Teresa Teng – Indah Bagai Lukisan, Merdu Bagai Lagu 

SUATU KEJAP DALAM SEJARAH

Sebuah tembang, mampu mengungkit kenangan indah; suatu melodi, mampu membangkitkan denyut zaman.

Teresa Teng atau Deng Lijun (Teng Li-chun) adalah sebuah nama besar yang tidak mungkin dilewati dalam sejarah musik pop Tiongkok, bukan hanya konsernya tidak pernah disiarkan di media massa resmi Komunis Tiongkok, juga pernah diboikot oleh pemerintah RRT, tapi suara nyanyiannya menyebar luas ke seantero negeri, dan mengukir begitu mendalam di hati penggemarnya generasi demi generasi.

Sebuah Radio, Pagi Mendengar Deng Tua, Malam Mendengar Deng Muda

Bagi orang-orang di daratan Tiongkok dengan kelahiran era 1960-an sampai awal 1970-an abad lalu, masa muda yang dilalui mereka adalah era “Revolusi Kebudayaan (1966 – 1976)”, dan di masa kecil mereka sama sekali tidak ada konsep mengidolakan seseorang.

Pada akhir era 1970-an, baru saja Tiongkok mulai membuka diri, lagu-lagu gelombang pertama yang masuk dari Hong Kong dan Taiwan ke dataran Tiongkok, terdengar sesuatu yang sangat baru dan segar di telinga rakyat Tiongkok. Waktu itu tape recorder termasuk benda mewah, di jalan-jalan kerap terlihat pemuda pemudi mengenakan kacamata hitam (waktu itu di sana disebut kacamata kodok), dan mengendarai sepedanya sambil membawa sebuah tape recorder melintasi jalanan kota. Lagu yang diputar biasanya adalah lagu-lagu Teresa Teng, seperti “Mei Jiu Jia Ka Fei”, “Xiao Cheng Gu Shi” (The Story of a Small Town), “Tian Mi Mi”, dan lain-lain…

Suara nyanyian Teresa Teng yang merdu menawan, lagu-lagunya yang penuh cinta, kekerabatan, dan kerinduan akan kampung halaman, telah menyampaikan makna sendu dan intim, sangat berbeda dengan opera revolusioner yang kaku dan dogmatis dari PKT yang telah terbiasa didengar di era Revolusi Kebudayaan. Bagi kaum muda-remaja yang penuh angan-angan akan masa depan, lagunya memiliki daya tarik yang sangat kuat.

Teresa Teng “kekasih abadi para prajurit”. (Foto: Chen Bozhou/the Epoch Times)

Mahasiswa di masa itu tidak hanya mendengarkan lagu-lagu Teresa Teng, juga menyalin lirik lagunya, banyak orang yang bahkan menggunakan kata-kata dari lagunya di dalam buku diari atau surat cintanya. “Si manis, kau tersenyum begitu manis, dimana pernah bertemu denganmu, senyummu serasa begitu kukenal, tapi tidak bisa mengingatnya, mungkin di dalam mimpi! Ya, bertemu denganmu di dalam mimpi.” Lirik lagu ini untuk zaman sekarang masih cukup efektif untuk memikat hati para gadis. Akan tetapi hal-hal menarik pada diri Teresa Teng yang membuatnya disukai oleh banyak orang, justru menjadi alasan lagunya dilarang oleh PKT kala itu. Dengan cepat lagu-lagu Teresa Teng itu dicap sebagai “lagu mesum” dan dikata-katai sebagai “irama yang merangsang”, sama halnya seperti celana cutbray, dianggap sebagai hal-hal yang dapat “dekaden/merusak anak-anak” oleh para guru dan orang tua di zaman itu.

Di awal Revolusi Kebudayaan (1966-67), Kementerian Propaganda yang dijuluki oleh Mao Zedong sebagai istana neraka itu dihancurkan. Satu pernyataan Mao Zedong, “Hancurkan istana neraka, bebaskan setan-setan kecil”, bahkan corong partai pun tidak boleh ada, hanya boleh ada suara satu orang yaitu suara Mao Zedong. Tahun kedua seusai Revolusi Kebudayaan yakni 1977, Kementerian Propaganda diaktifkan kembali. Dilakukanlah sedikit pekerjaan, meskipun para revolusioner tua telah kenyang dengan derita jalur ekstrem kiri selama masa Revolusi Kebudayaan, tapi corong propaganda partai ini, selamanya tetap miring ke kiri.

