Ucapan Konyol Ibu Suri Semasa Dinasti Qing Ketika Melihat Bola Lampu untuk Pertama Kalinya

EtIndonesia. Lampu listrik yang kini menjadi perlengkapan di setiap rumah tangga, merupakan hal baru yang langka di abad ke-19. Bahkan pada penghujung abad ke-19, masih banyak warga masyarakat yang asing terhadap bola lampu dan fungsinya. Pada masa Dinasti Qing, ketika lampu listrik mulai populer di negara-negara Barat, Dinasti Qing hanya bisa membiarkan revolusi industri pertama yang berkobar saat itu lewat begitu saja, karena memilih mengisolasi diri. Oleh karena itu, lampu listrik masih asing bagi Tiongkok pada masa itu.

Melihat kembali ke masa itu, bahkan orang yang paling berkuasa seperti Ibu Suri Cixi hanya tahu sedikit tentang lampu listrik. Konon saat pertama kali melihat lampu listrik, dia justru mengucapkan kata konyol yang mempermalukan dirinya.

Li Hongzhang, seorang Menteri Beiyang, perwakilan terkemuka gerakan Westernisasi di Dinasti Qing, pernah menggunakan lampu listrik dan sangat merasakan bahwa sumber cahayanya yang terang dan tanpa asap jauh lebih baik daripada penerangan dengan lilin atau lampu minyak yang biasa digunakan pada zaman itu.

Li Hongzhang berharap Cixi juga dapat menyetujui penerangan dengan lampu listrik, sekaligus mendukung perkembangan Westernisasi. Melihat hal tersebut, ia memutuskan untuk menghadiahkan satu set perlengkapan penerangan dengan lampu listrik kepada Ibu Suri Cixi.

Pada tahun 1888, Li Hongzhang membeli satu set bola lampu dan peralatan catu daya yang dibutuhkan dari seorang pengusaha asing dengan harga 6.000 Tael Perak. Ia yakin bahwa Cixi pasti akan tertarik dengan teknologi Barat, seperti halnya terhadap kamera, kereta api, dan gadget luar negeri lainnya. Oleh karena itu, ia punya alasan untuk meyakini bahwa lampu listrik juga akan disukai oleh Cixi.

Saat Li Hongzhang mengusulkan kepada Cixi untuk memasang lampu listrik di dalam istana, mula-mula ia memberi persetujuan. Namun, Cixi kemudian menentang pemasangan lampu listrik karena memerlukan adanya perombakan tertentu terhadap bangunan istana yang usianya sudah tua, karena Cixi menganggap hal itu tidak menghormati peninggalan nenek moyang.

Setelah Ibu Suri Cixi dengan tegas menolak, Li Hongzhang terpaksa membatalkan rencananya dan mengembalikan peralatan listrik yang dibeli itu kepada pengusaha penjualnya. Namun pengusaha asing itu tidak mau pulang dengan tangan hampa, kegagalan transaksi berarti hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan. Meskipun demikian, dia pada akhirnya sadar bahwa dirinya tidak mungkin bisa menang melawan Li Hongzhang yang berkuasa, dan terpaksa menanggung akibat yang tidak menyenangkan ini.

Namun, terjadi titik balik, ketika dia bisa bertemu dengan Li Lianying, seorang kepala kasim di istana yang berkuasa dan selalu berada di samping Cixi. Hal ini dimanfaatkan oleh pengusaha asing tersebut untuk mencoba membuka kembali pasar yang tertutup.

Setelah beberapa hari beramah tamah, bernegosiasi dan menyuap Li Lianying, kepala kasim tersebut akhirnya setuju untuk membantu pengusaha asing itu memasang lampu listrik. Namun, mengingat sikap awal dari Ibu Suri Cixi, maka Li Lianying mengadopsi metode “dipasang terlebih dahulu baru dilapokan”, dan secara diam-diam memasang lampu listrik dan peralatan catu daya di seluruh Aula Yiluan (dalam istana). Hasil dari perencanaan yang cermat dari Li Lianying tidak luput dari perhatian.

Tepat ketika Li Lianying sedang deg-degan berharap pengakuan dari Cixi, Cixi datang ke Aula Yiluan. Namun, begitu memasuki aula, Cixi menunjukkan rasa jengkel terhadap pemasangan lampu listrik dalam ruang aula itu, dan dengan agresif menegur Li Lianying. Namun, karena terkejut dan bingung, Cixi salah menyebut bola lampu listrik itu sebagai “terong”.

