Upah Turun, Mencari Kerja Sulit, Pekerja Migran Tiongkok Menghadapi Krisis Kelangsungan Hidup

oleh Zhu Ying

Sejak lama, kaum pekerja migran di Tiongkok hanya memperoleh upah yang rendah, jam kerja yang panjang, dan kurangnya kesempatan kerja, namun seiring dengan menurunnya perekonomian Tiongkok secara keseluruhan dan permintaan domestik yang terus menyusut, kaum pekerja migran yang habis mudik Tahun Baru Imlek dan ingin kembali ke kota untuk mencari pekerjaan, pasti akan menghadapi situasi seperti semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan dan semakin tertekannya upah.

Segera setelah lewatnya Tahun Baru Imlek 2024, para pekerja migran di seluruh negeri berangsur-angsur meninggalkan kampung halaman mereka, untuk kembali mencari peluang bekerja dan mencari nafkah di kota. Stasiun kereta api dan terminal bus di mana-mana ramai dengan pekerja yang menyeret koper dan membawa ransel atau “dos supermie”. Khususnya di provinsi ekonomi besar seperti Guangdong, stasiun-stasiun tersebut dipenuhi oleh pekerja migran dengan macam-macam aksen yang menunjukkan mereka berasal dari berbagai daerah di Tiongkok.

Namun, karena situasi ekonomi secara keseluruhan memburuk, pesanan perusahaan secara umum menurun drastis, perdagangan ekspor menyusut tajam. Bahkan di kota-kota yang penting secara ekonomi seperti Shenzhen dan Dongguan, skala rekrutmen pekerja dan staf oleh perusahaan telah jauh berkurang. Tampaknya keindahan di masa lalu tak mungkin lagi kembali, saat ini pasokan tenaga kerja sudah melebihi permintaan, pekerja migran dihadapkan pada situasi di mana berkurangnya lapangan kerja dan penurunan tajam dalam standar upah.

Dalam wawancaranya dengan reporter media berbahasa Inggris Hongkong “South China Morning Post” pada 27 Februari, Mr. Xu, seorang pemilik pabrik dan eksportir produk penerangan di Zhejiang mengatakan, bahwa karena menurunnya pesanan luar negeri, jadi lowongan kerja sangat terbatas, meskipun banyak pekerja migran yang bersedia direkrut.

Seorang staf bermarga Li yang bekerja di agen perekrutan tenaga kerja di Kota Guangzhou mengungkapkan, karena kelebihan pasokan sumber daya manusia, upah per jam pekerja sementara di Shenzhen dan Dongguan umumnya turun menjadi antara RMB.18,- atau RMB.19,- per jam. Tahun sekitar 30% dibandingkan periode yang sama 3 tahun silam.

Ia mengatakan bahwa salah satu alasan lesunya permintaan tenaga kerja saat ini adalah karena sebagian pabrik lokal telah berpindah ke luar negeri, sedangkan perusahaan-perusahaan eksis yang mengalami penurunan pesanan berupaya mengurangi biaya.

Dengan mengutip analisis dari orang dalam industri, laporan menyebutkan bahwa pemilik bisnis yang masih memiliki cukup dana lebih cenderung untuk berinvestasi atau membuka pabrik di luar negeri. “Inilah satu-satunya bidang yang masih ingin mereka kembangkan”.

Faktanya, pada awal tahun ini, beberapa media dalam negeri memberitakan bahwa pekerja migran mengalami kesulitan mendapatkan pekerjaan dan berada dalam situasi sulit secara keseluruhan, namun berita-berita yang relevan langsung diblokir oleh badan sensor PKT.

Pada awal Januari tahun ini, NetEase News meluncurkan film dokumenter berjudul “Bekerja 

Seperti Ini selama 30 Tahun” yang lebih mencerminkan situasi sulit yang dihadapi pekerja migran di daratan Tiongkok saat ini. Film dokumenter ini memperlihatkan kondisi kehidupan para pekerja migran di Hefei : Ratusan orang pekerja migran sudah berkumpul di pasar tenaga kerja di Zhongudui sejak pukul empat pagi untuk menunggu datangnya bos atau agen pencari tenaga kerja. Rata-rata usia para pekerja migran itu adalah sekitar 55 tahun, sebagian besar dari mereka berada dalam tekanan finansial dan harus menghidupi keluarga.

Para pekerja migran yang berdiri di pinggir jalan itu berebut untuk mendapatkan pekerjaan yang ditawarkan bos atau agen dan bernegosiasi soal upah hariannya. Bahkan sampai terjadi konflik antar pekerja karena berebut kesempatan kerja. Ada pula pekerja yang ditipu oleh majikannya hingga akhirnya bekerja sia-sia. Mereka tidak bisa mendapatkan uang hasil jerih payah mereka. Beberapa pekerja migran bahkan tidak mampu membayar biaya asuransi kesehatan tahunan yang hanya sebesar RMB.380,- karena upah yang rendah, sampai mereka rela terus bekerja sambil menahan sakit, tetapi tidak berani berobat.

Namun sejak 9 Januari tahun ini, rekaman video tersebut diblokir pihak berwenang.

Pada 10 Januari tahun ini, China Business Network menerbitkan sebuah artikel berjudul “Pekerja migran menunggu pekerjaan di pinggir jalan pada dini hari” yang isinya melaporkan bahwa pekerja migran mengalami kesulitan mendapat kesempatan bekerja, jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan sering kali upahnya tidak dibayar atau ditunggak, bahkan tetap sia-sia setelah bertahun-tahun memintanya.

Dalam laporan ini, seorang pekerja migran dalam wawancaranya mengatakan bahwa di masa lalu pekerja terampil seperti tukang las, tukang kayu dan sebagainya yang bersedia bekerja di lokasi proyek mereka dibayar dengan upah RMB.350,- per orang per hari, tetapi sekarang upahnya tinggal RMB.180,-. Karena pendapatan mereka terlalu rendah dan kekurangan uang, maka banyak pekerja migran yang memilih bertahan di lokasi proyek sambil berharap ada kelanjutan pekerjaan. Mereka berupaya semampu mungkin untuk mengurangi pengeluaran agar uangnya bisa di bawa pulang ke kampung demi menghidupi keluarga.

Namun, begitu laporan ini beredar, pihak sensor langsung beraksi.

Seseorang dari media mandiri pernah menerbitkan sebuah artikel yang menunjukkan bahwa karena kemerosotan ekonomi, menyusutnya perdagangan luar negeri, banyak pabrik yang tutup karena tidak ada pesanan, menyebabkan tertutupnya lapangan kerja. Banyak pekerja migran yang menghadapi krisis kelangsungan hidup. (sin)