Protes Pekerja Tiongkok Meningkat Dua Kali Lipat Sepanjang 2023, Menjadi Ancaman bagi Kekuasaan PKT 

Sophia Lam – The Epoch Times

Para pekerja Tiongkok melakukan aksi protes dua kali lipat lebih banyak untuk membela hak-hak mereka pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menurut sebuah kelompok hak asasi manusia yang berbasis di Hong Kong. Para pengamat Tiongkok mengatakan bahwa meluasnya unjuk rasa dapat menyebabkan kejatuhan Partai Komunis Tiongkok (PKT).

China Labor Bulletin (CLB), sebuah organisasi nirlaba di Hong Kong yang “mendukung dan secara aktif terlibat dengan gerakan buruh yang sedang berkembang di Tiongkok,” melaporkan 1.779 protes pada 31 Desember di tengah-tengah pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, pengurangan upah, dan penutupan bisnis di negara tersebut.

Lai Jianping, mantan pengacara Tiongkok dan komentator masalah saat ini yang berbasis di Kanada, dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan edisi The Epoch Times bahasa Mandarin  bahwa munculnya aksi protes pekerja Tiongkok berskala besar adalah “hasil yang tak terelakkan” dari krisis ekonomi Tiongkok. 

Lai percaya bahwa protes-protes tersebut dapat menyebabkan runtuhnya rezim komunis Tiongkok.

Protes Pekerja Nasional pada 2023

Ekonomi Tiongkok tetap lesu pada 2023 meskipun ada pelonggaran mendadak dari tindakan nol-COVID yang kejam sejak Desember 2022.

CLB melaporkan, berkurangnya pesanan dari pembeli internasional dan kondisi ekonomi yang buruk di negara tersebut telah menyebabkan pabrik-pabrik memberhentikan pekerja, merelokasi untuk meminimalkan biaya, atau tutup sama sekali. 

Laporan CLB mengungkapkan bahwa protes tersebut terutama terkait dengan industri yang berorientasi ekspor – seperti elektronik, garmen dan pakaian jadi, mainan, dan otomotif – dan para pekerja memprotes upah, PHK, dan relokasi, serta menuntut kompensasi.

Aksi protes meletus di seluruh Tiongkok, termasuk di empat kotamadya yang berada di bawah pemerintahan langsung PKT.

Provinsi Guangdong, pusat manufaktur utama, mencatat 510 protes dengan berbagai ukuran tahun lalu, yang tertinggi di negara itu, menurut laporan CLB.

Jumlah protes tertinggi kedua (108) dilaporkan terjadi di Provinsi Shandong di bagian timur Tiongkok, diikuti oleh Provinsi Henan di bagian tengah dan Provinsi Shanxi di bagian utara (masing-masing tercatat 100 aksi protes).

Dari keempat kota tersebut, Beijing, ibu kota Tiongkok, dilaporkan mencatat 33 aksi protes tahun lalu, sementara Shanghai mencatat 47 aksi protes, Chongqing mencatat 35 aksi protes, dan Tianjin mencatat 25 aksi protes.

Pada 7 Januari tahun lalu, protes berskala besar meletus di Chongqing setelah ribuan pekerja secara tiba-tiba di-PHK oleh Zybio, Inc, produsen alat tes COVID-19, salah satu aksi protes paling awal di bulan pertama tahun ini yang tercatat dalam laporan CLB. Pihak berwenang setempat mengirimkan polisi anti huru hara untuk menekan protes tersebut.

Aksi Protes Lainnya

Menurut Nikkei Asia, 1.777 demonstrasi tercatat di negara ini yang terkait dengan sektor properti antara Juni 2022 dan Oktober 2023. Dua pertiga dari demonstran ini adalah pembeli rumah dan pemilik rumah yang memprotes “penundaan proyek, pelanggaran kontrak, dugaan penipuan, dan pengerjaan yang buruk.” 

Sebagian besar demonstran yang tersisa adalah pekerja konstruksi yang menuntut upah yang belum dibayar.

