Kelompok Houthi Yaman Mengancam Pelayaran Global

Antonio Graceffo

Serangan terhadap kapal dagang di Laut Merah oleh Houthi merupakan ancaman bagi pelayaran global.

Merespon perang Israel-Hamas, gerakan Syiah Houthi, yang secara resmi dikenal sebagai Ansar Allah, telah menyerang kapal dagang di Laut Merah. Serangan meningkat pada akhir pekan  2 Desember, ketika pemberontak Houthi menembakkan rudal balistik, menghantam tiga kapal komersial, dan kapal perang AS terpaksa menembak jatuh tiga drone. Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka akan mempertimbangkan segala tindakan untuk melawan kelompok Houthi yang didukung Iran, dan para pejabat AS bahkan mengatakan bahwa Iran berada di balik serangan ini.

Militer Yaman mencegah kapal angkatan laut Israel mengakses Laut Merah. Pada saat yang sama, Houthi mengancam kapal-kapal berbendera Israel. Namun, kapal-kapal yang diserang memiliki registrasi dan bendera yang berbeda-beda, termasuk Panama, Bahama, dan Norwegia. Pemiliknya tidak hanya berbasis di Israel tetapi juga di Inggris, Jepang, dan negara-negara lain.

Houthi muncul sebagai gerakan oposisi terhadap Kegubernuran Saada di Yaman pada tahun 1990an. Mereka menuduh Presiden Yaman saat itu Ali Abdullah Saleh melakukan korupsi dan menentang dukungan yang diterimanya dari Arab Saudi dan Amerika Serikat. Pada 2003, kelompok tersebut mengadopsi slogan organisasi teroris Syiah Lebanon, Hizbullah: “Tuhan Yang Maha Besar, Kematian bagi Amerika, Kematian bagi Israel, Terkutuklah Yahudi, Kemenangan bagi Islam.” Pada tahun 2004, pemimpin kelompok tersebut, Hussein al-Houthi, dibunuh oleh tentara Yaman. Sejak itu, saudaranya, Abdul-Malik al-Houthi, memegang tampuk kepemimpinan.

Gerakan Houthi sebagian besar terdiri dari Muslim Syiah yang terkadang melakukan diskriminasi terhadap Sunni Yaman. Di sisi lain, mereka juga bersekutu dengan Sunni jika hal tersebut memungkinkan. Secara umum, kelompok ini menentang Israel dan Amerika Serikat dan kritis terhadap negara-negara Arab atau Muslim yang bersekutu dengan kedua negara tersebut.

Di Yaman, kelompok Houthi menentang perundingan perdamaian yang akan membagi negara menjadi beberapa wilayah, yang akan melemahkan kontrol geografis kelompok tersebut. Pada tahun 2014, mereka mengalihkan kesetiaan kepada penguasa lama Ali Abdullah Saleh, yang memegang kekuasaan dari tahun 1978 hingga 2012. Penguasa baru, Abdrabbuh Mansur Hadi, presiden dari tahun 2012 hingga 2022, menghadapi oposisi Houthi. Kelompok Houthi mengambil alih ibu kota Sanaa, menjadikan Hadi sebagai tahanan rumah pada tahun 2014. 

Aliansi tak terduga mereka dengan Saleh melawan Hadi meningkatkan konflik tersebut menjadi perang saudara. Kekuatan regional seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab melakukan intervensi untuk mendukung Hadi, sementara Amerika Serikat memberikan dukungan kepada koalisi yang dipimpin Saudi. Aliansi Houthi-Saleh mulai runtuh, yang menyebabkan pembunuhan Saleh oleh Houthi pada Desember 2017.

Sejak tahun 2017 dan seterusnya, konflik di Yaman berlanjut dengan pemberontak Houthi dan pasukan yang bersekutu dengan Presiden Hadi terlibat dalam pertempuran terus-menerus. Krisis kemanusiaan semakin parah, menyebabkan jutaan orang sangat membutuhkan makanan dan bantuan medis di tengah blokade dan terbatasnya akses kemanusiaan. Sebuah resolusi yang bertahan lama terbukti mustahil meskipun ada upaya diplomasi internasional, termasuk perundingan damai. Kekuatan regional, terutama Arab Saudi dan UEA, tetap mempertahankan dukungan mereka terhadap pemerintah yang diakui secara internasional, dan Amerika Serikat terus mendukung pihak Saudi.

Rusia dan Tiongkok telah memainkan peran dalam konflik tersebut. Rusia, meskipun tidak secara langsung berpartisipasi dalam intervensi militer, tetapi  terlibat secara diplomatis, menyatakan keprihatinan tentang situasi kemanusiaan, dan dilaporkan terlibat dalam penjualan senjata kepada faksi-faksi dalam konflik. 

Perusahaan militer swasta yang terkait dengan Kremlin, Wagner, telah menghadapi tuduhan keterlibatan di Yaman, yang sejalan dengan kepentingan Rusia. Kegiatan Wagner, termasuk potensi dukungan untuk faksi-faksi, sulit untuk diverifikasi karena sifatnya yang terselubung.

Tiongkok, yang juga berhati-hati, telah terlibat secara diplomatis, menyatakan keprihatinan kemanusiaan, dan mendukung solusi politik di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Selain meningkatkan profil diplomatiknya, kepentingan utama Beijing tampaknya adalah minyak. Pada Mei 2023, Houthi menandatangani nota kesepahaman dengan Beijing dan Anton Oilfield Services Group dari Tiongkok untuk terlibat dalam investasi terkait eksplorasi minyak di dalam negeri.

Iran telah memainkan peran penting dalam konflik ini dengan memberikan dukungan politik, keuangan, dan militer kepada Houthi. Dukungan ini, termasuk tuduhan memasok senjata dan pelatihan, telah mengintensifkan konflik dan meningkatkan ketegangan regional. Dipandang sebagai bagian dari strategi regional Iran yang lebih luas untuk memperluas pengaruhnya, keterlibatan mereka di Yaman berfungsi untuk menantang pengaruh Saudi di Timur Tengah. Amerika Serikat menuduh Iran menyediakan drone dan rudal kepada Houthi, seperti yang mereka gunakan untuk menyerang kapal-kapal di Laut Merah.

Karena risiko serangan Houthi, perusahaan-perusahaan pelayaran menghindari Selat Bab al-Mandab, sebuah jalur air strategis yang penting yang menghubungkan ujung selatan Laut Merah ke bagian utara Teluk Aden, yang pada akhirnya mengarah ke Laut Arab dan Samudra Hindia. Hubungan antara Selat Bab al-Mandab dan Terusan Suez sangat penting untuk perdagangan maritim. Sekitar 12 persen perdagangan dunia melaluinya, begitu juga dengan 10 persen pasokan minyak global. 

Kini, kapal-kapal harus mengambil rute yang lebih panjang di sekitar Tanjung Harapan, menambah waktu sekitar 14 hari dan meningkatkan biaya serta penundaan.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin telah mengumumkan pembentukan koalisi angkatan laut internasional yang dipimpin 10 negara, bekerja sama dengan Inggris, Bahrain, Kanada, Prancis, Italia, Belanda, Norwegia, Seychelles, dan Spanyol. Tetapi Teheran telah memprotes koalisi angkatan laut internasional dan memperingatkan bahwa koalisi itu akan menghadapi “masalah luar biasa.”

Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Mr. Graceffo adalah lulusan dari Shanghai University of Sport, memegang gelar Tiongkok-MBA dari Shanghai Jiaotong University, dan saat ini sedang mempelajari pertahanan nasional di American Military University. Dia adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019)