Semenanjung Korea, Pertikaian Kakak Beradik yang dapat Menyengsarakan Seluruh Dunia

Pinnacle View

Konflik dunia berkepanjangan, dimana-mana terjadi titik panas, dan yang mengkhawatirkan adalah banyaknya titik panas di kawasan Asia, terutama di kawasan Asia Timur. Selama dua tahun terakhir, Korea Utara berulang kali melakukan uji coba rudal dan roket, dengan harapan mampu menembakkan senjata nuklir terbatas yang telah mereka kembangkan ke tempat yang semakin jauh, semua aksi ini telah membuat situasi di Asia Timur menjadi semakin tegang. 

Pada awal tahun ini Kim Jong-Un, pemimpin Korut (Korea Utara) telah memerintahkan untuk mengubah konstitusi Korut, dan menghapus pasal reunifikasi damai dengan Korsel (Korea Selatan), serta memerintahkan seluruh pasukannya agar bersiap untuk perang. Maka, akankah meletus lagi perang di Semenanjung Korea? Sejak berhentinya Perang Korea selama lebih dari setengah abad (tepatnya 71 tahun), apakah sebenarnya yang terjadi antara Korut dan Korsel? Pergulatan apakah yang dimainkan oleh negara-negara besar di belakang Semenanjung Korea?

Poros Kejahatan Baru Terbentuk, Korut telah Masuk dalam Strategi Keseluruhan PKT Terhadap Taiwan

Pakar hukum liberalisme yang berdiam di Australia yakni Profesor Yuan Hongbing berkata kepada “Pinnacle View”, selama PD-II partai komunis di Semenanjung Korea pada dasarnya hanya berupa organisasi boneka bentukan PKT (Partai Komunis Tiongkok), hanya saja setelah PD-II berakhir, setelah Uni Soviet mengintervensi paksa, barulah Partai Komunis Korea Utara memiliki sejumlah kemandirian. 

Faktanya, tulang punggung kekuatan dari pasukan Korut adalah dua divisi tentara Korut yang berada di dalam Angkatan Perang Ke-4 PKT yang dipimpin Lin Biao (*), pasca PD-II, kedua divisi ini dibentuk oleh Lin Biao setelah menampung banyak kekuatan Tentara Kwantung (**), karena pada masa itu Korea merupakan jajahan Jepang, maka di dalamnya selain terdapat orang Jepang, juga orang Korea. 

Orang-orang Korea itu pun menjadi kesatuan tempur yang kuat di dalam “Angkatan Perang Ke-4” Lin Biao. Kemudian, PKT mengubah pasukan tempur tersebut menjadi KPA (Korean People’s Army) di bawah kepemimpinan Kim Il-Sung, sejak saat itulah Kim Il-Sung memiliki semacam kekuatan militer yang mampu melawan Korea Selatan. Maka dengan kedua divisi inilah Kim Il-Sung mengobarkan Perang Korea (pada 1950), jadi dilihat dari sudut pandang ini, Korea Utara pada kenyataannya merupakan suatu rezim komunis agresif yang dibentuk oleh PKT dan dibina bersama dengan mantan Uni Soviet.

Yuan Hongbing menyatakan, dari segi populasi, ekonomi, bahkan kekuatan energi dari senjata nuklirnya, Korea Utara belum mampu mengakibatkan bencana abad ke-21 dalam lingkup internasional. Terhadap perdamaian sepanjang abad ke-21, faktor Korut hanya suatu masalah kecil, dan masalah besarnya adalah: PKT. 

Korea Utara sendiri baik dalam hal kemampuan teknologi maupun kemampuan ekonomi, sama sekali tidak berkemampuan mengembangkan senjata nuklir dan rudal, jadi kemampuan rudal dan nuklirnya pasti didatangkan dari luar, dan negara pemasoknya adalah PKT (yang pada 1949 membentuk pemerintahan RRT, Republik Rakyat Tiongkok, Red.).

Keberadaan rezim tirani RRT merupakan suatu kediktatoran terpusat yang belum pernah ada dalam sejarah umat manusia, yang menguasai populasi yang begitu besar, menguasai sumber daya alam dan energi begitu luas di Kontinental Asia Timur, ditambah lagi dengan kekuatan senjata nuklir yang dimilikinya saat ini, jauh lebih tinggi dari jumlah yang diperkirakan oleh dunia Barat. Dalam kondisi seperti ini, sumber bencana manusia pada abad ke-21 ini bukan Korea Utara, melainkan rezim tirani Beijing. Korut sendiri telah menjadi bagian dari keseluruhan strategi PKT dalam perang totalnya melawan Amerika Serikat. 