Pada 21 Juli 2023, ribuan orang tua berunjuk rasa di berbagai instansi pemerintah di kota Xi’an, Provinsi Shaanxi, untuk memprotes kebijakan pemerintah yang membatasi akses siswa terhadap peluang pendidikan sekolah menengah dan perguruan tinggi.

Dikarenakan pemerintah Tiongkok memiliki catatan buruk dalam menutup-nutupi informasi, sulit untuk menilai skala sebenarnya dari aksi protes ini.

‘Mereka Harus Berjuang untuk Kelangsungan Hidup Mereka’

Lai mengatakan bahwa kampanye pembelaan hak asasi manusia baru-baru ini di Tiongkok melibatkan “lebih banyak peserta” dan aksi-kasi tersebut “lebih intens dari sebelumnya.”

Dia menambahkan bahwa banyak orang saat ini menghadapi kemiskinan ekstrem, kekurangan sumber daya keuangan untuk menghidupi keluarga mereka, membiayai pendidikan anak-anak mereka, menutupi biaya medis, dan membayar hipotek.

Lai menegaskan : “Orang-orang ini hanya dapat tegak  untuk mempertahankan hak-hak mereka yang sah,  menuntut tunggakan gaji, dan meminta kesempatan kerja.”

Selain itu, dengan kembali ke era revolusi Mao Zedong, pemimpin partai komunis Tiongkok, Xi Jinping, “telah menghalangi investor asing dan pengusaha swasta Tiongkok untuk terlibat dengan Tiongkok.”

Li Yuanhua, seorang mantan pakar sejarawan Tiongkok yang sekarang tinggal di Australia, percaya bahwa protes yang meluas di kalangan pekerja terutama berasal dari “keinginan mereka untuk bertahan hidup.”

Li kepada The Epoch Times menjelaskan : “Kelas istimewa di dalam PKT telah menjarah aset-aset sosial, sementara para pekerja Tiongkok yang berada di lapisan terbawah masyarakat telah terdesak hingga ke batas kemampuan mereka. Karena tidak dapat mengamankan kebutuhan dasar dan kelangsungan hidup mereka, lalu mereka terpaksa mengambil sikap.”

Ia menambahkan, sistem kesejahteraan sosial Tiongkok berada di ambang kehancuran dan tidak dapat memberikan dukungan apa pun kepada kelas pekerja miskin,  seraya mengutarakan bahwa “mereka harus berjuang untuk kelangsungan hidup mereka.”

Aksi Protes Massal Mungkin Mengakhiri Kekuasaan PKT

PKT telah mengadopsi pendekatan keras untuk menekan para pembangkang dan pengunjuk rasa demi mempertahankan pemerintahan otoriternya.

Namun demikian, ketika rakyat berjuang untuk bertahan hidup, mereka tidak lagi takut akan penindasan PKT, kata Li, seraya mengatakan bahwa inilah yang ditakuti oleh rezim tersebut.

“Perlawanan dari masyarakat semacam ini adalah tulus, dan mereka tidak takut terhadap penindasan kejam yang dilakukan oleh PKT. Bagi mereka, perlawanan dapat menyebabkan kematian, namun tanpa perlawanan, kematian tidak bisa dihindari. Jadi mengapa mereka tidak melawan?!”

Bagi Mr. Lai, PKT tidak dapat secara efektif menghentikan semua kampanye protes nasional.

“PKT menghadapi tantangan yang luas, dengan gelombang pengangguran dan PHK yang berdampak pada berbagai industri dan sektor. Aksi protes dan insiden pembelaan hak asasi manusia terus bermunculan, dan kekacauan terjadi di mana-mana di negara ini. … Maka dapat diperkirakan bahwa PKT tidak punya cara untuk menanganinya,” ujarnya.

“Sampai batas tertentu, situasi ini merupakan ancaman signifikan terhadap kekuasaan rezim komunis. Seperti kata pepatah Tiongkok kuno, ‘Jika seseorang tidak takut mati, maka tidak ada gunanya mengancam mereka dengan kematian,” jelasnya.

Zhang Hong dan Luo Ya berkontribusi pada laporan ini.