Barang Murah Tiongkok Kembali Membanjiri Dunia, Apa Bedanya dengan 20 Tahun Silam ?

oleh Xia Yu

Pada akhir 1990an dan awal  2000an, perekonomian Amerika Serikat dan global mengalami dampak negatif dari barang murah buatan Tiongkok, yang mengakibatkan kerugian berupa berkurangnya lapangan kerja di sektor manufaktur lokal. Namun setelah 20 lebih tahun berlalu, barang-barang murah asal Tiongkok kembali membanjiri dunia. Untuk itu mari kita lihat bersama apa saja perbedaannya ? Bagaimana tanggapan Barat terhadap hal ini ?

Sejak Tiongkok bergabung dengan WTO pada 2001, barang-barang “Made in China” yang berbiaya rendah telah berulang kali berdampak negatif terhadap pasar perdagangan global. Setelah epidemi COVID-19, perekonomian Tiongkok berada dalam kesulitan, demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi, Partai Komunis Tiongkok semakin mendorong pabrik-pabrik di Tiongkok untuk memproduksi mobil, mesin-mesin, barang elektronik dan lainnya yang melebihi kapasitas penyerapan konsumen dalam negerinya untuk diekspor. Dengan dukungan pinjaman murah dari pemerintah Tiongkok, perusahaan-perusahaan Tiongkok mampu memasok kelebihan kapasitas produk ke pasar luar negeri. Oleh karena itu, barang murah buatan Tiongkok masih terus membanjiri dunia sampai saat ini.

The Wall Street Journal melaporkan pada Rabu 6 Maret bahwa beberapa ekonom percaya bahwa dampak barang-barang Tiongkok terhadap inflasi bahkan lebih besar dibandingkan yang pertama kali terjadi pada 20 tahun lalu. Perekonomian Tiongkok sedang melambat, dan dampak deflasi dari barang-barang murah buatan Tiongkok tidak akan diimbangi oleh permintaan Tiongkok atas bijih besi, batu bara, dan komoditas lainnya. Selain itu, menurut data Bank Dunia, bahwa pada 2022, pangsa manufaktur Tiongkok telah menyumbang 31% dari total pangsa manufaktur global, dan 14% dari seluruh komoditas ekspor. Padahal 20 tahun silam, pangsa manufaktur Tiongkok hanya menyumbang kurang dari 10% pangsa dunia, dan pangsa ekspornya kurang dari 5%.

Tiongkok akan mengekspor deflasi ke negara-negara lain di dunia

Berbeda dengan dua dekade lalu, dengan meningkatnya ketegangan geopolitik, perusahaan-perusahaan Tiongkok sekarang selain mengembangkan bidang manufaktur di dalam negeri, tetapi juga membangun industri di luar negeri untuk menghindari tarif atau pembatasan impor. Misalnya, produsen baterai Contemporary Amperex Technology Co., Ltd. yang menghasilkan sebagian besar produknya di dalam negeri, namun masih membangun pabrik di luar negeri.

“Keseimbangan dari dampak komoditas Tiongkok terhadap harga global, kini semakin condong ke arah deflasi,” kata Thomas Gatley, ahli strategi Tiongkok di “Gavekal Dragonomics”.

Chetan Sehgal, manajer portofolio Dana Negara Berkembang di Franklin Templeton, mengatakan kepada Financial Times : “Tiongkok akan mengekspor deflasi ke negara-negara di seluruh dunia, dan Anda akan menemukan bahwa setiap negara menghadapi masalah kelebihan kapasitas komoditas Tiongkok.”

Negara Barat tidak ingin kesalahan di awal tahun 2000-an terulang kembali

Di sisi lain, negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang tidak ingin mengulangi kesalahan yang terjadi di awal tahun 2000-an, ketika barang-barang murah asal Tiongkok membuat banyak pabrik di negara-negara tersebut tutup. Pada tahun 2016, profesor ekonomi MIT David Autor menulis dalam sebuah artikel, menyebutkan bahwa antara tahun 1999 hingga 2011, Amerika Serikat kehilangan lebih dari 2 juta lapangan kerja. Sementara pengusaha furnitur, mainan dan pakaian kesulitan bersaing dengan barang yang diimpor dari Tiongkok, pekerja juga kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru.

Akibatnya, pemerintah negara-negara Barat bersedia menginvestasikan sebagian besar dananya untuk melindungi industri mereka sendiri, memberikan dukungan miliaran dolar kepada industri-industri yang dianggap strategis dan memaksakan atau berencana mengenakan tarif terhadap komoditas yang diimpor dari Tiongkok.

Wall Street Journal melaporkan bahwa sebagai tanggapan atas banyaknya barang murah Tiongkok yang membanjiri dunia, David Autor mengatakan : “Ini tidak akan sama dengan dampak dari komoditas Tiongkok”. Dia mengatakan, itu karena PKT sekarang membuat terobosan di bidang-bidang seperti mobil, chip komputer, dan mesin yang kompleks guna bersaing dengan negara-negara maju. Sedangkan industri bernilai tinggi itu dipandang sebagai inti dari kepemimpinan teknologi.

Oleh karena itu, perbedaannya dengan awal tahun 2000-an adalah dunia Barat kini memandang Tiongkok sebagai pesaing ekonomi dan saingan geopolitik utama. Uni Eropa sedang mempertimbangkan untuk memberlakukan tarif  dan pembatasan impornya terhadap kendaraan listrik buatan Tiongkok yang disubsidi secara tidak adil oleh pemerintah komunis Tiongkok. Trump, yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat telah melontarkan gagasan untuk mengenakan tarif impor sebesar 60% atau lebih tinggi terhadap komoditas buatan Tiongkok.

Senator senior AS dari Partai Republik, Marco Rubio, mengusulkan tiga rancangan undang-undang padai Selasa (5 Maret). yang bertujuan mengambil pendekatan multi-cabang untuk mencegah masuknya mobil buatan Tiongkok ke pasar otomotif AS, termasuk rancangan undang-undang yang akan menaikkan tarif impor mobil hingga USD.20,000,-. Ini adalah usulan terbaru AS dalam upayanya untuk melindungi produsen mobil dan pekerja dalam negeri.

“Tantangan merkantilis yang unik”

Banyak ekonom percaya bahwa deflasi di Tiongkok kemungkinan akan memberikan dampak yang besar terhadap negara-negara berkembang, terutama negara-negara yang memiliki hubungan perdagangan penting dengan Tiongkok.

Laporan Wall Street Journal memperingatkan, bahwa dengan semakin gencarnya Tiongkok mencari pasar eksport baru di negara-negara miskin bagi komoditasnya, sebagian dampak deflasi mungkin akan berpindah ke wilayah lain di dunia. Beberapa negara mungkin akan melihat industri-industri baru mereka menyusut karena kalah bersaing dengan produk-produk murah dari Tiongkok.

Selain itu, tidak seperti Jepang atau Korea Selatan, yang meninggalkan manufaktur berbiaya rendah dan beralih ke ekspor bernilai tambah tinggi, Tiongkok tidak hanya bersaing dengan negara-negara maju lainnya dalam industri kelas atas, namun ia juga tidak menghentikan ekspor produk-produk yang bernilai tambah rendah. 

Rory Green, kepala ekonom Tiongkok di GlobalData-TS Lombard, mengatakan bahwa komunis Tiongkok juga mewakili “tantangan merkantilis yang unik.” (sin)