Yuan Hongbing mengatakan, mencermati hubungan antara PKT dengan Korut, termasuk ketegangan hubungan antara kedua Korea saat ini, seharusnya dilihat dari sudut pandang politik internasional yang lebih luas agar lebih jelas. Yang disebut dengan sudut pandang politik internasional yang lebih luas adalah Xi Jinping hendak melalui pengobaran Perang Selat Taiwan sebagai langkah pertama ekspansi komunismenya di seluruh dunia, ini adalah suatu fondasi kebijakan nasionalnya, semua tindakan yang sekarang dilakukannya adalah seputar kebijakan nasional ini. Di dunia saat ini telah terbentuk poros kejahatan abad ke-21 dengan rezim tirani RRT sebagai pusat yang menentang kekuatan AS, dan beranggotakan Rusia, Korea Utara, dan Iran, bahkan termasuk kekuatan anti Amerika di sejumlah negara Timur Tengah. Mengapa baru-baru ini Korut mendadak mengubah sikapnya terhadap Korsel, dan perubahan ini begitu keras, karena kini Korea Utara realitanya telah menggabungkan dirinya ke dalam lingkup keseluruhan strategi PKT dalam duel di Selat Taiwan.

Jadi begitu meletus perang antara AS dengan RRT di Selat Taiwan, maka peran utama Korut, pertama-tama adalah mendeterensi (mencegah-tangkal) kekuatan militer AS di Korea Selatan; kedua, mendeterensi kekuatan militer Jepang; dan ketiga, mendeterensi militer AS yang berada di pangkalan militer Jepang, dengan demikian membentuk yang disebut Perang Cekal (Cegah Tangkal) oleh PKT, dan Perang Cekal untuk menaklukkan Taiwan yang demokratis menyajikan suatu kartu as. Inilah sebuah peran yang kemungkinan dapat dimainkan oleh Korea Utara.

Awan Perang Menyelimuti Semenanjung, Aliansi AS-Jepang-Korsel Bidik PKT

Pemimpin redaksi The Epoch Times yakni Guo Jun menyatakan kepada “Pinnacle View”, hubungan Korea Utara dan Korea Selatan pasca usainya Perang Korea (1950-1953) sempat mengalami beberapa titik balik yang besar. Penyebab perubahan itu, salah satunya adalah perubahan kondisi negara besar di balik kedua Korea tersebut, faktor lainnya adalah akibat kesenjangan ekonomi kedua Korea yang semakin menganga.

Bicara soal ekonomi lebih dahulu, hubungan Korut dan Korsel awalnya adalah bermusuhan. Setelah perang baru saja usai, Presiden Korsel Syngman Rhee beranggapan pemilu Korea diadakan di bawah pengawasan PBB, dan seyogyanya mewakili seluruh Semenanjung Korea. Itulah mengapa ia dengan tegas menolak mengakui rezim utara. 

Faktanya, pada saat penandatanganan Perjanjian Gencatan Senjata Korea di Panmunjom hanya dihadiri oleh tiga perwakilan, yakni: RRT, Korea Utara, dan Amerika Serikat, sedangkan Korea Selatan tidak ikut menandatanganinya. Di saat itu AS mewakili pasukan PBB menandatanganinya, sedangkan pasukan Korea Selatan ikut tergabung dalam pasukan PBB, jadi telah diwakili oleh pihak AS. Faktanya, Syngman Rhee sangat tidak bisa menerimanya, ia berpendapat bahwa Korea seharusnya dipersatukan lebih dulu, setelah reunifikasi secara militer barulah membangun kembali negaranya.

Hingga era 1960-an, setelah Park Chung-hee menjabat, pembangunan ekonomi dimulai, sejak saat itulah perekonomian antara kedua Korea semakin melebar perbedaannya, hingga era 1970-an, PDB kedua Korea masih setara, hingga era 1990-an awal, perbedaannya pun semakin menganga lebar. PDB Korut sekarang hanya kurang dari 300 dolar AS (4,7 juta rupiah, kurs per 26/02), sedangkan Korsel hampir 40.000 dolar AS (626 juta rupiah), PDB Korut kurang dari 1% PDB Korsel. Jumlah penduduk Korsel satu kali lipat lebih besar daripada Korut, dan sekarang mencapai 50 juta jiwa, Korut hanya 25 juta jiwa. Jadi PDB Korsel secara keseluruhan adalah 200 kali lipat dibandingkan Korut, perbedaan keduanya ibarat langit dan bumi.