Tahun 1980, Asosiasi Musisi Tiongkok (CMA) menggelar rapat di Xishan, ini adalah rapat khusus yang diadakan oleh Kementerian Propaganda, merupakan rapat khusus mengkritik Teresa Teng. Ini juga merupakan salah satu cara partai komunis.

Yang dihujat paling keras dalam rapat itu adalah lagu yang berjudul “He Ri Jun Zai Lai” (When Will You Return = 何日再來). Karena kata “jun (君)” dalam judul lagu itu merupakan aksara yang sama dengan nama Teresa Teng (鄧麗), kalau sekarang “He Ri Jun Zai Lai” sering digunakan untuk mengenang konser atau albumnya. Namun waktu itu, bagaimana “He Ri Jun Zai Lai” dihujat? Bagi PKT, masalahnya terletak pada lirik lagunya: “Dalam kehidupan manusia berapa kali bisa mabuk (cinta), bila tidak bergembira sekarang tunggu kapan lagi. Setelah berpisah malam ini, kapan Anda akan datang lagi.”; “Pria dan wanita, bahkan mabuk-mabukan, apa yang dilakukan di malam hari? Bukankah ini mesum?” 

Para pekerja Federasi Sastra dan Seni Tiongkok (CFLAC) yang berhaluan kiri dan beruntung bertahan hidup di masa Revolusi Kebudayaan mengatakan, “Saya sangat mengenal lagu ini, yang sudah dinyanyikan sejak 1937. Waktu itu Jepang masih menguasai Shanghai, dan seluruh Kota Lama Shanghai mengenalnya. Kata “Jun” datang lagi adalah berharap Kuo Min Tang (Pemerintahan Partai Nasionalis yang pada 1949 ditumbangkan oleh PKT dan mengungsi ke Taiwan. Red.) datang lagi dan merebut kembali wilayah daratan Tiongkok. Jika dinyanyikan, bukankah berarti berkomplot dengan Kuo Min Tang untuk ‘menyerang kembali ke Tiongkok’.” Label sebagai lagu reaksioner itu pun disematkan. Lembaga pemerintahan dan unit perusahaan diinstruksikan agar menyerahkan semua kaset rekaman Teresa Teng untuk dihancurkan. Mendengar lagu Teresa Teng pun seolah mendengarkan siaran radio musuh. Maka, satu unit radio, pagi hari mendengar Deng Tua (maksudnya Deng Xiaoping. Red.), malam hari mendengar Deng Muda (Teresa Teng). Ini mirip seperti warga Korea Utara sekarang yang diam-diam menyaksikan Drakor (drama Korea Selatan).

Rezim Diktator Takut padanya, Namun Warga Cinta padanya

Penyanyi yang begitu ditakuti rezim, namun begitu dicintai rakyat ini, bagaimanakah sebenarnya sosoknya?

Pada 29 Januari 1953, lahirlah anak keempat dari keluarga Deng Shu (baca: Teng Shu, red.) di Kabupaten Yunlin, Taiwan. Dia juga merupakan putri pertama dari keluarga itu. Deng Shu adalah seorang perwira militer, yang ikut dengan pasukan Angkatan Bersenjata Republik Tiongkok (Kuo Min Tang) hijrah ke Taiwan pada 1949. Saat putrinya genap berusia 1 bulan, seorang teman akademisi sang ayah memberinya nama: Liyun (麗筠), tapi keluarga dan tetangganya membaca kata “Yun” (筠) itu menjadi “Jun” (均). Kemudian dengan pelafalan ini kata 均 diganti 君 (baca: Jun, red.) dan dipakai sebagai nama panggung Teresa Teng.

Sejak kecil Teresa Teng telah memperlihatkan bakat menyanyi. Pada 1964, Teresa Teng yang berusia 11 tahun mengikuti lomba menyanyi yang diadakan oleh stasiun radio Chung Hwa Broadcasting Co. Ltd., dan meraih juara ke 1; di tahun 1967 pada usia 14 tahun, Teresa Teng mulai mengeluarkan album pertamanya yang berjudul “Feng Yang Flower Drum”. Dua tahun kemudian di usia 16 tahun dia mulai memainkan peran di film layar lebar, dan setelah itu ketenaran Teresa Teng pun kian melejit. Di era 1970-an, Teresa Teng mulai mengembangkan karirnya di Jepang.

