Ekonomi Tiongkok Tidak Dapat Menyalip Amerika Serikat

Antonio Graceffo

Sudah bukan lagi sebuah kesimpulan yang tak mungkin bahwa Tiongkok akan melampaui Amerika Serikat secara ekonomi, mengingat masalah-masalah ekonomi dan diplomatik Tiongkok dan kekuatan AS.

Sebagai bagian dari targetnya pada tahun 2049, pemimpin Tiongkok, Xi Jinping, ingin Tiongkok menyalip Amerika Serikat sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia. 

Saat ini, banyak ahli percaya bahwa Partai Komunis Tiongkok (PKT) tidak akan mencapai tujuan ini karena kombinasi faktor ekonomi dan politik di Tiongkok, serta kekuatan diplomatik Beijing yang semakin berkurang. Di saat yang sama ketika kemampuan Tiongkok dalam mengejar ketertinggalannya semakin berkurang, ekonomi AS justru tetap kuat.

Ekonomi Tiongkok tak pernah sepenuhnya pulih dari lockdown akibat COVID-19 yang merusak, apalagi diberlakukan lebih lama oleh Xi dibandingkan negara-negara lain. 

Lockdown yang begitu lama dan tidak dapat diprediksi sehingga banyak perusahaan dan negara mulai merelokasi setidaknya sebagian dari rantai pasokan atau manufaktur mereka dari Tiongkok.

Pada saat Tiongkok dibuka kembali, sistem baru sudah terbentuk, dengan negara-negara seperti Meksiko dan India menuai manfaatnya. Sektor manufaktur yang tetap berada di Tiongkok mengalami dampak negatif dari perlambatan ekonomi global, dan Beijing sekarang berusaha mempertahankan tingkat pekerjaan dan merangsang pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi produksi dan ekspor.

Di saat yang sama ketika ekspor menurun, utang meningkat, dengan rasio utang terhadap PDB mencapai 286,1%. Pemerintah lokal bergulat dengan tingkat krisis utang. Biasanya, penjualan real estat akan membantu menutupi kewajiban ini, tetapi sektor real estate, yang mana menyumbang 20 persen dari ekonomi negara, sedang mengalami penurunan. China Evergrande, raksasa real estate dengan utang lebih dari $300 miliar, telah diperintahkan untuk melikuidasi aset-asetnya.

Zhongzhi, sebuah bank bayangan terkemuka dengan utang $65 miliar, juga telah menyatakan kebangkrutan, memicu kekhawatiran tentang stabilitas seluruh sistem keuangan. Para manajer investasi semakin sering menggunakan istilah “tidak dapat dibalikkan” untuk menggambarkan pasar Tiongkok, yang telah menyaksikan tren aksi jual yang konsisten. Indeks saham acuan MSCI Tiongkok telah merosot nilainya hanya di bawah $ 2 triliun sejak puncaknya pada 2021.

Kebijakan luar negeri PKT yang agresif di Laut Tiongkok Selatan dan perselisihannya dengan Amerika Serikat, Taiwan, Filipina, Jepang, dan Vietnam menyebabkan Beijing semakin terisolasi. Dengan lebih sedikit teman dan sekutu diplomatik, investasi dan perdagangan juga menderita.

Sebagai contoh, di Korea Selatan, setelah ancaman berulang kali dari Beijing dan proksi Pyongyang, perdagangan, investasi, dan bahkan pertukaran pelajar dengan Tiongkok semuanya menurun. 

Ancaman terus-menerus terhadap berbagai anggota Uni Eropa, Australia, dan Jepang juga berdampak pada ekonomi karena negara-negara ini secara bertahap berusaha mengurangi ketergantungan mereka kepada Tiongkok.

Sementara itu, propaganda nasionalis dari PKT mengusir merek-merek asing. 

Hollywood, produsen mobil AS, dan perusahaan seperti Apple tidak lagi mendapatkan keuntungan yang sama di Tiongkok seperti dulu. Banyak dari perusahaan ini mengalihkan fokus mereka ke India, negara berkembang, Amerika Serikat, atau Meksiko.

Sebagian besar kemampuan Tiongkok untuk mencapai tujuan ekonominya bergantung kepada upaya PKT  membentuk kembali tatanan berbasis aturan internasional agar lebih sesuai dengan preferensi rezim.  Belt and Road Initiative  (BRI) memainkan peran penting dalam pergeseran ini. 