Penyebab kedua adalah politik negara besar. Korsel senantiasa didukung oleh AS, dan Korut didukung oleh Uni Soviet dan PKT, kemudian Uni Soviet runtuh, PKT pun tidak begitu mendukungnya lagi. Hingga era 1990-an awal, Rusia dan RRT telah menjalin hubungan diplomatik dengan Korsel, tetapi AS tidak juga menjalin hubungan diplomatik dengan Korut, hal ini telah menjadi batu ganjalan di hati Korut. Di era 1990-an Korsel dipimpin oleh Kim Young-Sam sampai Kim Dae-Jung, lalu dipimpin oleh Roh Moo-Hyun, kedua pihak Korsel dan Korut mulai menjalin masa bulan madu, Korsel dan Korut telah memulihkan kontak, maka telah dibentuk suatu Komite Reunifikasi Damai Tanah Air. 

Tetapi AS tetap tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Korea Utara, bahkan hingga sebelum Trump menjabat, pemimpin kedua negara tidak pernah bertatap muka. Maka dari itu Korut mulai mengutak-atik senjata nuklir, dan juga rudal balistik antar benua, tetapi sebagai akibat riilnya justru membuat AS semakin khawatir. Kondisi sekarang lagi-lagi mengalami perubahan lain, yakni akibat perseteruan Rusia dengan AS, yang menyebabkan Rusia semakin mempererat hubungan dengan Korut. Demikian pula dengan RRT, setelah hubungan dengan AS mengalami ketegangan, membuat Beijing kembali menggunakan Korut sebagai kartu as. Itulah sebabnya sekarang Korut merasa ada peluang, dan menjadi semakin nekat.

Guo Jun menyatakan, tadinya Xi Jinping tidak menyukai rezim keluarga Kim, lima tahun pertama setelah Xi Jinping menjabat sejak 2013, ia tidak pernah pergi ke Korea Utara, juga tidak pernah menemui keluarga Kim. Hingga Mei 2018, Xi Jinping baru menemui Kim Jong-Un. Pada saat itu Kongres Nasional ke-19 PKT telah usai, Xi Jinping dipastikan akan menjabat kembali, dengan dalih telah menetapkan jadwal untuk reunifikasi Taiwan. Tentu saja hal ini menimbulkan reaksi keras dari AS, yang dengan segera mengeluarkan “Taiwan Travel Act”, yang berarti jika terjadi masalah dengan Taiwan, maka pihak AS akan langsung berhadapan dengan PKT. Pada saat itu tujuan Xi Jinping menemui Kim Jong-Un karena ingin menggunakan kartu ini, Beijing ingin memastikan Korea Utara menjadi zona penyangga (buffer zone) baginya, di satu sisi menjadi penyerang depan melawan AS, di sisi lain juga bisa menjadi bidak catur untuk tawar menawar dengan AS.

Sebenarnya situasi di Asia Timur Laut sekarang sangat jelas, terdapat dua kubu, di setiap kubu ada tiga negara, di pihak AS ada Jepang dan Korsel, di pihak PKT ada Rusia dan Korut. Sedangkan titik konflik langsungnya dan lokasi konfrontasi antara 2 musuh bebuyutannya adalah Semenanjung Korea. Saat ini AS berupaya keras mengukuhkan aliansi AS-Jepang-Korsel, khususnya dalam aliansi militer, tujuannya tentu bukan mengincar Korut, melainkan mengincar PKT. Pangkalan AU Amerika di Korsel berjarak sekitar 960 km dari Beijing, dapat dijangkau dalam 40 menit oleh pesawat tempur F16 dan F15 milik AS dengan kecepatan jelajah normal, jika menggunakan F22 atau F35, Beijing dapat dijangkau hanya dalam 20 menit saja. Itulah sebabnya kawasan Wafangdian di dekat kota Dalian dikawal oleh tentara pertahanan udara terbaik RRT, yang digunakan juga radar terbaik, guna mengantisipasi pesawat tempur milik AU Amerika di Korsel. Menurut rekomendasi RAND Corporation, jika RRT menyerang Taiwan, maka militer AS dapat menggunakan serangan udara untuk menyerang pusat industri di utara Tiongkok secara mendadak, yang digunakannya adalah pesawat tempur AS yang berada di Korsel dan Jepang. Jadi keberadaan militer AS di Korsel, adalah ancaman yang sangat besar bagi PKT, dan selama ini Beijing pun selalu bereaksi keras atas hal ini.

