mengenali Diri, Haluan Kanan Menjadi Arus Utama

Wu Jialong menyatakan, di Eropa juga terjadi fenomena berbelok ke kanan ini. Pada parlemen Eropa biasanya sejumlah masalah yang menjadi perhatian warga pemilih antara lain adalah topik tentang iklim, pandemi atau kesehatan publik, inflasi, dan keamanan, topik keamanan adalah hubungan antara Eropa dengan Rusia dan Eropa dengan Tiongkok, apakah harus disesuaikan lagi atau tidak. Secara tradisi Eropa cukup dekat dengan Rusia, juga cukup dekat dengan Tiongkok, mantan kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Prancis Emmanuel Macron, keduanya berharap membina hubungan baik dengan Rusia dan Tiongkok, semuanya berbisnis bersama, seolah dengan kekuatan ekonomi dapat meredakan konflik militer, yakni menggunakan kepentingan ekonomi untuk menyelesaikan masalah keamanan.

Namun setelah Perang Ukraina Meletus, dan setelah Xi Jinping menjabat untuk kedua kalinya, sudah terlihat bahwa jalan ini tidak bisa ditempuh lagi, ini yang membuat Eropa sangat kebingungan. Pada dasarnya Eropa tidak lagi mengalami perang serius pasca PD-II, sekarang tiba-tiba meletus Perang Rusia-Ukraina yang begitu besar, dan berdampak sangat serius terhadap Eropa. Orang Eropa pun terus berpikir apa yang harus dilakukan? Bagaimana menghadapi struktur geopolitik mendatang, atau kerangka keamanan ini? Orang Eropa berpikir bagaimana menyesuaikan kembali keseluruhan kerangka keamanan dan keseluruhan hubungan geopolitik, jadi Eropa membutuhkan satu kurun waktu untuk menelusurinya, dan mendefinisikannya kembali. Jadi satu pertanyaan bagi Eropa sekarang adalah, tadinya pro-Rusia dan pro-PKT, sekarang harus berbalik arah, dengan AS dan Kanada yang posisinya membelakangi Samudera Atlantik, berarti harus berdiri berdampingan dengan AS, di saat yang sama membedakan hubungan dengan Rusia dan PKT dengan nilai-nilai kebebasan demokrasi, berarti ada garis pembatas nilai-nilai universal disini. Sekarang sepertinya Eropa sedang mengarah ke kanan, dan kembali mengenali dirinya.

Pemilu Italia dan Belanda tahun ini sudah dilaksanakan, tahun depan giliran Finlandia, Yunani, Spanyol, dan Prancis. Arah perubahan Eropa sekarang hampir semuanya sama, yakni cenderung berbelok ke kanan, konservatisme, dan liberalisme, lalu populisme, dengan kata lain Eropa telah muncul fenomena mirip Trump.

Guo Jun menyatakan, Eropa pasti akan berbelok ke haluan kanan, setelah mencapai titik ekstrem akan berbalik arah. Selama 20 tahun terakhir Eropa berbelok ke haluan kiri begitu ekstrem, satu faktor krusial yang mendesak Eropa belok ke kanan adalah kebijakan imigran oleh kaum radikal sekarang. Sekarang Eropa dipenuhi dengan imigran dari Timur Tengah serta Afrika, dan mayoritas adalah penganut agama Islam, mereka sedang mengubah peta politik Eropa dengan cepat. 

Konflik Israel-Hamas kali ini telah menimbulkan aksi unjuk rasa berskala besar mendukung Hamas dan Palestina di sejumlah kota besar di Eropa, hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bagi tidak sedikit negara Eropa, masalah imigran, masalah Israel, dan masalah agama, telah menjadi titik berat di seluruh dataran Eropa saat ini. Jika Eropa tidak belok ke kanan secara keseluruhan, besar kemungkinan akan terjadi perpecahan besar, misalnya Polandia dan sejumlah negara Eropa Timur, mereka mempunyai perselisihan yang sangat besar dengan negara besar tradisional Eropa seperti Prancis dan Jerman. 

Bahkan di Jerman pun dapat terlihat faksi sayap kanan sedang bertumbuh, saya hampir dapat melihat dalam pemilu parlemen Eropa tahun depan, masalah imigran pasti akan sangat serius dibahas, apakah menginginkan sebuah Eropa dengan nilai-nilai Eropa? Atau sebuah Eropa dengan nilai-nilai Timur Tengah? Apakah menginginkan sebuah Eropa yang bebas demokrasi dan beragama Kristen? Atau sebuah Eropa yang multi ras dimana agama Islam semakin kuat mengendalikan Eropa? Dulu, mungkin hanya masalah yang disadari dan dirasakan saja, tidak menjadi sebuah masalah yang menjadi kontroversi utama, tetapi sekarang masalah ini telah menjadi titik kontroversi yang krusial.

AS Dukung Taiwan, Karena Adanya Kebutuhan Pertahanan Rantai Pulau Pertama

Wu Jialong menyatakan, sejak Taiwan mengawali pemilu presiden di tahun 1996, setiap kali pilpres Taiwan selalu diintervensi oleh PKT, lalu selalu didapat hasil yang sama, yaitu siapapun yang didukung oleh PKT, warga akan meninggalkannya, dan siapapun yang ditentang oleh PKT, maka warga justru akan memilihnya, inilah psikologi terbalik warga Taiwan terhadap PKT, jadi diperkirakan kali ini pun akan seperti itu. 