Namun, BRI tidak berkembang seperti yang dibayangkan Xi. Banyak negara di sepanjang BRI menghadapi kesulitan keuangan karena peningkatan PDB yang dijanjikan gagal terwujud. 

Beberapa negara berada dalam situasi yang sulit di mana proyek BRI masih belum selesai dan perolehan pendapatan bergantung kepada penyelesaiannya, sehingga membutuhkan pinjaman lebih lanjut.

Melihat dampak negatif yang dialami oleh negara-negara lain, beberapa negara memilih untuk membatalkan keterlibatan mereka dalam proyek BRI. Meskipun Beijing menyoroti jumlah negara yang awalnya menandatangani inisiatif ini, banyak negara  tidak melanjutkan proyek mereka. 

Selain itu, para pemberi pinjaman dari Tiongkok kini dihadapkan pada utang senilai ratusan miliar dolar yang mungkin tidak dapat ditagih.

Di sisi domestik, Tiongkok menghadapi deflasi, rekor pengangguran kaum muda, dan anjloknya angka kelahiran. Menurunnya angka kelahiran dan harapan hidup yang lebih panjang mendorong negara ini menuju krisis penuaan, di mana akan ada lebih banyak pensiunan daripada pekerja aktif. 

Meskipun inovasi berpotensi menyelamatkan ekonomi Tiongkok, menyusutnya investasi asing langsung dan berkurangnya minat perusahaan-perusahaan asing untuk membangun operasi di Tiongkok berarti semakin sedikit teknologi baru yang masuk dari luar negeri. 

Selain itu, kecenderungan rezim komunis untuk mendukung perusahaan milik negara selama kemerosotan ekonomi meminggirkan sektor swasta. Secara umum, sektor swasta mendorong inovasi dan memperkenalkan ide dan teknologi yang mengubah dunia.

Secara historis, kekuatan Amerika Serikat adalah imigrasi, sebuah tren yang sangat kontras dengan Tiongkok. Ketika sektor swasta menghadapi tekanan di tempat lain, atau ketika para pengusaha merasa terbatas di negara asalnya, mereka sering kali berpaling ke Amerika Serikat, membawa visi dan ide mereka. Masuknya talenta ini merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang menyebabkan Amerika Serikat terus menjadi negara paling inovatif di dunia.

Amerika Serikat merupakan rumah bagi 75 perusahaan paling inovatif di dunia. Amerika Serikat juga menempati posisi teratas untuk pengeluaran penelitian dan pengembangan dalam bentuk dolar riil serta menempati peringkat ketiga secara global untuk pengeluaran R&D sebagai persentase dari PDB. Sebaliknya, Tiongkok berada di peringkat ke-14. 

Terlepas dari perpecahan politik serta masalah narkoba dan kejahatan yang muncul, ekonomi AS telah mempertahankan kekuatannya dibandingkan dengan ekonomi Barat lainnya selama dan setelah pandemi. Selain itu, institusi dan pengadilan AS tetap kuat, memastikan hak-hak properti dan melindungi kekayaan intelektual, yang telah menyebabkan lebih banyak FDI mengalir ke negara tersebut dibandingkan dengan Tiongkok.

Terakhir, meskipun tingkat pertumbuhan PDB Tiongkok lebih tinggi daripada Amerika Serikat, ekonomi AS lebih besar, yang berarti bahwa persentase pertumbuhan yang lebih kecil pun mewakili jumlah  lebih besar dalam dolar riil. 

Untuk mengejar ketertinggalan, Tiongkok harus mengatasi tantangan ekonomi internalnya dan isu-isu diplomatik eksternal, tetapi Xi tampaknya kurang tertarik untuk melakukannya.

Antonio Graceffo, Ph.D., adalah seorang analis ekonomi Tiongkok yang telah menghabiskan lebih dari 20 tahun di Asia. Graceffo adalah lulusan Shanghai University of Sport, meraih gelar MBA Tiongkok dari Universitas Shanghai Jiaotong, dan saat ini mempelajari pertahanan nasional di Universitas Militer Amerika. Dia adalah penulis “Beyond the Belt and Road: China’s Global Economic Expansion” (2019)