Pemikiran Irasional Diktator Otokratis, Ancaman Nuklir Menyelimuti Asia Timur

Produser televisi independen bernama Li Jun menyatakan pada “Pinnacle View”, situasi sekarang seperti yang dikatakan Presiden Korsel Yoon Suk-Yeol, terhadap ancaman Korut selain harus memiliki penilaian rasional juga harus memiliki penilaian irasional. Berdasarkan penilaian rasional, Korut tidak akan menggunakan senjata nuklir untuk mengobarkan perang ini, karena begitu meletus perang nuklir, AS pasti akan membalas, dan rezim keluarga Kim akan dihancurkan. Tetapi juga terdapat penilaian yang tidak rasional, yakni pemimpin kediktatoran seperti Kim Jong-Un ketika sampai pada titik tertentu, pemikirannya akan sulit ditebak. Dewasa ini Korut tidak akan menang menggunakan senjata konvensional, tetapi begitu ia menggunakan senjata nuklir, maka tidak hanya Semenanjung Korea, bahkan seluruh Asia Timur pun akan mengalami bencana besar. Maka dari itu, argument Yoon Suk-Yeol ini sangat jelas, kita harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

Sekarang walaupun perang nuklir tidak terjadi, tapi jika keadaan ini terus berlanjut, di pihak Korsel mungkin akan mengalami perubahan, dan membuat seluruh kawasan Asia Timur mengalami perubahan. Tahun lalu Yoon Suk-Yeol telah mengatakan, jika Korut terus mengancam seperti ini, Korea Selatan mungkin juga akan mengembangkan senjata nuklir, Yoon Suk-Yeol mengatakan, jika kami ingin mengembangkan senjata nuklir, tidak butuh waktu lama untuk bisa membuatnya. Tahun lalu media massa Korsel Chosun Ilbo melakukan survei, sebanyak 68,1% warga Korsel merasa, Korsel seharusnya memiliki senjata nuklirnya sendiri.

Sejumlah wadah pemikir AS juga telah menganalisa, jika Korut melakukan serangan senjata nuklir terhadap Korsel, mampukah AS memberikan bantuan sesegera mungkin? Dengan kata lain mampukah AS sesegera mungkin menghentikan serangan nuklir dari Korut? Jika tidak bisa menghentikannya, maka itu akan menjadi suatu malapetaka bagi Korea Selatan.

Editor senior sekaligus penulis utama The Epoch Times yakni Shi Shan menyatakan pada “Pinnacle View”, AS menilai bahwa bom atom milik Korut saat ini adalah setara dengan 20.000 ton TNT, atau setara dengan bom nuklir yang dijatuhkan AS di Hiroshima dulu, yang sebenarnya daya ledaknya kecil. Tetapi bom atom adalah senjata yang mengerikan, jika Korut menjatuhkan bom atom, terlepas dari bom atom itu meledak atau tidak, atau ketika AS merasa Korut akan menjatuhkan bom nuklir, maka negara Korut akan langsung lenyap dari muka bumi.

Senjata nuklir AS sekarang, hulu ledak nuklir yang terpasang pada rudal balistik Trident yang berbasis kapal selam, satu unit saja ekuivalen dengan ratusan ribu ton TNT, daya ledaknya amat sangat mengerikan, dan membalas dengan itu akan sangat menakutkan. Jadi senjata nuklir tidak bisa dijadikan sebagai alat dalam taktik perang, hanya bisa dijadikan alat deterensi strategis. Tapi presiden Korsel mengatakan kita harus menggunakan penilaian irasional, apa maknanya? Bagi diktator tertentu, jika ia merasa terpojok dan tidak bisa hidup lagi, maka negaranya tidak perlu tetap eksis, jika ia kehilangan kekuasaan, maka dunia ini pun tak perlu eksis. Seorang diktator yang berkuasa, begitulah pandangannya terhadap dunia, ia benar-benar memandang dunia seperti itu. Inilah yang disebut irasional. Namun bagi sang diktator itu sendiri, mungkin baginya pemikiran ini justru sepenuhnya “rasional”, karena ia memandang dunia seperti itu.

Shi Shan menyatakan, dalam lingkup seluruh dunia, Korut belum tentu menimbulkan efek yang sangat besar, tetapi dalam situasi di Asia Timur, khususnya pada masalah antara Tiongkok dengan Taiwan, dalam hal pertikaian geopolitik secara keseluruhan, dikhawatirkan akan memainkan banyak peran yang tak terduga bagi kita semua. (sud/whs)

Catatan kaki:

Lin Biao*: Dibaca: lin piao, adalah seorang pemimpin militer dan politik dari Tiongkok Komunis. Ia awalnya dikenal sebagai rekan dan berprospek sebagai penerus Mao Zedong, tetapi kemudian dinyatakan sebagai seorang pengkhianat. (Wikipedia).

Tentara Kwantung**: 1906-1945, merupakan sebuah army group dari Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang eksis pada paruh awal abad ke-20 dan berkembang menjadi grup komando paling besar dan bergengsi di Angkatan Darat Kekaisaran Jepang pada saat itu. Tentara Kwantung memiliki andil besar terhadap pendirian Kekaisaran Manchukuo, di wilayah Timur Laut Tiongkok. (Wikipedia)