Namun kali ini cara intervensi PKT semakin halus, dimulai dari jaringan kuil dan wihara di dalam negeri Taiwan, organisasi massa, sampai kepala desa dan kepala lingkungan, PKT akan melakukan penyusupan dan menyusun front persatuan, PKT akan mencari pengurusnya, menggunakan faksi yang disebut pro PKT untuk melawan faksi pro AS, berupaya mengubah orientasi politik Taiwan dari dalam negeri Taiwan. Hal ini akan menjadi kelaziman di pentas politik Taiwan di masa mendatang, dan akan menjadi masalah yang sangat serius bagi Taiwan.

Selanjutnya Wu Jialong mengatakan, sekarang PKT berupaya mendefinisi ulang pemilu di Taiwan, dan mereka menyebut Biru dan Putih termasuk faksi pro PKT (Merah), di mata PKT yang terjadi di Taiwan adalah persaingan antara Hijau dan Merah, mereka menghitung jumlah suara Biru dan Putih, lalu dibandingkan dengan jumlah suara Hijau. Pemilu yang lalu PKT mendefinisikan 5,2 juta suara yang diraih Han Kuo-Yu sebagai potensi kekuatan di dalam negeri Taiwan yang mendukung reunifikasi secara damai dan satu negara dua sistem, ini menandakan yang dilihat PKT sekarang adalah jumlah suara di luar faksi Hijau.

Di sisi lain, warga pemilih di Taiwan melontarkan sinyal bagi seluruh dunia, yakni apakah yang sebenarnya akan dipilih oleh warga Taiwan. Bagi PKT, pilihan itu adalah, apakah pro-komunis atau anti-komunis? Sedangkan bagi AS, dan bagi kubu demokrasi bebas, apakah pro-AS atau anti-AS? Sekarang pilihan seperti itu menjadi kian meruncing.

Guo Jun menyatakan, AS sangat mencemaskan hasil pemilu di Taiwan, strategi global AS sekarang adalah menjadikan kawasan Indo-Pasifik sebagai pusatnya, dan Taiwan adalah salah satu titik pusat dari strategi AS ini. Singkat kata, AS berniat membantu pertahanan bagi Taiwan, tapi jika arah politik Taiwan berubah drastis, dan bergabung dengan PKT atau terunifikasi, maka ini akan membuat AS cemas dan menjadi sangat pasif, misalnya sistem persenjataan canggih, sistem komando otomatis, semua ini bersifat sangat rahasia. Beberapa waktu lalu bukankah ada seorang pilot Taiwan yang hendak membelot ke PKT, lalu menerbangkan helikopternya ke kapal induk PKT, seandainya pemerintahan yang pro-komunis berkuasa, maka AS akan semakin khawatir.

Shi Shan menyatakan, bantuan militer saat ini sudah bukan lagi sekedar memberikan sejumlah senjata canggih saja, titik krusial sekarang adalah penggabungan senjata Anda dengan senjata saya, yaitu penggabungan rantai informasi keduanya, inilah yang paling penting. Jika Anda menyerahkan rantai informasi saya ini kepada pihak lain, itu berarti Anda menyerahkan salah satu dari mata rantai saya kepada pihak lain, ini sangat menakutkan, ini bukan masalah senjata yang sederhana, tapi ada kode rahasia yang berlapis-lapis di baliknya, semuanya akan terungkap. Pesawat tempur F-16V yang dijual AS kepada Taiwan saat ini, sebenarnya telah diintegrasikan sistem informasinya dengan keseluruhan sistem milik AS, jika tidak, hanya senjata saja tidak akan menimbulkan efek yang besar. Jadi apakah integrasi ini dilakukan atau tidak? Akan diintegrasikan sampai sedalam apakah? Semua ini harus dipertimbangkan, jika terjadi perubahan pada pentas politik Taiwan, maka akan menimbulkan berbagai keraguan bagi AS.

Terlepas dari faksi apapun yang akan berkuasa di Taiwan, baik itu faksi unifikasi, faksi merdeka, faksi pro-AS, faksi pro-PKT, terlepas dari pilihan apapun yang dilakukan di dalam negeri Taiwan, AS tidak akan mungkin menyerahkan Taiwan. Karena Taiwan menyangkut keamanan Jepang dan Korea Selatan, juga menyangkut pertahanan AS di rantai pulau pertama. Jika rantai pulau pertama ini terputus, maka Hawaii dan Guam di belakangnya akan sulit dijaga, dan AL-PKT dapat langsung menjangkau laut lepas California. Jadi bagi AS, melindungi Taiwan sudah menjadi kepentingan nasional, hal ini menyangkut soal keamanan nasional AS, menjaga Taiwan berarti menjaga AS sendiri. Jadi masalahnya bukan persoalan apakah AS mau mendukung Kuo Min Tang (partai nasionalis), atau layaknya bagi AS mendukung Kuo Min Tang, bukan itu masalahnya. Jika Partai Progresif Demokrat (DPP) Taiwan yang berkuasa, dan bekerjasama dengan baik dengan AS, maka AS akan lebih mudah bekerja. Jika yang berkuasa adalah faksi pro-komunis, maka akan sangat menyulitkan bagi AS, tapi AS tidak mungkin menyerahkan Taiwan begitu saja. Jika PKT berniat berhadapan dengan AS, dapat dipastikan AS memiliki banyak cara untuk menekan PKT. Berdasarkan konsep geopolitik inilah, AS tidak dapat menyerahkan Taiwan. Jadi yang didukung oleh AS adalah Taiwan, bukannya mendukung salah satu partai tertentu di dalam negeri Taiwan. Demikian pungkas Wu Jialong. (Sud/whs)