Tahun 1979 karena AS menjalin hubungan diplomatik dengan Tiongkok, diplomasi luar negeri Taiwan seketika mengalami kekacauan yang tak terduga. Akibatnya, karena masalah paspor Teresa Teng ditolak masuk ke Jepang. Menariknya adalah, pada saat itu pula, lagu-lagu Teresa Teng mulai beredar luas di Tiongkok. Partai komunis memanfaatkan konfrontasi antara AS dengan Uni Soviet dan berhasil mengepung Taiwan, namun justru lagu-lagu dari dunia demokrasi malah beredar di daratan Tiongkok. Di satu sisi surut di sisi lain pasang, bukankah semuanya berkat belas kasih Yang Maha Kuasa?

Sekembalinya ke Taiwan, Teresa Teng kerap melakukan pertunjukan keliling menghibur para prajurit Angkatan Bersenjata Republik Tiongkok (Taiwan). Pada Oktober 1980, Teresa Teng kembali dari AS mengadakan konser di Taiwan, dan menyumbangkan pendapatan dari konser itu kepada “Yayasan Patriot Mandiri”; dalam konsernya, sang MC bertanya pada Teresa Teng “Apakah akan menggelar konser di daratan Tiongkok”, dia menjawab, “Jika saya mengadakan konser di Tiongkok, maka di hari saya mengadakan konser di Tiongkok adalah hari dimana ‘Tiga Prinsip Rakyat’ (Three Principles of the People = San Min Cu Ie, Red.) diterapkan di Tiongkok.” Jadi, meskipun dia memiliki begitu banyak fans di daratan Tiongkok, tetapi Teresa Teng belum pernah mengadakan konser di sana.

Pada 1989 meletus gerakan demokrasi di Beijing. Kala itu bertepatan Teresa Teng sedang mengadakan konser amal di Hong Kong yang bertajuk “Concert for Democracy in China” bersama dengan Andy Lau, Chou Yun-fat, Maggie Cheung (Cheung Man-yuk), Anita Mui (Mui Yim-fong) dan banyak lagi para artis dari Taiwan dan Hong Kong lainnya, mereka bersama-sama menyanyikan lagu “Wo De Jia Zai Shan Na Bian” (Rumahku di Balik Gunung Itu, red.).

Sejati-Kasih-Indah dalam Taraf Kehidupannya

Waktu bergulir sampai tahun 1995, Teresa Teng yang dijangkiti penyakit asma menjalani therapi penyembuhan di Chiang Mai, Thailand. Pada 8 Mei sore hari, penyakit asma Teresa Teng tiba-tiba kambuh; waktu itu bertepatan jam pulang kantor, kondisi lalu lintas yang buruk telah menghambat waktu kedatangannya di rumah sakit. Penyanyi ternama Teresa Teng pun menghebuskan napas terakhirnya pada usia 42 tahun.

Terkenang ketika masih kecil, karena mendengar lagu “Mei Jiu Jia Ka Fei” yang dinyanyikan Teresa Teng dari tape recorder dengan kaset tipe lama, di telinga saya yang terdengar adalah “Mei Jiu Jia A Fei, aku hanya bisa minum segelas”. Istilah A Fei bermakna preman, jadi preman itu memaksa Teresa Teng minum, yang dipaksa minum segelas besar, kala itu penulis setiap hari galau, memikirkan entah bagaimana baru bisa melindungi Teresa Teng dari preman.

Bagi rakyat Tiongkok dengan kelahiran 1950-an, 1960-an, dan 1970-an, bagaimana suara nyanyian Teresa Teng ini bagi mereka, bagaimana dia menggugah orang-orang dari beberapa generasi itu? Sangat sulit bagi kaum muda sekarang untuk memahami situasi dan kondisi waktu itu.

Kaum muda sekarang memiliki banyak idola, dan mengejar para artis dengan menggelora, generasi demi generasi, bergerombolan memuja artis baru. Karena sekarang bintang film bertebaran dimana-mana. Di tengah larangan di Tiongkok yang begitu ketat, sebuah lagu Teresa Teng ibarat sebuah sumber air jernih di tengah padang gurun yang gersang; ibarat hujan di musim semi yang membasahi tanah merekah karena kering. Sekarang ada surround sound system yang begitu sempurna, dan mengguncang tubuh dengan gelombang suaranya. Lagu Teresa Teng, dulunya juga menggetarkan kami, hanya saja guncangan seperti itu, berasal dari sanubari yang paling dalam.

Hari ini dalam sejarah, Teresa Teng, sosok yang indah bagai sebuah lukisan, merdu bagai sebuah lagu. Sejati, kasih, indah dalam taraf kehidupannya, sudah tercakup di dalamnya. (sud/whs)