Isu Ekonomi Tiongkok yang Semakin Serius Bisa Menyulut Kobaran Api Revolusi Politik 

oleh Tang Rui dan Luo Ya

Dengan adanya penarikan besar-besaran investasi asing dari Tiongkok, serta mangkraknya sejumlah besar bangunan real estat, dan anjloknya pasar saham Tiongkok, mantan diplomat Inggris yang pernah bertugas di Tiongkok memperingatkan, bahwa Tiongkok berpotensi menghadapi risiko revolusi politik.

Roger Garside, mantan diplomat Inggris tersebut dengan mengutip laporan Dana Moneter Internasional (IMF) baru-baru ini menyebutkan dalam artikelnya yang diterbitkan oleh “Epoch Times” pada 9 Februari, bahwa perekonomian Tiongkok sedang menghadapi masalah serius, terutama krisis pendanaan yang dihadapi pemerintah daerah. 

Roger Garside mengatakan bahwa ketika krisis semakin parah, Tiongkok berpotensi menghadapi risiko revolusi politik, karena orang-orang yang kehilangan mata pencaharian dan kekayaan akan memberontak.

Sementara itu, pakar keuangan Taiwan Edward Huang memaparkan : “Tentu saja (protes) pasti akan lebih sering terjadi, yang terdiri dari berbagai macam kelompok. Karena kebijakan dan kondisi keuangan (pemda) saat ini, kelompok pengunjuk rasa tentu saja akan semakin besar dan banyak”.

Rekaman video yang diunggah secara online menunjukkan bahwa selama Tahun Baru Imlek, kasus menuntut pembayaran upah terus terjadi pada berbagai tempat di Tiongkok. Pada Malam Tahun Baru (9 Februari), di luar Gerbang Pemerintah Kabupaten Anxiang di Changde, Provinsi Hunan, para pekerja yang marah memblokir pintu gerbang pemerintah karena mereka gagal mendapatkan bayaran, tetapi pihak berwenang mengirimkan beberapa mobil polisi untuk “menjaga stabilitas”.

Warga sipil mengatakan bahwa kasus seperti itu terlalu banyak terjadi, namun informasinya diblokir oleh pihak berwenang.

Sebuah artikel dalam media Inggris “Economist” pada 8 Februari menyebutkan, bahwa krisis di industri real estate telah menyeret perekonomian Tiongkok ke dalam deflasi. Tidak hanya investor asing yang menarik diri dari pasar Tiongkok, tetapi kredibilitas terhadap investor domestik Tiongkok pun jatuh.

Edward Huang mengatakan : “Seluruh real estat Tiongkok, pasar saham Tiongkok, obligasi lokal serta produk keuangan Tiongkok semuanya berada dalam tren menurun, bahkan nilai RMB pun terdepresiasi”.

Data Biro Statistik Nasional Tiongkok yang baru dirilis menunjukkan bahwa indeks harga konsumen (CPI) bulan Januari tahun ini turun 0,8% yoy. Angka penurunan ini jauh lebih besar dari perkiraan, juga merupakan penurunan yang berlangsung selama 4 bulan berturut-turut. Sementara itu Indeks Harga Produsen Industri (PPI) bulan Januari juga turun, tetapi angkanya tidak dilaporkan. Konon ada kabar bahwa situasi yang terjadi lebih buruk daripada sebelumnya.

Namun, pada hari pertama Tahun Baru Imlek (10 Februari), media corong Partai Komunis Tiongkok “Guangming Daily” justru mempromosikan kinerja ekonomi Tiongkok yang terus menanjak. Ia mengklaim bahwa meski perekonomian internasional lesu, tetapi Tiongkok masih patut disebut sebagai satu-satunya negara yang “sangat menawan”. Jelas saja tulisan tersebut memicu ejekan masyarakat dari semua lapisan, khususnya para netizen Tiongkok.

Kolumnis keuangan senior Taiwan Lin Hungwen mengatakan : “Yang pasti itu berbau propaganda, karena pasar saham Tiongkok adalah cerminan dari perekonomian negara tersebut. Coba saja kalian lihat kondisi pasar saham Tiongkok saat ini ? Harga saham-saham jatuh, real estate jatuh, bukan ?! Jadi mereka perlu berpropaganda, mengeluarkan kata-kata yang menyejukkan hati dan membawa harapan. Namun pada kenyataannya, masalah yang dihadapi (Beijing) sangat besar. Semua investasi asing menarik diri,  rasa perekonomian Tiongkok tidak membaik setidaknya dalam 3 hingga 5 tahun mendatang. Bagaimana ini bisa disebut kondisinya sangat menawan ? Semua orang menganggapnya lucu ketika mendengarnya.” (sin)