Li Lianying segera berlutut untuk meminta maaf dan dengan jujur ​​​​mengatakan kebenaran tentang asal usul lampu listrik. Di satu sisi Cixi menjadi penasaran dengan lampu listrik, dan di sisi lain ia juga tergerak oleh keindahan realistiknya, hingga akhirnya bisa menerima pemasangan lampu listrik untuk penerangan ruangan dalam istana.

Saat lampu Aula Yiluan dinyalakan, cahaya warna-warni membawa pemandangan indah bagaikan mimpi, yang membuat Cixi kagum dengan pemandangan yang belum pernah terlihat sebelumnya. Setelah tertarik dengan lampu listrik, Cixi tak hanya memaafkan Li Lianying, bahkan memujinya dan memerintahkan agar lampu listrik itu dirawat baik-baik. Sejak itu, Cixi menjadi orang pertama yang menggunakan lampu listrik di istana Qing.

Setelah pertama kali merasakan kemudahan yang dibawa oleh lampu listrik, lambat laun Cixi terpesona dengan pencapaian teknologi Barat tersebut. Ia tidak hanya tinggal di Istana Yiluan yang dilengkapi lampu listrik, namun ia juga ingin memasang lampu listrik di seluruh istana. Namun, karena masalah keuangan pada saat itu, rencana itu hanya dapat direalisasikan secara bertahap. Pertama ia menghendaki pemasangan lampu listrik di Istana Musim Panas (Yihe Yuan), tempat yang sering ia tinggali.

Pada tahun 1889, Cixi menggunakan dana dari Angkatan Laut Yamen untuk membeli peralatan pembangkit listrik yang besar dan sejumlah bola lampu, dan memasangnya di sisi selatan Kuil Yelu Chucai di Istana Musim Panas. Perangkat pembangkit listrik ini cukup kuat untuk menerangi separuh Istana Musim Panas. Untuk tujuan ini, ia mendirikan “Kantor Penerangan Listrik” yang secara khusus ditugaskan untuk mengelola peralatan pembangkit listrik ini.

Ucapan yang keluar dari mulut Cixi ketika pertama kali melihat cahaya terang terpancar indah dari bola lampu yang disebutnya sebagai “terong”, memang cukup konyol.

Seiring berjalannya waktu, lampu listrik secara bertahap dipasang di seluruh istana, mengubah Kota Terlarang menjadi tempat yang terang benderang di malam hari. Namun, Cixi tidak bisa lama menikmati kenyamanan dari istananya yang sudah diterangi oleh lampu listrik, lantaran Delapan Kekuatan Sekutu menyerbu Tiongkok pada tahun 1900, memaksa dirinya bersama Kaisar Guangxu harus melarikan diri ke wilayah barat Tiongkok dan menjalani kehidupan di pengasingan. Tak lama setelah kembali ke Kota Terlarang, Kaisar Guangxu dan Ibu Suri Cixi pun meninggal dunia.

Meski Cixi telah meninggal dunia, namun pemasangan lampu listrik tidak terputus. Setelah Ibu Suri Longyu mengambil alih kekuasaan, lampu listrik secara bertahap menjadi fasilitas utama di istana. Saat itu, setiap tahunnya istana harus mengalokasikan sejumlah besar tael perak (40% dari anggaran istana) yang dananya digunakan untuk pemeliharaan fasilitas penerangan listrik. Dan sampai saat ini pun, ada beberapa lampu kristal yang dibeli dengan harga mahal masih mempesona banyak pengunjung Kota Terlarang.

Dengan berkembangnya teknologi lampu listrik, secara bertahap teknologi ini menyebar ke rumah-rumah pribadi setiap warga, tidak lagi merupakan fasilitas mewah yang hanya dapat dinikmati oleh kaum penguasa. Kini, satu abad setelah Cixi memelopori pemasangan lampu listrik di Kota Terlarang, hal baru ini telah merasuk jauh ke dalam kehidupan masyarakat biasa dan bukan lagi sesuatu yang disebut “hanya untuk keperluan kerajaan”.

Perjalanan sejarah ini membuat kita mengakui adanya perkembangan zaman yang pesat sehingga penerangan dengan lampu listrik juga bisa dinikmati rakyat biasa di di mana pun. Walau sebutan konyol tentang bola lampu itu lambat laun dilupakan orang. (sin/yn)

Sumber: aboluowang